Kasus Hasya dan Selvi, Pertaruhan Profesionalisme Polri
Kejanggalan dalam penyelidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa di Jakarta dan Cianjur harus dibuka secara transparan oleh kepolisian.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Setelah polisi menetapkan Mohammad Hasya Athallah Saputra sebagai tersangka karena kecelakaan lalu lintas yang menewaskannya, beragam opini publik menyuarakan keresahan terhadap keputusan polisi. Keberpihakan polisi dalam kasus serupa yang merenggut nyawa sipil juga dipertanyakan dari kecelakaan yang menewaskan seorang mahasiswi di Cianjur, Jawa Barat.
Senin (30/1/2023), Polda Metro Jaya segera membentuk tim pencari fakta untuk menelisik kembali kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara motor 18 tahun tersebut dengan mobil yang dikendarai pensiunan Polri, Ajun Komisaris Besar (Purn) Eko Setio Budi Wahono, di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2022) malam.
”Kami sudah mendengar berbagai masukan baik dari akademisi maupun dari teman-teman media, dari politisi, dan segenap lapisan masyarakat. Juga tentunya atas perintah dan arahan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo,” kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran, di Jakarta.
Tim itu akan terdiri dari pihak internal Polda Metro Jaya, antara lain Inspektur Pengawas Daerah (Irwasda), Profesi dan Pengamanan, Bidang Hukum, serta Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Korps Lalu Lintas Polri juga akan dilibatkan untuk investigasi kejahatan secara saintifik.
Pihak eksternal juga dilibatkan, seperti pengawas ekternal kepolisian, pakar keselamatan transportasi, pakar hukum, ahli otomotif, agen tunggal pemegang merek (ATPM), hingga media. ”Dari fakta-fakta nanti akan kami tindak lanjuti. Semoga rasa keadilan dan kepastian hukum bisa kita peroleh di dalam langkah-langkah tersebut,” kata Fadil.
Pada Jumat (27/1/2023), Polda Metro Jaya mengumumkan bahwa Hasya ditetapkan sebagai tersangka. Hasya dinilai lalai mengendarai sepeda motor hingga menyebabkan kecelakaan.
Berdasarkan kronologi kejadian, Hasya yang memboncengkan seorang temannya melintasi Jalan Srengseng Sawah dari selatan ke utara yang basah karena hujan gerimis, dengan kecepatan sekitar 60 kilometer (km) per jam.
Tiba-tiba sebuah mobil di depan mereka berbelok sehingga Hasya mengerem secara mendadak. Pengereman itu membuat motor yang dibawa Hasya tergelincir sehingga jatuh ke sebelah kanan.
Tepat saat motor jatuh ke arah jalan yang berseberangan, mobil Pajero yang dibawa Eko melaju dengan kecepatan 30 km per jam dan menabrak Hasya. Dalam posisi itu, penyidik menimbang bahwa Eko sulit menghindari tabrakan meski diklaim ada upaya banting setir.
Pengereman mendadak yang mengakibatkan motor Hasya tergelincir menjadi penentu status tersangka dalam kecelakaan itu. Namun, penyidikan kasus tidak dilanjutkan atau SP3, yang diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman menyebut, polisi memberikan SP3 dengan pertimbangan bahwa kasus itu sudah kedaluwarsa, tidak cukup bukti, dan tersangka meninggal dunia.
Sementara itu, selain karena tidak ada itikad baik dari Eko, pihak keluarga sejak awal menilai ada sejumlah kejanggalan dari penyelidikan kasus itu. Mereka menemukan polisi lamban mengusut kasus tersebut dan enggan memproses laporan keluarga. Beberapa kejanggalan juga ditemukan, seperti adanya surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) yang berbeda konteks pada 17 Januari lalu.
Menanggapi rencana pembentukan tim pencari fakta oleh Polda Metro Jaya, Gita Paulina dari tim kuasa hukum keluarga Hasya mengaku mereka akan menantikan rencana itu direalisasikan. Sejauh ini mereka belum bisa menanggapi lebih lanjut rencana tersebut.
”Kami belum tahu apa dasarnya. Kembali lagi, kami harus menelaah lagi apa, sih, tim ini? Buat apa nanti hasilnya secara hukum. Kalau kami diikutsertakan, kami, sih, terbuka,” kata Gita per telepon.
