Mewujudkan Kota Inklusif bagi Penyandang Disabilitas
Perjalanan panjang membangun kota yang inklusif, khususnya bagi masyarakat berkebutuhan khusus, sedikit demi sedikit mulai terlihat hasilnya.
Oleh
YULIUS BRAHMANTYA DAN DEBORA LAKSMI INDRASWARI
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sri Puryantini (kiri) membantu rekannya, Cica Marlisa, menyelesaikan lukisan dalam pameran bertajuk "Selayang Pandang" di Galeri Mitra Hadiprana, Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (26/1/2023).
Menciptakan lingkungan inklusif bagi masyarakat berkebutuhan khusus sudah menjadi agenda besar dunia, termasuk Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam beberapa poin di 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Poin pentingnya adalah membangun lingkungan, daerah, dan masyarakat yang inklusif, terutama untuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus.
Menurut The SMERU Research Institute (2020), pembangunan inklusif berarti pembangunan yang melibatkan seluruh kelompok tanpa adanya diskriminasi sehingga dapat tercipta rasa memiliki dari setiap elemen masyarakat terhadap pembangunan tersebut.
Pembangunan inklusif menjadi penting mengingat ada sekitar 28,05 juta penyandang disabilitas atau lebih dari 10 persen total penduduk di Indonesia. Masalahnya, kelompok masyarakat ini sering kali tidak mendapat kesempatan dan hak yang sama dengan orang-orang pada umumnya.
Sejauh ini memang sudah ada sejumlah kebijakan yang mendorong pembangunan inklusif. Beberapa kebijakan itu terwujud dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selain itu, ada turunan kebijakan dan program yang dilakukan setiap daerah untuk menjamin inklusivitas bagi kelompok berkebutuhan khusus.
Upaya tersebut cukup diapresiasi masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 10-12 Januari 2023 kepada 512 responden di seluruh Indonesia, separuh responden (50 persen) melihat masyarakat penyandang disabilitas di daerahnya sudah diperlukan secara setara dan adil.
Perlakuan setara untuk kelompok difabel ini dilihat publik dari penyediaan layanan dasar yang menjadi kebutuhan utama masyarakat pada umumnya. Sebanyak 29,2 persen responden menyebutkan, pelayanan masyarakat yang paling baik diberikan untuk kelompok difabel adalah layanan kesehatan. Selain itu, apresiasi publik juga diberikan untuk bidang bantuan sosial (19,2 persen) dan akses pendidikan (12,2 persen).
Meski pembangunan yang inklusif mulai diserap di berbagai bidang, bagi 43,6 persen responden, program dan kebijakan yang ada belum benar-benar merangkul kelompok difabel. Secara umum, enam dari sepuluh responden melihat pelayanan, fasilitas, dan kesempatan dari pemerintah untuk kelompok masyarakat itu kurang memadai.
Hal ini juga menjadi sorotan global lantaran skor inklusivitas Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Indonesia menempati peringkat ke-125 dalam peringkat Indeks Inklusivitas Global 2020 dengan skor 26,5. Peringkat tersebut di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid dengan disabilitas penglihatan bersiap pulang ke sekolah setelah tampil dalam sebuah pentas yang disiarkan secara daring bersama murid difabel lainnya dari SMK Negeri 8 Surakarta dalam program keahlian seni pertunjukan di Callista TV, Desa Gentan, Kecamatan Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (26/1/2023).
Kesempatan bekerja
Besarnya angka di bidang pelayanan kesehatan dan bantuan sosial agaknya menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia masih perlu meningkatkan kebijakan dalam menyikapi isu disabilitas. The SMERU menyebutkan ada lima jenis pendekatan dalam menyikapi isu disabilitas, salah satunya adalah kesehatan. Pendekatan ini memandang para penyandang disabilitas atau difabel sebagai orang sakit dan perlu dikasihani. Apabila tidak disadari, pendekatan ini dapat membawa pada eksklusivitas laten bagi para penyandang disabilitas karena mereka hanya akan mendapatkan perlakuan yang setara dan adil pada bidang-bidang yang bersifat menyembuhkan saja.
Sementara masyarakat berkebutuhan khusus justru membutuhkan pengakuan atas kemampuannya serta kesempatan yang sama untuk dapat menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Wujud dari pengakuan itu dapat terlihat nyata, misalnya, pada akses terhadap lapangan kerja.
Hal ini juga yang diutarakan mayoritas responden terkait bidang apa yang perlu ditingkatkan agar pembangunan inklusif bagi kelompok berkebutuhan khusus semakin berdampak. Sebanyak 30 persen responden menghendaki adanya peningkatan akses terhadap lapangan kerja. Jumlah yang signifikan tersebut mengisyaratkan sudah saatnya lapangan pekerjaan di Indonesia lebih inklusif bagi para penyandang disabilitas.
Laporan Bappenas tahun 2021 memperlihatkan sebanyak 71,4 persen pekerja penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Angka ini terlihat sangat kontras ketika dibandingkan dengan 50,5 persen pekerja non-penyandang disabilitas yang bekerja di sektor yang sama. Sejalan dengan itu, temuan dari ILO (2020) juga menunjukkan bahwa proporsi penyandang disabilitas yang memperkerjakan diri sendiri (self-employed) lebih tinggi 1,5 kali daripada orang non-penyandang disabilitas.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas menyimulasikan pelayanan bagi penumpang difabel di rangkaian kereta LRT di Stasiun Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (24/1/2023).
Besaran tersebut menandakan bahwa masih sulitnya penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan yang layak dan terjamin. Padahal, aspek pekerjaan yang layak adalah bagian kunci dari terciptanya pembangunan yang inklusif dan pengangkatan taraf hidup penyandang disabilitas.
Harapan untuk lebih melibatkan penyandang disabilitas dalam pembangunan secara menyeluruh juga tampak dari jawaban responden lainnya. Sebanyak 22,3 persen responden tetap menginginkan peningkatan pelayanan di bidang kesehatan.
Pelayanan lain yang perlu ditingkatkan ialah akses sarana dan prasarana publik, akses pendidikan, program bantuan sosial, program bantuan keuangan, transportasi publik, dan partisipasi dalam kehidupan sosial.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Penyandang disabilitas mengikuti acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (5/12/2022).
Seakan merespons harapan-harapan tersebut, pada 2021, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025. Dalam peraturan ini, pemerintah mencanangkan peningkatan akses pelayanan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas. Antara lain, peningkatan penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas di sektor formal, peningkatan aksesbilitas, informasi, dan kualitas pelayanan publik, serta perlindungan hukum dan sosial. Ini berarti pemerintah berupaya untuk melibatkan penyandang disabilitas secara penuh dan setara dalam pembangunan masyarakat.
Instrumen yuridis tersebut diharapkan tidak hanya menjadi landasan hukum yang hanya formalitas belaka. Lebih dari itu, harapan akan terwujudnya kota, lingkungan, dan masyarakat yang inklusif perlu diwujudkan lebih spesifik dalam berbagai sektor hidup masyarakat. Bagaimanapun, para penyandang disabilitas adalah bagian dari warga negara Indonesia yang sama-sama berhak menikmati pembangunan dan kemajuan bangsa ini. (LITBANG KOMPAS)