Mural Ikonik tentang Sejarah Jakarta di Stasiun Jatinegara Butuh Penyegaran
Tembok di sepanjang Stasiun Jatinegara hingga kolong Jalan Layang Jatinegara dihias berbagai gambar mengenai budaya Jakarta. Namun, mural yang terbentang sekitar 1 kilometer ini sudah tampak kusam dan perlu perbaikan.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tembok di sepanjang Stasiun Jatinegara hingga kolong Jalan Layang Jatinegara, Jakarta Timur, dihias berbagai macam gambar bertema kebudayaan Jakarta. Namun, kondisi mural ikonik hasil kerja sama Kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, dengan Komunitas Kesenian Universitas Negeri Jakarta ini sudah tidak secantik dulu dan butuh penyegaran.
Pantauan Kompas pada Rabu (18/1/2023), mural yang terbentang sepanjang 1 kilometer ini sudah tampak kusam dan banyak yang berlubang. Di sepanjang 120 ruas tembok ini terdapat mural alat musik tradisional, makanan tradisional, tari tradisional, baju adat, ikon Jakarta, hingga alat transportasi publik di Jakarta dari masa ke masa.
Letak mural ini tepat di sebelah kanan pintu masuk Stasiun Jatinegara. Di sepanjang mural, terdapat beberapa pedagang kaki lima (PKL) yang tengah berjualan. Tidak hanya menjual makanan, beberapa dari mereka juga menjual kacamata, jam tangan, hingga lato-lato.
Salah satu warga Jakarta Timur, Albian (19), mengatakan, dia sering melewati area penuh mural di Stasiun Jatinegara. Ia menyayangkan kondisi mural yang sudah tidak seindah dulu. Padahal, mural tersebut tidak hanya penuh gambaran saja, tetapi juga terdapat informasi mengenai sejarah Jakarta.
”Beberapa mural memiliki tampilan kotor dan terdapat beberapa coretan, bahkan ada yang catnya sudah mengelupas. Mural ini butuh perbaikan agar memikat pengunjung juga,” ujar Albian.
Elok Aderahma (27), warga lainnya, juga memiliki pendapat yang sama. Ia merasa mendapatkan banyak pengetahuan dari melihat mural tersebut saat melewatinya. Ia bisa mengenal berbagai macam makanan khas Jakarta, seperti kerak telor dan gabus pucung.
Selain melihat gambar, Elok juga senang membaca informasi, seperti penjelasan tentang istilah oplet hingga bus Transjakarta. Menurut dia, petugas seharusnya lebih sering membersihkan mural agar tampilannya lebih indah dan tulisannya tidak hilang.
Berbeda dengan Sumirah (55), saat melihat mural, ia kembali teringat masa lalu. Mural helicak membuat memorinya mengingat betapa dulu ia sering menaiki moda transportasi tersebut.
Helicak merupakan angkutan masyarakat yang banyak ditemukan di Jakarta pada tahun 1970-an. Nama helicak berasal dari gabungan kata helikopter dan becak, karena bentuknya mirip dengan kedua moda transportasi tersebut.
Petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) Kelurahan Rawa Bunga, Chairul Ami menyampaikan, pembersihan mural dilakukan berdasarkan perintah pimpinan. Ia dan rekan-rekannya belum mendapatkan tugas untuk memperbaiki mural tersebut.
”Pembersihan tergantung perintah pimpinan, tetapi kami dapat membuat laporan ke kelurahan atau mengajukan keluhan jika mural sudah kotor atau perlu perbaikan,” kata Chairul.
Menurut Chairul, terdapat beberapa cara yang biasanya dilakukan untuk membersihkan mural yang kotor, mulai dari membersihkan bagian yang kotor dengan air hingga mengecat ulang tembok dan membuat mural dengan gambar baru.
Namun, mengecat ulang tembok memerlukan biaya yang tak sedikit, terutama jika dilakukan secara mandiri oleh pihak PPSU. Adapun mural tersebut sudah ada sejak akhir tahun 2020. Bahkan, beberapa mural ini juga sudah dicat ulang dua kali untuk mempercantik tampilannya.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan, mural harus dirawat, bahkan dijaga kebersihannya. Jika ingin terlihat lebih menarik, mural dapat diganti tiap 3 bulan sekali sesuai dengan tema atau pesan yang ingin disampaikan.
”Pemeliharaan mural boleh dilakukan oleh komunitas atau kelompok seniman atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD),” ucap Yayat.
Selain itu, syarat membuat mural harus memiliki unsur seni, daya tarik, dan gambar dengan pesan tertentu. Bukan menjadi tempat coretan masyarakat yang tidak ada pesannya. Mural harus dijadikan sebagai ”seni ruang kota” yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk eksplorasi daya kreativitas masyarakat.