Tak Jemu Merawat Ciliwung
Sebagian warga tak kenal lelah merawat Sungai Ciliwung di Jakarta. Mereka setia menjadikan Ciliwung sebagai bagian dari beranda rumah atau kampung yang terus berkembang.
Air kecokelatan mengalir di antara dua dinding beton di sepanjang aliran Sungai Ciliwung di kawasan Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (2/2/2023) siang. Aneka sampah plastik dan styrofoam hanyut maupun tersangkut di tepian sungai selebar 40 meter itu.
Seorang perempuan paruh baya tampak mendayung perahunya menuju ke salah satu sisi sungai. Di belakang perahu sepanjang 1,5 meter itu ada sekantung plastik hitam berisi tumpukan botol dan besi berkarat.
"Waktu (saya) kecil, Ciliwung memang bagus. Setiap kali habis bermain sepak bola, kami sering main ke sungai, berenang, mencari ikan, dan menyeser udang. Kalau mau ke sungai, kami harus turun dulu, seperti menuruni bukit," kenang Usman Firdaus (53) sambil memandang beranda kampungnya dari markas komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung atau Mat Peci.
Bangunan yang berjarak 10 meter dari Sungai Ciliwung ini menjadi pusat segala aktivitas dari komunitas yang digagasnya. Masih jelas dalam ingatannya tentang perubahan wajah Sungai Ciliwung dari tempat bermain yang indah dan menyenangkan, kini jadi tak lagi elok.
Penduduk semakin padat, adanya alih fungsi lahan, terjadi sedimentasi, hingga sampah-sampah bertebaran di mana-mana. Lebih dari itu, intensitas banjir kiriman yang biasanya datang setiap lima tahun sekali, berubah menjadi hampir setiap tahun.
Bersama istri dan teman masa kecilnya, sedikit demi sedikit Usman mulai bergerilya. Keinginannya sederhana, yakni mengubah Sungai Ciliwung agar lebih baik.
Pijakan awal mereka tidaklah mudah. Seperti pepatah dari Timur Tengah yang berbunyi, 'tak ada nabi yang dihormati di tempat asalnya', dari situlah Usman mengukuhkan langkah untuk menghadapi orang-orang di tanah kelahirannya.
"Kata mereka, siape elu, larang-larang gue buang sampah di kali, emang kali ini punya elu? Waktu kita bawa petugas juga mereka bilang, lho kalau gue gak buang sampah di sini, kerja lu apa?," tutur pria yang juga akrab disapa Mat Peci.
Baca juga: Bertahun-tahun Menantikan Sentuhan Pengendalian Banjir
Tidak berhenti di situ, Usman juga menghadapi berbagai rintangan, seperti berhadapan dengan organisasi masyarakat, kontak fisik dengan warga sekitar, dianggap mengeklaim lahan warga, hingga mendapat serangan gaib. Namun, impiannya untuk mengembalikan kondisi Sungai Ciliwung tetap dipegang teguh.
Penanganan sampah di Sungai Ciliwung bukan hanya menjadi tanggung jawab komunitas pecinta lingkungan semata, melainkan juga pemerintah dan masyarakat.
Melalui perkumpulan masyarakat, seperti PKK, karang taruna, RT, dan RW, Usman mengajarkan cara mengelola sampah, termasuk salah satunya dengan program bank sampah. Setelah dirasa cukup berhasil mengurangi intensitas warga di kampung halamannya membuang sampah ke Sungai Ciliwung, Usman berkeliling dan mengedukasi warga bantaran sungai lainnya.
Kemudian berdiri Sekolah Edukasi Sungai Ciliwung di Srengseng, Jakarta Selatan, pada akhir 2016. Sekolah tersebut untuk mengedukasi masyarakat terutama anak-anak agar mencintai dan merawat sungai sejak dini.
Anak-anak dilatih tentang bagaimana mengelola sampah, menanam pohon, membuat hidroponik serta membuat kolam. Namun, hal itu bukan berarti tanpa kendala. Apa yang sudah dilakukan oleh Mat Peci dirasa menguap begitu saja tatkala anak-anak kembali ke rumah.
"Begitu pulang ke rumah, anak-anak lihat kakaknya, bapaknya buang sampah sembarangan hingga akhirnya kembali lagi. Jadi harus didukung oleh semua pihak, keluarga dan lingkungan," ucapnya.
