Pekerja Migran dalam Cengkeraman Kejahatan Sekaliber Komplotan Wowon
Ketamakan membuat nyawa pekerja migran perempuan kerap tidak dihargai sebesar hasil keringat mereka. Rendahnya pendidikan juga literasi keuangan membuat para pahlawan devisa itu menjadi sasaran empuk berbagai kejahatan.
Pahlawan devisa. Demikian masyarakat mengelukan para pekerja migran Indonesia yang mengais rezeki di luar negeri. Nyatanya, hak dasar mereka kerap tidak dihormati, bukan hanya oleh masyarakat luar yang mempekerjakan mereka, melainkan juga oleh orang terdekat di dalam negeri. Ketamakan membuat nyawa tidak dihargai sebesar hasil keringat mereka.
Potret ini tecermin dalam kasus kriminal yang baru mencuat dalam pengungkapan beberapa orang tewas teracuni di sebuah rumah kontrakan di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada pertengahan Januari 2023. Ai Maemunah (40) tewas bersama dua anaknya, M Riswandi (17) dan Ridwan Abdul Muiz (23).
Pria bernama Wowon Erawan (60) menjadi otak dari pembunuhan terencana itu, dibantu komplotannya, M Dede Solehudin (35) dan Solihin alias Duloh (63). Mereka bertiga menjalankan aksi penipuan untuk mendapatkan uang dengan motif menggandakan kekayaan melalui kekuatan supranatural.
Aksi itu dilakukan seperti skema bisnis multilevel marketing (MLM). Para penipu mengajak korbannya untuk memberikan uang yang ingin dilipatgandakan sesuai perjanjian. Jika percaya, korban juga bisa mengajak orang lainnya. Pelaku lantas merenggut nyawa korbannya yang sadar pada tipu daya mereka.
”Salah satu motif kejahatan mereka adalah membunuh orang yang mengetahui kejahatannya, seperti Ai Maemunah, yang ikut merekrut pada TKW untuk ikut mengirimkan uang kepada para tersangka,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi di Jakarta, Selasa (25/1/2023).
Baca juga: Berkaca dari Kasus Wowon, Perlindungan Pekerja Migran Kian Mendesak
TKW atau tenaga kerja wanita sebutan masyarakat umum terhadap pekerja migran perempuan sejauh ini diketahui menjadi sasaran empuk komplotan asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu.
Halimah pun pernah dinikahi Wowon sampai ia meninggal karena dugaan sakit pada 2016. Polisi sejauh ini masih mencari tahu kebenaran penyebab Halimah yang dikubur di Clillin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dengan otopsi.
Terkait pendalaman kasus Halimah, Misbah (40), adik Halimah, menyampaikan, kakaknya meninggal pada 2016 karena sakit keras. Namun, tidak diketahui secara pasti sakit yang apa diderita Halimah saat itu. Pihak keluarga mencurigai Wowon. Sebab, sejak Halimah jatuh sakit hingga mengembuskan napas terakhir dan dikubur di Desa Karangtanjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sosok Wowon sama sekali tidak terlihat.
”Sebelum meninggal, Halimah merintih dan terus menyebut nama Wowon. Sambil memegangi perutnya yang membesar secara tak wajar, Halimah mempertanyakan keberadaan Wowon. Katanya, ’Kok Wowon jahat sekali tidak pernah menengok saya dan dia bawa kabur uang saya’,” kata Misbah saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (25/1/2023).
Baca juga: Komplotan Wowon Jalankan Modus Penipuan seperti MLM
Istri Wowon yang lainnya, seperti Wiwin, dari penelusuran Kompas, juga memiliki rekam jejak sebagai pekerja migran. Namun, nyawanya ikut hilang pada 2021 di tangan Solihin. Wiwin dikubur bersama ibunya Noneng di rumah Solihin di Cianjur.
Noneng yang dikabarkan pernah menjadi pencari devisa itu ikut menceburkan diri dari kapal ke perairan Karangasem, Bali, bersama Siti, TKW lain yang menjadi korban. Menceburkan diri ke laut sebagai bentuk ritual disebut polisi menjadi motif pelaku membunuh korban yang mengancam pelaku.