Kecelakaan di Cianjur
Di Cianjur, Jawa Barat, penyelidikan polisi terhadap perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa mahasiswi Universitas Suryakancana (Unsur), Selvi Amalia Nuraeni (19), juga janggal. Selvi meninggal di tempat seusai ditabrak rombongan mobil di Jalan Raya Bandung-Cianjur, Kecamatan Karangtengah, Cianjur, Jumat (20/1/2023) siang.
Kapolres Cianjur Ajun Komisaris Besar Doni Hermawan, dalam rilis tertulisnya, menyebutkan, mereka menetapkan Sugeng Guruh Gautama Legiman (40) sebagai tersangka kecelakaan yang menyebabkan orang meninggal. Sugeng adalah sopir mobil sedan Audi.
Kronologi kejadian berawal saat Selvi yang mengendarai motor dari arah Bandung menuju Cianjur menabrak angkot di depannya. Akibatnya, Selvi terpental ke kanan jalan meski masih berada di jalurnya. Tidak lama kemudian mobil yang melaju dari arah berlawanan menabrak Selvi hingga tewas di tempat. Adapun mobil penabrak segera kabur setelah insiden itu.
Dari penyelidikan, polisi menetapkan Sugeng selaku pengendara mobil sedan sebagai tersangka setelah memeriksa sejumlah saksi dan tujuh rekaman kamera CCTV. Saksi penumpang mobil yang dibawa Sugeng mengatakan, mobil itu tengah mengikuti iring-iringan kendaraan dinas Patroli dan Pengawalan (Patwal) Polri. Pernyataan itu juga disampaikan beberapa saksi lain yang diperiksa polisi.
Meski demikian, Yudi Junaidi, kuasa hukum keluarga korban, menemukan fakta yang bertolak belakang. Dari bukti-bukti, seperti keterangan saksi dan rekaman kamera CCTV, kendaraan yang diduga menabrak Selvi berjenis MPV (multipurpose vehicle).
”Kejadian pukul dua. Sekitar pukul tiga, keluarga koban sudah investigasi dengan menyisir tempat kejadian, minta rekaman CCTV di sekitar lokasi, dan mengobrol dengan saksi. Ketika polisi bergerak, ternyata beda versi,” kata Yudi.
Bukti-bukti itu, kata Yudi, sudah ia pastikan kuat. Ia pun sudah menyerahkannya ke polisi dan meminta data yang mereka dapat diselidiki. Sayangnya, polisi tidak menggubris data versi korban.
”Kami hormati data polisi, tetapi data di kami tidak digubris sehingga kepolisian ambil kesimpulan sepenggal. Jadi, yang dimunculkan di sidang pengadilan dipaksakan dengan sepenggal data yang mengarah pada bukti lain dari versi kuasa hukum korban,” ujarnya.
Hingga kini, Yudi pun menyayangkan persoalan di kepolisian yang memunculkan banyak pertanyaan. ”Di daerah, masih sering kejadian seperti ini, entah by design atau karena pemahaman terhadap hukum warganya kurang bagus,” ucapnya.
Kepercayaan terhadap Polri
Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR, Arsul Sani, melihat kedua kasus itu telah menimbulkan kritik terbuka di media arus utama ataupun media sosial. Kritik ini pun berpotensi membuat masyarakat sulit memulihkan kepercayaan terhadap institusi Polri.
”Kalau ada kritik demikian enggak akan me-recovery kepercayaan masyarakat terhadap Polri,” katanya kepada Kompas.
Menurut dia, Polri perlu segera mendalami serius anggotanya yang terlibat dalam kedua kasus tersebut. Pada kasus Hasya, misalnya, ia meminta Polri ikut mengingatkan anggota ataupun purnawirawan yang masih jemawa. Terkait kasus di Cianjur, polisi harus menjawab akan sejauh mana proses penyidikan mengusut masalah mobil tersangka masuk dalam rombongan Patwal.
”Itu semua harus dibuka dan disampaikan ke publik, untuk sekali lagi, agar publik tidak menilai jajaran kepolisian menerapkan jiwa korsa yang salah, seolah melindungi anggota polisi,” kata Arsul tegas.
Kamis ini, DPR akan mengundang orangtua Hasya dan tim kuasa hukum dari UI ke rapat dengar pendapat. Hal ini dilakukan agar Dewan dapat memberikan evaluasi ke Kapolri pada akhir Februari mendatang.
Semoga kasus ini memberikan pelajaran bagi institusi Polri agar tidak hanya menggunakan kata humanis sebagai jargon, tetapi juga bentuk pengorbanan dan tanggung jawab.