Sidang Perdana Gugatan Gangguan Ginjal Akut Anak Ditunda
Sidang perdana ”class action” orangtua anak korban gangguan ginjal akut ditunda hingga 7 Februari 2023. Adapun, kuasa hukum menuntut ganti rugi hingga Rp 3 miliar untuk setiap anak korban gangguan ginjal akut.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Para hakim yang memimpin gugatan class action gangguan ginjal akut anak di Pengadian Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sidang perdana gugatan perwakilan kelompok atau class action korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGPA pada Selasa (17/1/2023) ditunda. Hal ini karena beberapa pihak tergugat, termasuk dua pihak tergugat utama yang merupakan produsen farmasi, yaitu PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries, tidak hadir.
Sebanyak 11 pihak digugat oleh 25 orangtua anak korban GGPA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat. Pihak tergugat terdiri dari tiga lembaga pemerintah, dua produsen farmasi, dan enam perusahaan penyalur. Lembaga pemerintah yang digugat adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan. Adapun dua perusahaan farmasi yang dituntut adalah PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Pada persidangan ini, hadir empat orang dari tiga pihak tergugat. Mereka merupakan perwakilan dari Kemenkes, BPOM, dan PT Tirta Buana Kemindo yang merupakan perusahaan penyuplai obat. Sementara, dua pihak tergugat utama, yaitu PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries, tidak hadir. Adapun, sembilan dari 25 penggugat hadir dan duduk di hadapan majelis hakim.
”Beberapa tergugat tidak datang hari ini, maka persidangan ditunda dan para tergugat akan kami panggil lagi pada sidang 7 Februari 2023. Surat pemanggilan untuk PT Afi Farma sudah dikirim. Adapun surat PT Universal Pharmaceutical Industries akan kami titipkan ke Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, untuk dikirim ke perusahaan tersebut,” kata Hakim Ketua Yusuf Pranowo.
Sidang kali ini sempat molor hingga tiga jam dari jadwal awal pukul 10.00. Sidang baru dimulai sekitar pukul 13.20 ketika hakim ketua dan dua hakim anggotanya memasuki ruang sidang. Sekitar 30 menit kemudian hakim mengetuk palu dan mengatakan sidang ditunda.
Tim kuasa hukum korban GGPA, Siti Habiba, menjelaskan, para penggugat terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah 18 penggugat yang anaknya meninggal karena mengonsumsi obat sirop produksi PT Afi Farma. Kelompok kedua adalah enam penggugat yang anaknya masih menjalani perawatan, baik inap maupun jalan, akibat mengonsumsi obat sirop PT Afi Farma. Kelompok ketiga adalah korban yang anaknya meninggal karena mengonsumsi obat dari PT Universal Pharmaceutical Industries.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Suasana sebelum persidangan gugatan gangguan ginjal akut anak di Pengadian Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
Habiba menjelaskan, anak-anak korban GGPA ini mayoritas meminum obat sirop produksi PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries yang diresepkan oleh dokter. Mereka meminum obat sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas sehingga merusak ginjal anak.
”Dari total 25 penggugat, mayoritas dari wilayah Jabodetabek, hanya satu yang berasal dari Kalimantan Selatan. Selain itu dari total jumlah ini, 19 anak sudah meninggal. Sejumlah enam anak menjalani perawatan dengan rincian empat anak rawat jalan dan dua lainnya masih dirawat di rumah sakit,” kata Habiba yang juga merupakan bagian dari Tim Advokasi untuk Kemanusiaan.
Desi Permatasari (32), orangtua anak korban GGPA, menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mengembalikan anaknya seperti sedia kala. Putri Desi, Sheena (5), saat ini telah menjalani empat bulan perawatan di rumah sakit sejak September 2022.
Kami menuntut ganti rugi, baik dari pemeirntah maupun swasta, sebesar lebih dari Rp 3 miliar untuk anak yang sudah meninggal, sedangkan untuk anak yang masih dirawat kita menuntut lebih dari Rp 2 miliar.
GGPA yang dialami Sheena menyerang saraf otaknya. Hingga kini, Sheena belum bisa merespons apa pun meskipun ia bisa membuka mata. Sheena juga harus menggunakan alat-alat bantu seperti trakeostomi untuk bernapas dan selang untuk memasukkan makanan ke tubuhnya.
”Tanggung jawab itu harusnya tidak terbatas. Pertanggungjawaban kepada anak saya yang saat ini dalam perawatan adalah sembuh dan kembali seperti sediakala. Shena dulu sehat, maka harus kembali sehat juga,” tuturnya sambil terisak.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Salah satu orangtua anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal anak menggugat pihak swasta dan pemerintah di Pengadian Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
Tim kuasa hukum korban GGPA, Awan Mulyadi, menjelaskan, terdapat dua hal yang dituntut dalam persidangan kali ini, yaitu ganti rugi dari pihak swasta dan pemerintah serta perubahan kebijakan oleh pemerintah. Perubahan kebijakan yang dimaksud salah satunya adalah pemerintah secara khusus mencantumkan pengujian EG dan DEG dalam pembuatan obat. Adapun tuntutan ganti rugi didasarkan pada perhitungan biaya yang telah dikeluarkan keluarga dan perkiraan anak korban GGPA apabila masih hidup hinga ia meninggal.
”Kami menuntut ganti rugi, baik dari pemeirntah maupun swasta, sebesar lebih dari Rp 3 miliar untuk anak yang sudah meninggal, sedangkan untuk anak yang masih dirawat kami menuntut lebih dari Rp 2 miliar. Hitungan ini sudah kami pertimbangkan dengan memasukkan biaya yang kita anggap rasional,” katanya.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, per 17 Januari 2023 terdapat 62 anak domisili DKI Jakarta yang menderita GGPA. Dari jumlah ini, 42 anak meninggal, 18 anak dinyatakan sembuh, dan dua anak dalam perawatan. Ia juga mengatakan tidak ada lagi penambahan kasus di DKI Jakarta sejak 31 Oktober 2022.