Siti dan perempuan lain bernama Farida sejauh ini menjadi pekerja migran yang terkonfirmasi sebagai korban penipuan. Keduanya meninggal secara tragis dalam kondisi dan lokasi berbeda. Sayangnya, dari beberapa perempuan yang menghilang atau meninggal secara janggal itu hanya Noneng yang sempat dilaporkan oleh pihak keluarga ke pihak berwenang.
Belakangan, polisi menemukan ada 11 pekerja migran lain yang menjadi korban penipuan Wowon dan komplotannya. Empat di antara mereka masih di luar negeri dan tiga lainnya sudah kembali ke Indonesia. Mereka terbukti mengirimkan uang ke rekening aktif para pelaku. Sejak pertama dibuat pada April 2019, rekening itu telah menampung kurang lebih Rp 1 miliar.
Baca juga: Modus Komplotan Wowon Diduga Tidak Hanya Ekonomi
”Selain penegakan hukum, edukasi kita berikan ke masyarakat untuk mencegah pelaku-pelaku lain, bahwa polisi sudah mengetahui modus seperti ini. Masyarakat juga jangan coba-coba mengikuti praktik dengan motif seperti ini karena bukan hanya harta, melainkan jiwa juga akan menjadi korban,” kata Hengki.
Banyak aduan
Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Migran Republik Indonesia (Astakira) Kabupaten Cianjur Ali Hildan mengatakan, pekerja migran Indonesia merupakan kelompok rentan. Hal itu karena minimnya perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia pada aspek hukum, sosial, dan ekonomi, baik sebelum berangkat, saat berada di luar negeri, maupun saat kembali ke Tanah Air.
”Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Pemerintah, baik itu Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, maupun para duta besar Indonesia, seharusnya hadir untuk pekerja migran. Tak usah pandang bulu, mau itu legal atau ilegal, mereka harus dilihat sebagai warga negara Indonesia,” kata Ali, Selasa (25/1/2023), saat dihubungi dari Jakarta.
Mereka kebanyakan berangkat dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Jadi pekerja migran karena ingin membantu ekonomi keluarga. Rata-rata lulusan SD atau SMP yang lalu menjadi pekerja migran ketika berusia 20 sampai 30-an.
Berkaca dari banyaknya TKW yang menjadi korban penipuan dan pembunuhan komplotan Wowon, Ali Hildan mengatakan, peran pemerintah dalam melindungi pekerja migran Indonesia mendesak direalisasikan. Sepanjang 2022, misalnya, Astakira Cianjur menerima banyak pengaduan terkait masalah yang dihadapi pekerja migran. Sepanjang 2022, terdapat 183 laporan kasus yang dihadapi para pekerja migran dengan kurun waktu paling lama 20 tahun.
Ali menyebut, kebanyakan pekerja migran Indonesia mengalami kendala berupa gaji yang tidak dibayarkan. Selain itu, ada kasus lainnya, seperti terjerat hukum pidana, menderita penyakit, kecelakaan lalu lintas, korban tindakan kriminal, tinggal melebihi masa berlaku visa, hingga hilang kontak dengan keluarga.
”Mereka kebanyakan berangkat dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Jadi pekerja migran karena ingin membantu ekonomi keluarga. Rata-rata lulusan SD atau SMP yang lalu menjadi pekerja migran ketika berusia 20 sampai 30-an,” kata Ali.
Ali turut menilai, pemberdayaan maupun edukasi terkait literasi keuangan kepada para calon pekerja migran Indonesia belum terlaksanakan. Hal itu kemudian membuat beberapa pekerja migran terjerat penipuan oleh oknum-oknum yang secara umum berkedok investasi, asmara, atau iming-iming gaji besar. Pada tahun 2021, misalnya, Astakira menerima laporan dua orang tertipu modus asmara. Sementara tahun 2022 ada tiga orang tertipu modus investasi.
Baca juga: Polisi Selidiki Kematian Halimah, Salah Satu Istri Wowon di 2016
Maka dari itu, bagi Ali, para pahlawan devisa ini perlu mendapatkan edukasi dan sosialisasi, khususnya tentang literasi keuangan. Dengan demikian, para pekerja migran Indonesia dapat meminimalkan risiko terjebak bujuk rayu atau iming-iming yang tidak masuk akal.
