Klaim Perebutan Tanah Bripka Madih di Bekasi Terbantahkan
Bripka Madih dinilai tidak konsisten dan kerap menunjukkan arogansi kepada warga di lingkungan tempat tinggalnya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Brigadir Kepala atau Bripka Madih mendatangi Markas Polda Metro Jaya, di Jakarta, Minggu (5/2/2023), untuk mengklarifikasi penyerobotan tanah orangtuanya seluas 6.600 meter persegi di Kelurahan Jatiwarna, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Masalah penyerobotan dan kekerasan yang ia laporkan justru dibantah Polda Metro Jaya dan warga di lahan yang ia klaim.
Anggota Provos Kepolisian Sektor Jatinegara itu sebelumnya viral karena video wawancara dengan wartawan di lahan orangtuanya, Rabu (1/2/2023). Ia bersama beberapa orang memasang plang dan spanduk klaim pada dua bidang tanah atas nama ayahnya, Tonge. Ia juga menyebutkan adanya oknum penyidik Polda Metro Jaya yang memerasnya karena melaporkan kasus penyerobotan tanah itu.
Siang ini, ia datang ke Markas Polda Metro Jaya ditemani istri dan adiknya. Ia juga memboyong Martono Sufaat, warga Indramayu, Jawa Barat, yang ikut saat pemasangan plang di lahan orangtua Madih. Ia, yang sedang memperjuangkan masalah konflik tanah, diajak Madih membantunya sejak Desember 2022.
”Kami diundang. Diundang kalau yang lalu itu kami konfrontir, lha, diketemukan dengan pihak yang merasa tidak profesional dalam kerja seperti itu. Yang hari ini yang diketemukan dengan yang katanya pejabat, lah,” ucap Madih.
Madih mengatakan, orangtuanya memiliki tanah dengan bukti kepemilikan dua surat girik bernomor C 815 dan C 191, yang masing-masing luasnya 4.954 meter persegi dan 4.411 meter persegi. Ia mengklaim 6.600 meter persegi kepemilikan tanah itu sudah digarap pengembang dan dijual sejumlah calo tanah. Beberapa penggarapan itu dibuktikan hanya dengan kuitansi penjualan tanah.
Penyerobotan tanah itu, menurut dia, terjadi beberapa puluh tahun saat ia belum menjadi anggota polisi. Sejak tahun 1991 hingga awal 2023 ini, ia mengatakan, pernah tiga kali berkonflik dengan calo-calo penjual tanah. Ia juga melaporkan kasus ini ke beberapa pihak, dari kepolisian hingga Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN).
Pada 2011, misalnya, ada upaya pengeroyokan oleh pihak tidak bertanggung jawab kepadanya hingga ia berani melapor ke Polda Metro Jaya. ”Saya dikeroyok 12 orang. Ini, nih, sampai ada berlumuran darah lagi shalat, baju koko ini jadi merah semua,” ucapnya.
Tahun itu pun pihak keluarga melaporkan penyerobotan tanah dengan bukti kepemilikan C 191. Ia mengatakan, laporan itu tidak ditindaklanjuti. Bahkan, Madih mengaku ada oknum penyidik justru meminta uang sebesar Rp 100 juta. Oknum itu juga disebut meminta hadiah sebidang tanah seluas 1.000 meter jika ingin kasusnya diusut.
Seusai mengklarifikasi masalah ini, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi mengatakan, pihaknya mencoba membuktikan klaim-klaim tersebut dengan data dan mendudukkan perkara ini dengan memanggil pihak-pihak terkait.
Verifikasi polisi
Dalam pertemuan itu, diundang pihak dari Kantor ATR BPN Kota Bekasi, Kecamatan Pondok Melati, Kelurahan Jatiwarna, hingga Ketua RW 003.
”Terkait laporan tahun 2011, apakah perkara tidak ditindak lanjut? Kami sudah periksa 16 saksi dari saksi pembeli hingga keluarga, artinya sudah ditindaklanjuti. Tahun 2012, kami keluarkan hasilnya bahwa belum ditemukan perbuatan melawan hukum,” kata Hengki.
