Efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk melindungi konsumen baru akan teruji dalam lima tahun ke depan.
Oleh
STEFANUS ATO, AGUIDO ADRI
·4 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Ketua Advokasi BPKN Rolas Budiman Sitinjak
JAKARTA, KOMPAS — Kerugian masyarakat akibat proyek hunian mangkrak di Indonesia dari sisi regulasi telah terjawab melalui peraturan pemerintah. Namun, efektivitas aturan ini baru teruji setelah berlaku sekitar lima tahun. Artinya, saat ini belum ada jaminan regulasi itu menjawab persoalan jual beli hunian yang kerap merugikan konsumen.
Ketua Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Budiman Sitinjak mengatakan, aduan konsumen perumahan paling dominan dari berbagai jenis aduan konsumen yang diterima BPKN selama masa sebelum Covid-19. Adapun saat Covid-19 melonjak di Tanah Air, aduan konsumen bergeser ke isu jasa keuangan.
”Pengusaha hanya mencari celah. Ada celah yang bisa dia ulik-ulik dan celahnya besar,” kata Rolas, Selasa (16/1/2023).
Warga melintasi hunian yang mangkrak di Desa Satria Jaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11/2020).
Celah yang dimanfaatkan pengembang itu menyasar pencari rumah dengan kisaran harga Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Hunian yang dibeli warga dengan mencicil kerap berakhir bencana karena yang dipasarkan pengembang belum terbangun atau sertifikatnya ternyata bodong.
Masalah penjualan rumah bodong yang pernah ditangani BPKN salah satunya kasus perumahan Violet Garden di Kranji, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 2016. Awalnya, pengembang mendapat dana Rp 65 miliar dari bank swasta untuk membangun perumahan tapak.
Setelah selesai, pengembang menjual rumah-rumah itu menggunakan skema kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan menggandeng sejumlah bank pelat merah. Konsumen mencicil dengan skema angsuran 5 tahun, 7 tahun, dan 10 tahun.
”Rupanya, di tahun ke enam, warga yang sudah lunas ini tiba-tiba dapat somasi dan diminta keluar karena tanah dan rumah yang dibeli milik bank swasta,” ujarnya.
Ratusan konsumen terjegal. Adapun perusahaan itu kemudian dinyatakan pailit. Namun, konsumen tetap tak bisa mengklaim status kepemilikan rumah karena mereka tak memiliki bukti atau akta kepemilikan rumah. ”Ini baru di Violet Garden. Ada di Parung, juga bodong,” kata Rolas.
Dari data BPKN, aduan konsumen perumahan dari 2017 hingga 6 Januari 2023 mencapai 3.034 kasus. Dari data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, komoditas pengaduan perumahan selama lima tahun terakhir dengan persentase cukup tinggi terjadi pada 2018 dan 2021, yakni 14 persen dan 11,40 persen. Aduan konsumen didominasi aduan pembangunan perumahan mangkrak, yakni mencapai 37 persen.
Masifnya kasus pembelian rumah yang merugikan konsumen kemudian dijawab BPKN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Aturan itu diganti menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
”Setiap rumah yang dibangun di bawah tahun 2020, saya tidak tahu nasibnya. Di atas tahun 2020, sudah lebih baik,” kata Rolas.
Menurut dia, meski aturan ini sudah menutupi celah pembelian hunian yang merugikan konsumen, efektivitas aturan itu baru bakal teruji setelah lima tahun.
Subkoordinator Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Perumahan PUPR, Wahjoe Soeharlin, mengatakan, pihaknya tidak mengurusi persoalan yang melibatkan pengembang hunian mangkrak. Bagian yang mengurus para pengembang properti ada di Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur (DJPI).
Tugas dari Dirjen Perumahan hanya berkaitan dengan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. ”Terkait pengembang di DJPI, semua pengembang terdaftar di aplikasi Sistem Registrasi Pengembang (Sireng). Jika ada penyelewengan, di sana juga yang menangani,” katanya.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Herry T Zuna masih akan menjadwalkan wawancara dengan Kompas bersama tim komunikasi publik DJPI.
Secara keseluruhan, di Indonesia, pada 2021 jumlah penduduk yang belum memiliki rumah mencapai 12,7 juta rumah tangga. Setiap tahun ada tambahan sekitar 680.000 keluarga baru yang membutuhkan rumah. Pemerintah menargetkan kekurangan rumah sepenuhnya diatasi pada tahun 2045.
Melemah setelah ada UU Cipta Kerja
Pengajar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dyah Ayu Widowati, yang dihubungi terpisah, mengatakan, kedudukan konsumen dalam sistem hukum properti sejatinya sangat kuat. Dari awal sudah ada aturan terkait perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), yaitu PPJB yang hanya bisa dilakukan jika memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkaitan dengan kepastian status hak atas tanah.
Itu dulu ada, sekarang malah tidak ada. Ini mungkin bisa melemahkan posisi pembeli lagi.
Namun, faktor yang mengakibatkan banyak konsumen tertipu karena sebagian masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum. Hal lain yang turut membuat konsumen merugi yakni tidak ada lembaga yang mengawasi beragam aturan terkait perlindungan bagi konsumen properti.
Dyah menggarisbawahi, sebelum ada UU Cipta Kerja, seperti UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, memungkinkan diberikan sanksi pidana kepada pejabat yang memberikan izin kepada badan hukum yang mendirikan perumahan padahal tidak layak.
”Itu dulu ada, sekarang malah tidak ada. Ini mungkin bisa melemahkan posisi pembeli lagi,” kata Dyah.