Tak Perlu Dilarang, Delman Monas Butuh Standardisasi Pengelolaan
Pemerintah Kota Jakarta Pusat akan melarang keberadaan delman di Monas. Namun, peneliti pariwisata menilai keberadaan delman tidak perlu dilarang. Pemerintah perlu memiliki standardisasi manajemen pariwisata.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta, akan melarang keberadaan delman di kawasan wisata Monumen Nasional atau Monas, Jakarta Pusat. Hal ini disebabkan bau air kencing dan kotoran kuda pekerja itu menguar di sekitar kawasan Monas. Namun, peneliti pariwisata menilai keberadaan delman tidak perlu dilarang. Pemerintah perlu memiliki standardisasi dalam manajemen pariwisata perkotaan.
Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Iqbal Akbarudin dalam keterangannya pada (3/1/2022) mengatakan akan membuat gugus tugas mengenai pelarangan keberadaan delman di kawasan wisata Monas. Keberadaan delman memang dilarang dalam Surat Edaran (SE) Wali Kota Nomor 36 tahun 2016 tentang larangan pengoperasian delman di kawasan Monas.
Iqbal menyatakan, aturan yang melarang delman berada di Monas belum dicabut sehingga Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Pusat tetap menerapkan aturan tersebut. ”Monas, Thamrin, dan Bundaran HI akan menjadi kawasan bebas delman,” ucapnya.
Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat Wildan Anwar membenarkan ada rencana larangan delman di kawasan Monas. Pihaknya telah mengadakan rapat bersama Pemkot Jakarta Pusat, tetapi larangan tersebut belum resmi ditetapkan karena akan ada sosialisasi terlebih dahulu kepada pemilik delman.
Wildan mengatakan, delman yang beroperasi di sekitar kawasan Monas kurang menjaga kebersihan delman sehingga bau air kencing dan kotoran kuda pekerja itu menguar. ”Saya pernah mengalami sendiri beberapa kali, aroma air kencing kuda di beberapa titik menyengat tercium dan mengganggu ketertiban umum. Ada juga kotoran kuda berceceran di jalanan,” ujarnya, Kamis (5/1/2023).
Pihaknya mengkaji bahwa keberadaan delman berpotensi mengalami risiko kecelakaan jika beroperasi di jalan umum karena jalur yang dilalui delman bercampur dengan angkutan umum lainnya dengan kecepatan kendaraan terkadang di atas rata-rata. Hingga saat ini, Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat sering melakukan teguran agar delman tidak beroperasi di kawasan Monas.
Di kawasan Monas, Gambir, Jakarta Pusat, pada Kamis (5/1/2023) tidak tampak keberadaan delman. Sejumlah pedagang hingga Satpol PP menyebutkan, delman beroperasi setiap Sabtu, Minggu, dan setiap tanggal merah. Petugas kebersihan di sekitar kawasan Monas Sukaidah (42) menyebutkan, kotoran kuda delman memang sering tercecer di beberapa titik ruas jalan.
”Lumayan banyak kotoran kuda di jalanan sekitar Monas karena biasanya kotoran yang tercecer itu disebabkan karung yang dipasang untuk menampung kotoran kuda sudah penuh. Harusnya sering diperiksa. Beberapa kusir delman susah diajak kerja sama,” ujarnya.
Petugas kebersihan lainnya di Jalan Merdeka Selatan menyebutkan, setelah perayaan tahun baru, di beberapa titik jalan ditemukan karung berisi kotoran kuda.
Ditemui di Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, salah satu kusir delman yang juga beroperasi di kawasan Monas, Mamat (21), mengutarakan, dirinya telah mengetahui larangan delman beroperasi di kawasan Monas. Namun, ia akan tetap datang ke Monas walaupun dilarang karena pendapatan menarik delman di Monas lebih besar dibandingkan di Kota Tua.
”Di Monas memang tidak boleh setiap hari. Senin-Jumat saya narik delman di Kota Tua, Sabtu dan Minggu baru di Monas. Dalam satu hari, di Monas bisa mendapatkan Rp 800.000. Di Kota Tua tidak, hanya sekitar Rp 500.000. Di Monas satu kali jalan bisa dapat Rp 250.000, sedangkan di Kota Tua hanya Rp 100.000-Rp 150.000,” ujar Mamat yang sejak kecil sering ikut ayahnya menarik delman itu.