Dalam pemeriksaan laporan itu, Hengki mengatakan, pihak keluarga Madih, seperti Halimah selaku ibunya, serta kakak-kakaknya menuntut 1.600 meter persegi tanah dari bukti girik C 191, bukan 3.600 meter persegi seperti yang diklaim Madih.
”Kedua, Pak Madih menyebut dari 3.600 meter persegi enggak pernah dijual sama sekali. Padahal, di laporan 2011, saksi-saksi yang notabene keluarga Pak Madih mengaku ada penjualan-penjualan. Itu sudah kami hitung kembali, tetapi tidak diakui oleh Pak Madih,” lanjutnya.
Polisi pun menemukan 10 akta jual beli (AJB) tanah dari penjualan tanah dalam periode 1979 sampai 1992. AJB itu sudah dibubuhkan cap jempol Tonge, selaku pemilik tanah, ke berbagai pihak. Selain itu, ada satu surat yang menyatakan hibah tanah dari orangtua Bripka Madih ke pihak bernama Boneng.
”Yang menyerahkan langsung Bripka Madih pada saat itu, tapi beliau tadi menyanggah. Namun, apakah tanda tangan hibah itu palsu, nanti kami bawa ke Lab Forensik,” kata Hengki.
Perihal pernyataan ada penyidik yang hendak memeras Madih, Hengki mengatakan pihaknya sudah mengecek dan menemukan bahwa oknum yang dimaksud sudah pensiun. ”Terkait pemerasan, akan dikonfrontir oleh Bidpropam,” pungkasnya.
Konflik dengan warga
Pada kesempatan itu, Nur Asiah, Ketua RW 003, mengungkapkan bahwa warganya menjadi korban dari kesewenang-wenangan Madih. Lahan yang diklaim masih menjadi milik keluarganya sebagian sudah ditempati rumah warga hingga sekolah. Setidaknya ada 10 bangunan yang berdiri di lahan yang juga didirikan rumah Madih.
”Di lingkungan kami, Pak Madih sudah sering dengan kesombongannya meresahkan warga. Saya jadi ketua RT empat tahun, kemudian jadi ketua RW. Pernah ketika rapat, di samping rumahnya, tiba-tiba ditabunin dibakar asap, pernah juga ada teror ke guru di sebelah rumah beliau,” katanya.
Madih, kata Nur, juga pernah memasang portal yang dialiri listrik agar warga tidak bisa lewat di sekitar lahan yang sudah dihuni warga. Seorang warga juga dipermasalahkan dan hampir dihabisi anggota militer karena perkara pemasangan lampu. Perbuatan yang dinilai arogan itu diperkirakan sudah berlangsung sejak 10 tahun terakhir. Hingga minggu lalu, Madih mengajak beberapa orang untuk memasang patok dan spanduk.
”Bripka Madih bawa rombongan 10 orang dan memasang patok di depan rumah warga. Ia juga pasang pos dan ditunggui beberapa orang yang kami tidak kenal sampai dini hari. Warga kami merasa resah, padahal kami tidak pernah bersengketa dalam tanah. Bukan hak Pak Madih pasang patok kecuali ada keputusan pengadilan,” lanjut Nur.
Tidak sampai di situ, karena laporan penyerobotan tanah oleh Madih, ada delapan warganya yang tidak bisa mengurus pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan.
Kepala Kantor ATR BPN Bekasi Amir Sofwan mengakui pihaknya menahan pengajuan pembuatan sertifikat tanah oleh warga di wilayah tersebut karena laporan Bripka Madih. ”Masih kami hentikan biar clean and clear. Pada dasarnya, kami menunggu proses ini lebih lanjut. Kami mendukung kepolisian agar bisa clear semua,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Kelurahan Jatiwarna E Kustara memastikan pihaknya sudah melihat fotokopi dan asli dari AJB yang dimiliki pihak yang diklaim sebagai penyerobot. ”Ternyata, sudah terjadi jual beli,” katanya.