Jarak dan Kemacetan Picu Kelelahan Kerja, WFH Satu-satunya Solusi?
Sebagian perusahaan kini masih mengizinkan pekerjanya bekerja jarak jauh dan masuk kantor di waktu fleksibel.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR CHANGE.ORG
Petisi warga untuk mengkaji ulang kebijakan bekerja di kantor 100 persen pada November 2022.
Kembalikan WFH sebab Jalanan Lebih Macet, Polusi, dan Bikin Tidak Produktif. Demikian judul petisi yang dibuat Riwaty Sidabutar di laman Change.org. Petisi yang membutuhkan 25.000 tanda tangan itu hampir memenuhi target, Sabtu (7/1/2023), sejak pertama kali diterbitkan dua bulan lalu.
Riwaty menulis, ia kembali stres ketika harus kembali ke kantor atau WFO (work from office) setelah dua tahun bisa bekerja dari rumah karena pandemi. Ia harus menempuh 40 kilometer (km) untuk perjalanan pulang pergi ke kantornya. Stres tidak hanya karena jauhnya perjalanan, tetapi juga penggunaan sepeda motor dan kemacetan, terlebih saat hujan.
”WFO juga belum tentu membuat kita lebih produktif. Karena lamanya perjalanan, saya malah jadi lebih lelah, dan hasil pekerjaan tidak sebagus ketika saya bekerja dari rumah. Di rumah, saya merasa lebih percaya diri, lebih aman, dan juga merasa lebih nyaman,” katanya.
Lewat petisi itu, ia pun meminta dukungan agar aturan wajib bekerja di kantor 100 persen kembali dikaji. Ia berharap Indonesia dapat meniru kebijakan pemerintah di negara lain, seperti Belanda yang menerapkan bekerja dari rumah (work from home/WFH). Pekerja dinilai akan lebih nyaman jika kantor-kantor menerapkan aturan kerja yang fleksibel.
Kisah Riwaty menjadi kisah umum para pekerja yang berangkat ke DKI Jakarta dari kota-kota di sekitarnya. Data Badan Pusat Statistik 2019 mencatat, jumlah komuter dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ke Jakarta mencapai 1,25 juta jiwa sehari. Sementara itu, komuter internal penduduk Jakarta hanya 844.000 jiwa.
Komuter yang mayoritas usia produktif banyak yang harus menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk sampai ke tempat kerja. Perjalanan itu dilakukan dengan sepeda motor oleh 63,3 persen komuter, jauh lebih besar daripada pengguna angkutan umum yang hanya 20 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Suasana di dalam kereta komuter yang penuh sesak oleh penumpang selepas Stasiun Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/11/2022) pagi. Sebagian besar para penumpang kereta komuter ini adalah para pekerja pelaju. Mereka bekerja di Jakarta dan tinggal di pinggiran Jakarta dengan jarak puluhan kilometer.
Kembalinya normalnya peraturan bekerja di kantor tentunya meningkatkan aktivitas perjalanan komuter. Hal ini berimplikasi pada kemacetan yang biasa terlihat di jam sibuk setiap hari kerja.
Sementara itu, kebijakan WFO 100 persen pun tidak terelakkan setelah bangkitnya perekonomian pasca-meredanya pandemi Covid-19, serta dicabutnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu.
Kondisi itu, kata Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman, membuat kebijakan WFH penuh kini sulit diterapkan kembali.
”Dulu, ada WFH karena ada pembatasan dan enggak ada pekerjaan yang bisa dilakukan di kantor di banyak sektor. Pekerjaan, seperti di industri, itu sambung-menyambung antara satu dan yang lainnya, dari orang ke orang, divisi ke divisi. Mayoritas enggak bisa WFH,” ujarnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Manajemen Sumberdaya Manusia (PMSM) Indonesia Bambang Yapri mengatakan, kebijakan WFH menjadi kendala bagi perusahaan di bidang manufaktur dan jasa.
Namun, ia juga melihat sejumlah sektor industri masih mampu menerapkan WFH pada pekerjanya selepas pandemi. Ini seperti industri yang mampu beradaptasi dengan teknologi.
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
Penumpang KRL arah Cikarang via Manggarai sedang menunggu kereta berhenti di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023).
Hibrida
Berdasarkan berbagai survei, termasuk survei yang pernah Bambang lakukan di masa pandemi, mayoritas pekerja mempertimbangkan pola kerja hibrida, dengan fleksibilitas untuk bekerja di rumah atau di kantor. Hasil survei itu diperkirakan tidak berubah banyak saat ini.
