Hunian vertikal jadi salah satu solusi bagi warga di Ibu Kota untuk bisa memiliki hunian. Sebab, harga rumah tapak di Jakarta terlampau mahal dan sulit dijangkau masyarakat kelas menengah hingga berpenghasilan rendah.
Oleh
STEFANUS ATO, AGUIDO ADRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari 12,7 juta rumah tangga yang belum memiliki hunian, sekitar 60 persen dari jutaan rumah tangga itu ada di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Pemenuhan kebutuhan rumah di Jakarta dan wilayah agomerasi pun masih didominasi rumah tapak. Solusi untuk mengatasi kekurangan rumah, salah satunya melalui penyediaan rumah vertikal, pun masih menemui jalan terjal.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan, dari belasan juta rumah tangga yang belum memiliki hunian, kebutuhan rumah paling besar ada di kota-kota besar. Kebutuhan rumah di Jakarta biasanya mencapai 60 persen dari kebutuhan rumah nasional.
”Ditarget nasional itu, (ada program penyediaan) sejuta rumah. Padahal, pertumbuhan penduduk Indonesia 3,5 juta jiwa,” kata Totok pada Senin (23/1/2023) di Jakarta.
Dari 3,5 juta jiwa itu, jika mereka berpasangan, kebutuhan rumah baru yang harus tersedia sebanyak 1,5 juta rumah. Artinya, kekurangan unit hunian masih bertambah.
Tingginya kebutuhan rumah terekam dalam sejumlah situs pencarian rumah daring. Dari data situs rumah.com, tren pencarian rumah selama dua tahun terakhir, khusus untuk kelas menengah dengan kisaran harga rumah Rp 1,5 miliar-Rp 4 miliar, cenderung meningkat.
Pencarian rumah untuk kalangan ini naik dari 23 persen pada 2020 mencapai 32 persen pada 2022. Pencarian rumah untuk kalangan menengah ke bawah atau ruma dengan kisaran harga di bawah Rp 750 juta justru menurun dari 42 persen pada 2020 menjadi 29 persen pada 2022.
Country Manager Rumah.com Marine Novita mengatakan, tumbuhnya tren pencarian rumah dengan kisaran harga Rp 1,5 miliar-Rp 4 miliar terjadi karena didorong kenaikan indeks harga properti dan tingginya permintaan.
”Kenaikan harga tidak lepas dari kondisi ekonomi global, selain kenaikan biaya bahan baku dan kenaikan harga lahan. Cost of fund (biaya dana) yang ditanggung pengembang sebagai industri padat modal juga semakin meningkat seiring dengan naiknya inflasi dan kenaikan suku bunga,” kata Marine, Jumat (25/1/2023).
Rumah susun
Menurut Marine, program rumah subsidi yang telah berjalan selama 12 tahun telah membantu lebih dari 1 juta rumah tangga dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) khususnya melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan penyaluran dana sebesar lebih dari Rp 100 triliun. Di balik pencapaian ini masih ada belasan juta rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap hunian.
Upaya menjawab kebutuhan perumahan warga, kata Marine, salah satunya bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan negara yang masih tersedia di perkotaan. Di lahan-lahan negara itu, pemerintah dapat mendorong keterlibatan swasta agar mengurangi ketergantungan pada pemerintah dalam menyediakan hunian bagi MBR.
Penyediaan hunian dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) di lahan negara bisa dilakukan dengan peyediaan rumah susun. Pencari rumah pun tak perlu khawatir lantaran ada jaminan hak penggunaan rumah susun yang diakomodasi dalam sertifikat kepemilikan gedung bangunan. Hak kepemilikan itu berlangsung selama 40 tahun, menjamin keberlangsungan siklus hunian, dan mengatasi konservasi lahan yang terbatas.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan, di Jakarta, pembangunan rumah susun dengan skema KPBU hingga melalui sistem konsolidasi lahan bisa jadi solusi mengatasi mahalnya harga tanah di Jakarta. Kebijakan ini juga dapat menarik pengembang untuk kembali melirik bisnis properti di Ibu Kota.
”Pembangunan apartemen di Jakarta rata-rata memang hanya untuk kalangan atas. Ada pengembang yang memang membangun hunian untuk kelas menengah ke bawah, tetapi mereka harus siapkan banyak strategi, salah satunya mengurangi luas unit apartemen,” kata Wendy.
Bergeser dari Jakarta
Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, dihubungi terpisah, mengatakan, hunian vertikal jadi salah satu solusi bagi warga di Ibu Kota untuk bisa memiliki hunian. Sebab, harga rumah tapak di Jakarta terlampau mahal dan sulit dijangkau masyarakat kelas menengah, masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT), dan MBR.
”Kebutuhan hunian ini justru banyak berasal dari warga kelas menengah atau yang harganya terjangkau. Mau tak mau harus keluar dari Jakarta,” ucapnya.
Ketersediaan hunian vertikal di Jakarta pun masih dikuasai warga kalangan atas atau presentasenya mencapai 60 persen. Sayangnya, kalangan ini membeli hunian vertikal untuk disewakan.
”Apartemen seharusnya bisa dimiliki oleh masyarakat kelas menengah, misalnya melalui skema subsidi. Kalau hanya sewa saja, pasti berat karena setiap tahun bayar sewa, iuran pengelolaan lingkungan, dan lainnya,” kata Ferry.
Hunian ini akhirnya menjadi kebutuhan prioritas. Tidak mungkin seumur hidup harus menyewa. Ini masalah serius.
Wakil Ketua Umum REI Ikang Fauzi berpendapat serupa. Menurut dia, kebutuhan hunian untuk MBT dan MBR di kota besar, seperti Jakarta dan wilayah aglomerasi, cukup besar. Pertumbuhan penduduk dan magnet di kota besar masih jadi tujuan warga, termasuk kaum milenial yang membutuhkan hunian.
”Hunian ini akhirnya menjadi kebutuhan prioritas. Tidak mungkin seumur hidup harus menyewa. Ini masalah serius,” kata Ikang.
Menurut Ikang, sudah saatnya ada kemudahan bagi kaum milenial, terutama MBT yang rata-rata berpenghasilan Rp 7 juta-Rp 10 juta. Jika dibiarkan, mereka tidak mampu membeli rumah di saat harga jual rumah masih tinggi.
Pemerintah perlu melihat masalah kebutuhan hunian, salah satunya dengan membantu melalui skema subsidi bunga kredit dan pajak. Pengembang pun siap membatu hingga bekerja sama dengan perbankan agar MBT bisa membeli rumah. Namun, semua ini butuh acuan dan aturan dari pemerintah.
”Sekitar 13 juta membutuhkan hunian, 40 persennya itu milenial. Mereka kalau dikasih bunga (kredit) yang sekarang berat untuk membeli hunian. Bagaimana nasib mereka ke depan jika masalah pemenuhan rumah masih kesulitan,” ujarnya.