Mamat menyebutkan, larangan beroperasi di kawasan Monas sering dilakukan oleh Satpol PP. Namun, koordinator tempat perkumpulan pemilik delman sudah sering melakukan negosiasi dengan pemerintah. Alhasil, hingga saat ini ia masih bisa beroperasi di kawasan Monas.
Mamat bercerita, ketika Monas belum direnovasi dan delman masih diizinkan beroperasi, pendapatannya dalam setengah hari bisa mencapai Rp 1 juta. Saat ini, dalam satu hari pendapatannya paling tinggi hanya Rp 800.000 saat akhir pekan. Pendapatan terendah sekitar Rp 150.000 dalam sehari.
Berdasarkan catatan Kompas, dilema perkudaan di Monas sudah terjadi sejak 2004 ketika Menteri Pariwisata I Gede Ardika protes mengenai bau kencing dan kotoran kuda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menghentikan aktivitas delman selama tiga hari guna membersihkan Monas dari kotoran kuda. Akan tetapi, para kusir mengadu kepada Gubernur Fauzi Bowo, meminta diperbolehkan kembali menjaja jasa di Monas karena merupakan sumber nafkah mereka (Kompas, 31 Maret 2016).
Pada 2016, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, melarang keberadaan delman di Monas. Keputusan itu berbasis penelitian Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) yang menemukan bahwa hampir semua kuda yang beroperasi di sana mengidap cacing parasit Strongyloides sp. Parasit ini bisa menular ke hewan lain dan juga manusia. Kuda beserta delman kemudian dipindahkan untuk menjadi atraksi di sekitar Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan (Kompas, 10 April 2016).
Namun, pada masa Gubernur Anies Baswedan, keberadaan delman di Monas diizinkan kembali hingga saat ini.
Soal standardisasi dianggap remeh karena yang terpenting pengunjung ramai, tapi tidak tahu ada persoalan lain yang makin banyak.
Peneliti Senior Manajemen Destinasi Pariwisata Janianton Damanik mengungkapkan, standardisasi delman sebagai fasilitas penunjang pariwisata perlu diperbaiki. Sementara keberadaan delman hingga air kencing dan kotoran kuda tidak menjadi persoalan ketika standardisasi sebuah pelayanan pariwisata diatur dengan baik.
Di banyak negara, seperti Inggris dan Amerika Serikat, keberadaan kereta kuda ada di tengah kota. Namun, tampilannya lebih artistik, kenyamanan lebih terjamin, kuda terawat dengan baik, dan desain kuda diberikan ornamen hias sehingga menjadi lebih unik.
”Delman itu dibuat saja sebagai fasilitas penunjang yang bisa menarik bagi wisatawan, tapi harus ada kualitas standarnya. Jika tidak, apa pun yang dibuat, jangankan delman, mobil mewah yang tidak memiliki standardisasi pun tidak menarik untuk pariwisata. Masalahnya, pemerintah tidak punya standar kualitas fasilitas penunjang pariwisata,” ucapnya.
Pemerintah dapat mengatur jumlah delman yang beroperasi karena kapasitas kawasan Monas terbatas. Selain itu, pemerintah juga harus mengatur tarif layanan delman. Jika kusir delman melanggar aturan, delman tidak diperbolehkan beroperasi di tempat tersebut.
”Soal standardisasi dianggap remeh karena yang terpenting pengunjung ramai, tapi tidak tahu ada persoalan lain yang makin banyak,” ujarnya.
Janianton menyatakan, delman menjadi representasi transportasi tradisional Indonesia. Jangan sampai keliru perspektif bahwa di pusat kota tidak boleh ada kendaraan jenis lain. Delman harus diatur karena kehadiran delman jangan sampai mengganggu kepentingan orang lain. Pemerintah bisa membuat manajamen delman ketika beroperasi dengan menentukan waktu ketika melintas di jalanan.
Wisatawan juga perlu diberi pemberitahuan mengenai jam operasional delman yang telah diatur dan disepakati. Misalnya, delman tidak dibenarkan melintas di Bundaran HI saat orang-orang pulang kantor karena ada kepentingan yang lebih besar terganggu, sedangkan di waktu lain diperbolehkan.
Ia menekankan keberadaan delman jangan dilarang. Jika dilarang, ketika ada moda transportasi modern, anggapannya pariwisata hanya untuk orang kaya, dan orang miskin tidak boleh. Permasalahan seperti itu tidak akan selesai.