Dari survei, sebagian pekerja memilih tetap bekerja di kantor karena bekerja di rumah tidak kondusif, entah karena tidak mudah mengelola waktu dengan anak atau keluarga atau kurangnya kenyamanan tempat tinggal dan minimnya fasilitas pendukung kerja. Bagi perusahaan, WFH juga jadi tantangan karena menyulitkan dalam menyamakan budaya kerja yang diharapkan.
”Kini kecenderungan mungkin tidak akan bisa 100 persen WFH atau WFO, tetapi hibrida. Ada fungsi-fungsi yang bisa kerja dari rumah, ya dikelola secara WFH. Ada yang harus hadir ke kantor, tetap WFO. Jadi, tinggal bagaimana perusahaan mengelola pekerjaan karyawan dengan budayanya,” tuturnya.
Tidak hanya dari rumah, sekarang ini, beberapa pemberi kerja berinovasi dengan menghadirkan kantor kedua untuk bekerja jarak jauh. Kantor itu bisa berupa ruang kerja bersama (coworking space) atau kantor satelit (satellite office). Bambang melihat kebijakan ini cukup agresif dilakukan beberapa lembaga, seperti Kementerian Keuangan dan perbankan yang memiliki kantor cabang.
Dikutip dari laman Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, pada 2020, mereka meluncurkan proyek percontohan kantor satelit di Bogor, Jawa Barat. Lalu, disusul pembukaan kantor serupa di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Banten pada 2021.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkeu Hadiyanto dalam laporannya menyampaikan, nantinya pegawai tidak perlu datang ke kantor utama (di Jakarta) tetapi tetap terjaga produktivitas dan kinerjanya dengan bekerja di kantor satelit.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pengendara melintasi proyek revitalisasi halte bus transjakarta Matraman Baru di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Minggu (11/12/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah membenahi integrasi moda angkutan umum yang mencakup Transjakarta, KRL Commuter Line, MRT, LRT, dan MiniTrans/MikroTrans untuk memudahkan pengguna.
Jam kerja fleksibel
Fleksibilitas jam kerja juga menjadi tren baru yang mulai diadaptasi sebagian pekerja pascapandemi. Bambang mengatakan, dengan kebijakan ini, jam masuk kantor karyawan tidak sama dalam satu waktu. Pekerja bebas memilih datang ke kantor di antara periode waktu yang ditentukan.
”Beberapa perusahaan sudah menerapkan flexy hour, datang cepat, pulang lebih malam. Ini terkecuali di industri berbasis jasa. Kalau back office sudah banyak yang menerapkan itu sekarang,” kata Bambang.
Tren ini juga menjadi acuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membuat kebijakan pengaturan jam kerja guna mengurangi kemacetan jalan. Aturan yang awalnya diusulkan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman itu bertujuan mengurangi kepadatan lalu lintas kerena pergerakan komuter di jam-jam rawan kemacetan.
”Pembahasannya masih berproses. Ini sudah di bawah kendali Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Sementara itu, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mempersilakan industri atau perusahaan mengatur kebijakan terkait WFH. Salah satu imbauan yang ia berikan adalah perusahaan mengizinkan karyawan bekerja dari rumah saat ada cuaca buruk atau bencana alam.
Apindo DKI, yang terlibat dalam pembahasan pengaturan jam kerja, menilai perlu ada pemetaan lebih lanjut terkait sektor yang bisa menerapkan jam kerja fleksibel. Melalui Nurjaman, asosiasi ini juga meminta pemerintah daerah mengevaluasi wilayah yang menjadi lokasi kemacetan tertinggi di Jakarta.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kepadatan arus lalu lintas saat jam pulang kerja di Jalan Pejompongan Raya, Jakarta, Selasa (27/12/2022). Sepeda motor dan mobil pribadi masih dominan memenuhi jalanan di Jakarta. Kampanye untuk beralih ke angkutan umum, seperti bus, kereta, dan angkutan kota, belum sepenuhnya diterima masyarakat. Kemudahan dan kepraktisan dalam bermobilitas membuat masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi meski sering terjebak dalam kemacetan.
”Dunia usaha sudah beri masukan, kira-kira sektor mana yang bisa diubah jam kerjanya. Lalu, daerah mana yang bisa diatur. Kajian kami, kemacetan yang timbul di jalanan Jakarta paling banyak di dua wilayah, yaitu Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan,” ungkap Nurjaman.
Solusi pekerja untuk menghindari kelelahan di jalan dan kemacetan faktanya beragam, meskipun pada praktiknya tidak semudah membalikkan tangan. Kalau Anda, lebih memilih solusi yang mana?