Penanganan sampah di Sungai Ciliwung bukan hanya menjadi tanggung jawab komunitas pecinta lingkungan semata, melainkan juga pemerintah dan masyarakat. Usman berharap, apa yang telah dilakukan selama belasan tahun di salah satu area bantaran Sungai Ciliwung dapat menjadi contoh di wilayah lain tentang bagaimana mencintai lingkungan.
Baca juga: Berkelok-keloknya Penanganan Banjir Jakarta
Tidak mudah
Selain memberikan pemahaman akan cinta lingkungan pada masyarakat, Mat Peci turut menyumbangkan anggota komunitas pada Unit Pelaksana Kebersihan Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Salah satunya adalah Muji (41).
Berkat bekal pengalaman menyisir sungai dan bagaimana menghadapi masyarakat bantaran sungai, Muji kini telah sembilan tahun dipercaya menjaga Sungai Ciliwung. Setiap hari, ia bersama 60 anggota lain bekerja sejak pukul 07.30 hingga pukul 15.30. Sedikitnya, ada 10 area aliran sungai dan saluran penghubung yang harus mereka bersihkan.
Sebelumnya, Muji tidak pernah membayangkan menjadi pegiat lingkungan di Sungai Ciliwung. Hal itu mulai dikukuhkan oleh pria asal Brebes, Jawa Tengah ini ketika bertemu dengan sosok Usman dalam perjumpaannya di komunitas Mat Peci.
"Awalnya, saya hanya ingin refreshing dari pekerjaan di proyek. Lambat laun, rasanya nyaman dan merasa cocok dengan berbagai kegiatan membersihkan sungai," kisah Muji.
Bergumul dengan aliran Sungai Ciliwung yang dikenal jauh dari kata jernih dan bersih itu, menjadi pengalaman tersendiri baginya. Suatu ketika, Muji harus turun ke aliran sungai di kawasan Gunung Antang, tepatnya di bawah jembatan Slamet Riyadi, untuk membersihkan sampah. Di wilayah itu, terkenal dengan limbah air yang hitam pekat dan tumpukan sampahnya.
Saat itu pula, Muji terkena penyakit cacing yang masuk hingga ke dalam kulitnya. Selama satu bulan, Muji tetap bekerja dengan menahan rasa gatal. Bahkan, salah satu temannya sampai mendapat penanganan khusus dari dokter spesialis kulit.
Selain risiko penyakit kulit, pekerjaan Muji juga turut mengancam keselamatannya. Hal itu terutama terjadi ketika air sungai sedang naik. Walakin, Muji tetap melakoni tugasnya sebagai pembersih sungai.
Salah satu pengalaman yang tertancap dalam ingatan Muji adalah ketika ada sumbatan sampah di area Kampung Melayu pada akhir 2014. Kala itu, sejumlah aparat dengan peralatan lengkap telah dikerahkan. Namun, banyaknya sampah dan kondisi banjir kiriman membuat mereka hampir menyerah.
"Dulu Kali Ciliwung ngeri, pernah mampet. Waktu itu ada penyumbatan sampah karena pohon tumbang. Saluran masih kecil, mungkin ada bentangan sampah sampai sekitar 150 meter," jelasnya.
Baca juga: DKI Jakarta Kejar Target Bangun Pengendali Banjir
Seusai makan siang, Muji beserta anggota lainnya kembali berusaha mencari sampah yang menjadi pengikat sumbatan atau dikenal dengan 'kuncian'. Setelah berusaha menjebol sampah-sampah tersebut selama dua hari dengan peralatan ala kadarnya, akhirnya tumpukan sampah itu berhasil dibobol.
Kini, penyumbatan tersebut sudah hampir tak pernah ditemuinya lagi. Menurut ayah dua anak itu, perilaku warga yang membuang sampah ke sungai sudah jauh berkurang.
"Saat ini, hanya perlu perawatan dan tetap membersihkan sampah serta longsoran meski tidak bisa steril lantaran terkendala akses perahu. Jadi, kami hanya menyusur dari darat, mencari sampah-sampah yang kelihatan mata," ucapnya.
Usman dan Muji hanyalah bagian kecil dari warga yang peduli terhadap Ciliwung. Tangan-tangan mereka tak kenal lelah membersihkan sampah di Ciliwung, hingga mengedukasi warga agar tidak membuang sampah sembarangan.