”Kalau ditanya, siapa sih yang mau jadi pekerja migran? Mereka bahkan ada yang sampai tujuh kali kembali karena dorongan kebutuhan ekonomi. Ketika literasi dan pemberdayaan dilakukan, seharusnya mereka mendapat pelatihan kewirausahaan dengan tujuan agar mereka punya modal untuk berangkat. Itu hak, tapi meminimalkan permasalahan,” ujar Ali.
Pendiri Migrant Care, Anis Hidayah, pun tersentak begitu mendengar kasus yang mengorbankan para pahlawan devisa ini. ”Baru kali ini saya menemukan kasus sebesar ini selama melakukan advokasi terhadap pekerja migran,” ujarnya saat dihubungi Rabu (25/1/2023).
Minimnya perlindungan
Anis mengakui bahwa selama ini sebagian pekerja migran, khususnya perempuan, rentan menjadi korban kejahatan terorganisasi, seperti jaringan narkoba, terorisme, perdagangan orang, nikah paksa, penipuan, hingga kejahatan yang menghilangkan nyawa.
Latar belakang pendidikan menjadi salah satu faktornya. Sebanyak 54 persen pekerja migran perempuan maksimal hanya menempuh pendidikan sampai sekolah menengah pertama (SMP).
Kondisi itu semakin didukung dengan kurangnya literasi keuangan dan hukum. ”Posisi mereka yang rentan semakin rentan karena dimanfaatkan individu atau organisasi. Ini bukan tidak mungkin karena ruang-ruang perlindungan negara yang belum hadir,” ujar Anis.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia pada 22 November 2017. Perundangan itu mengatur sistem terpadu yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk melindungi dan memberdayakan pekerja migran.
Kita mendorong dan mendukung penegak hukum agar bisa beri efek jera kepada pelaku. Kemudian, bisa beri hak atas keadilan bagi korban dan keluarga, serta memastikan tidak ada kasus berulang.
Sayangnya, sejak 5 tahun bergulir, menurut Anis, kemajuan hukum itu belum dioptimalkan. Negara belum maksimal menyiapkan kantor Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang melayani urusan ketenagakerjaan, kependudukan, hukum, dan keuangan calon hingga eks pekerja migran.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sampai Desember 2022, lembaga negara itu hanya menguasai 5,88 persen pekerja migran yang ditempatkan di luar negeri. Sementara itu, 81,54 persen pekerja migran direkrut oleh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI).
Pengiriman tenaga kerja yang didominasi pihak swasta membuat intervensi pemerintah menjadi minimal. Kondisi ini dimanfaatkan lembaga perekrut yang tergolong abal karena mengabaikan prosedur perlindungan dan pengawasan. Situasi itu memperparah kurangnya literasi hukum para pekerja migran.
Di sisi lain, data survei Bank Dunia pada 2017 menunjukkan, upah bulanan rata-rata pekerja migran Indonesia sebesar 281 dollar AS atau Rp 3,7 juta. Upah tersebut mencapai empat kali lipat sebelum bekerja sebagai pekerja migran.
Upah tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dengan mencukupi kebutuhan konsumsi yang mengacu pada pembelian kebutuhan pokok, seperti pangan dan sandang. Remitansi juga dapat digunakan untuk investasi berupa pembangunan rumah permanen, pembelian aset tanah atau sawah, pembayaran pendidikan, dan kesehatan (Kompas.id, 27/1/2022).
Dengan besarnya jasa pekerja migran, Anis pun mendukung penegak hukum untuk memberantas kejahatan yang bisa memperluas hilangnya hak hidup pekerja migran. Ini salah satunya dengan mengungkap kasus kriminal yang dilakukan komplotan Wowon.
”Kita mendorong dan mendukung penegak hukum agar bisa beri efek jera kepada pelaku. Kemudian, bisa beri hak atas keadilan bagi korban dan keluarga serta memastikan tidak ada kasus berulang,” kata perempuan yang sejak November 2022 menduduki jabatan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Baca juga: Mempertahankan Manfaat Remitansi Pekerja Migran Indonesia