ERP Sebaiknya Berbasis Kawasan, Bukan Sepenggal Jalan
MTI DKI Jakarta menyatakan supaya kebijakan jalan berbayar diterapkan dengan basis kawasan, bukan jalan. Dengan dipastikan berbasis kawasan, layanan angkutan umum pada area tersebut mesti mampu memenuhi kebutuhan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemprov DKI Jakarta bersama DPRD DKI Jakarta saat ini tengah menyiapkan payung hukum penerapan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing. Di tahap awal, jalan berbayar akan diterapkan di 25 ruas jalan. Namun, Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah DKI Jakarta memberi masukan sebaiknya jalan berbayar eletronik diterapkan di kawasan, bukan berbasis jalan.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta Yusa C Permana, Kamis (19/1/2023), menjelaskan, jalan berbayar elektronik (JBE) atau electronic road pricing (ERP) mesti dipahami sebagai bagian dari strategi manajemen transportasi perkotaan.
Sebagai bagian dari strategi besar dan utuh manajemen transportasi wilayah perkotaan, penerapan ERP bertujuan mendorong penggunaan angkutan umum, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, memberikan opsi sumber pendanaan pembiayaan angkutan umum, serta mendorong keberlanjutan pengelolaan transportasi perkotaan, baik secara ekonomi, lingkungan, teknis, sosial, maupun budaya.
Untuk itu, Yusa berpandangan, kebijakan ERP sebaiknya diterapkan di kawasan yang dilayani angkutan umum massal, bukan di koridor jalan. ”Secara ideal ERP sepatutnya diterapkan melingkupi sebuah kawasan dan bukan berupa koridor jalan,” ujarnya.
Apabila ERP diterapkan pada koridor jalan, kebijakan itu berpotensi melimpahkan beban lalu lintas ke koridor jalan lain yang bersifat alternatif akses untuk asal dan tujuan pergerakan lalu lintas yang sama. Untuk itu, penerapan ERP berbasis koridor jalan harus dikombinasi dengan strategi manajemen kebutuhan transportasi lainnya.
Yusa menyebutkan, strategi lain itu misalnya kombinasi dengan intelligent traffic control system (ITCS) untuk koridor tanpa angkutan massal agar mampu mengurai beban lalu lintas yang terlimpahkan dari koridor ERP. Bersamaan dengan itu, dilakukan juga implementasi electronic traffic law enforcement (ETLE) di koridor luar ERP untuk memastikan kedisiplinan lalu lintas.
”Penerapan ERP berbasis koridor sepatutnya diposisikan sebagai bagian langkah awal menuju penerapan berbasis kawasan untuk menghindari pelimpahan volume lalu lintas,” kata Yusa.
Angkutan umum sebagai opsi pengganti kendaraan pribadi di kawasan yang terdampak ERP secara tepat adalah hal yang tidak bisa dinegoisasikan.
Terpisah, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menerangkan, terkait munculnya anggapan bahwa ERP hanya memindahkan kemacetan, ia menjelaskan, masyarakat memiliki pilihan.
Pilihannya adalah mereka bermobilitas lebih efisien dengan angkutan umum atau harus mengeluarkan biaya lebih untuk beralih agar berada di tingkat kenyamanan yang sama di jalan. ”Ini tentu kita berikan ke masyarakat,” kata Syafrin.
Dengan rencana penerapan kebijakan pembatasan kendaraan dengan menerapkan ERP, Syafrin melanjutkan, Pemprov DKI Jakarta tengah fokus menyiapkan regulasi atau payung hukum penerapan ERP secara paripurna. Hal itu supaya pelaksanaan ke depan tidak terkendala aspek legal.
Yusa menambahkan, apabila ERP direncanakan untuk diterapkan dalam jangka pendek, ia menyarankan perlu ada regulasi tersendiri bagi operasional kendaraan komersial dan logistik, yaitu khususnya kendaraan komersial dan logistik yang selama ini berada dan beroperasi dalam kawasan atau koridor ERP, tetapi tidak menggunakan nomor pelat umum karena penggunaan sendiri untuk mengurangi dampak sosial dan perekonomian pada kawasan atau koridor ERP.
Yusa mengingatkan, apabila penerapan ERP berbasis kawasan atau koridor, mesti dipastikan layanan angkutan umum pada kawasan yang terdampak ERP wajib mampu memenuhi kebutuhan, yaitu baik secara kuantitas dan kualitas layanan sesuai dengan kebutuhan kawasan yang dilayani tersebut.
”Pemahaman dan implementasi strategi pemenuhan kebutuhan mobilitas masyarakat melalui angkutan umum sebagai opsi pengganti kendaraan pribadi di kawasan yang terdampak ERP secara tepat adalah hal yang tidak bisa dinegoisasikan,” kata Yusa.
Hal itu karena potensi besarnya dampak penerapan ERP, baik bagi penghuni kawasan maupun pengunjung kawasan yang terdampak penerapan ERP.