Nelayan: Tanggul Pantai Jakarta Jangan Hilangkan Mata Pencarian Kami
Pembangunan tanggul pantai dengan nilai proyek mencapai Rp 700 miliar itu diharapkan mampu mengatasi banjir dan ancaman kenaikan air muka laut. Nelayan menjadi salah satu yang terdampak proyek itu dan minta dilindungi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melanjutkan pembangunan tanggul pantai fase A sepanjang 11 kilometer periode tahun 2023 hingga tahun 2025. Para nelayan mengharapkan pembangunan tanggul di wilayah pesisir DKI Jakarta itu tidak membuat mereka kehilangan akses ke pekerjaan mereka yang bergantung kepada laut.
Dari proyek tanggul kewenangan Pemprov DKI Jakarta sepanjang 19,1 km, sebagian besar masih belum terealisasi karena terhadang permukiman dan aktivitas nelayan. Sebagian kawasan tersebut, antara lain, di kluster Muara Angke (kurang 3,4 km), kluster Pantai Mutiara (kurang 1 km), kluster Sunda Kelapa (kurang 4,8 km), dan kluster Kali Blencong (kurang 1,7 km).
Salah satu permukiman nelayan itu berada di kawasan RT 006 RW 022, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, atau biasa disebut ”Kampung Kerang Hijau”. Sekitar 200 keluarga yang tinggal di kawasan tersebut mayoritas bekerja sebagai nelayan, baik sebagai nelayan penangkap, nelayan pengelola, maupun nelayan pemasaran.
Rini (35), nelayan pengupas kerang hijau di Kampung Kerang Hijau, Rabu (4/1/2023), menyampaikan, kerang hijau merupakan satu-satunya penghidupan keluarganya. Tinggal di sebuah bilik kontrakan seharga Rp 500.000 per bulan bersama suami dan seorang anak, saat ini Rini berperan sebagai tulang punggung keluarganya.
”Paling banyak satu hari mengupas 24 kilogram kerang hijau dan upahnya bisa Rp 180.000 dari pagi sampai sore. Tapi, akhir-akhir ini hanya dapat Rp 30.000 satu hari. Apalagi, suami sedang tidak melaut,” kata Rini.
Terkait dampak dari pembangunan tanggul pantai di kawasan tempat tinggalnya, Rini hanya berharap masih bisa menghidupi keluarganya dari mengupas kerang hijau. Bagi Rini yang telah 15 tahun menjadi nelayan pengupas kerang hijau, tidak ada lagi pekerjaan yang cocok baginya selain berkutat dengan puluhan kilo kulit kerang.
Dodo (42), nelayan penangkap kerang hijau di Kampung Kerang Hijau, mengatakan, keluarganya turut menggantungkan hidup pada hasil panen keramba kerang hijau miliknya. Dalam satu tahun, keramba tersebut paling banyak mampu menghasilkan 3 ton kerang hijau yang dapat dipanen sebanyak tiga kali.
Rata-rata satu hari, saya bawa 3 kuintal kerang dari keramba. Warga yang bekerja ada sekitar belasan orang.
Selama 20 tahun tinggal di Kampung Kerang Hijau, hasil budidaya kerang hijau di keramba milik Dodo turut membuka lapangan pekerjaan kepada warga sekitar. Dari kerang hijau tersebut, sejumlah warga dapat mendapat penghasilan baik melalui merebus kerang maupun mengupas kerang.
”Di sini ada belasan nelayan yang punya keramba kerang hijau. Rata-rata satu hari, saya bawa 3 kuintal kerang dari keramba. Warga yang bekerja ada sekitar belasan orang,” ujar Dodo.
Menurut Dodo, dia hanya bisa mengikuti apa pun kebijakan pemerintahan, termasuk keputusan pembangunan tanggul pantai yang berdampak pada kawasan tempat tinggalnya. Di satu sisi, Dodo merasa keputusan itu merupakan keputusan tepat untuk menanggulangi rob.
Di sisi lain, Dodo berharap pemerintah tetap memperhitungkan masyarakat sekitar yang bergantung kepada hasil laut, seperti kerang hijau. ”Tidak masalah kalau mau bikin tanggul asal nanti dibuatkan pintu masuk kapal sehingga mudah bongkar muatnya. Semoga pemerintah melibatkan masyarakat untuk mencari jalan tengahnya seperti apa,” katanya.
Ketua RT 006 RW 022 Kelurahan Pluit, Warya, mengatakan, selain mengharapkan akses pintu masuk kapal, warganya juga ingin tetap tinggal di dekat pesisir laut. Sebagai nelayan, lanjut Warya, warganya ingin bisa memantau langsung kondisi kapalnya.
Ketua RW 022 Kelurahan Pluit Bani Sadar juga menyampaikan, pemerintah perlu duduk bersama dengan warga sekitar pesisir untuk mencari jalan tengah terkait dampak pembangunan tanggul pantai. Berdasarkan jejak pendapat warganya, mayoritas menginginkan agar tetap bisa melaut dan tinggal di dekat pesisir.
”Kalau nanti terjadi penertiban, artinya tidak ada lagi yang namanya Kampung Nelayan Muara Angke. Bukan nelayan namanya kalau tidak dekat dengan laut dan melaut,” ucap Sadar.
Solusi
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Rob dan Pesisir Pantai Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Putu Riska mengatakan, kluster pembangunan tanggul yang paling terkendala berada di Muara Angke dan Kali Blencong. Kedua wilayah tersebut memiliki tingkat aktivitas nelayan dan permukiman yang sangat tinggi.
”Sosialisasi tahap awal sudah pernah dilakukan. Seiring dengan persiapan dan saat mendekati waktu pelaksanaan fisik, maka akan diadakan kembali sosialisasi lanjutan kepada warga di kedua wilayah tersebut,” kata Putu.
Menurut Putu, saat ini Pemprov DKI Jakarta melalui Wali Kota Jakarta Utara beserta Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta perlu mendata jumlah warga dan perahu nelayan, terutama yang berada di bantaran kali atau yang bersinggungan dengan kawasan tanggul. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta juga perlu merencanakan relokasi atau lokasi penampungan sementara dengan mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku.
”Proyek pembangunan tanggul itu tidak bisa dilakukan oleh DSDA saja sebagai pelaksana pembangunan. Namun, perlu juga adanya koordinasi dengan berbagai pihak terkait sehingga rencana pembangunan tanggul bisa tercapai sesuai target waktu yang diharapkan,” ujar Putu.
Putu menambahkan, sejumlah pembangunan tanggul yang sudah terealisasi, antara lain di kluster Pantai Timur Muara Baru (terbangun 3,4 km), kluster Kamal Mutiara (terbangun 0,7 km), sebagian wilayah Kali Blencong (terbangun 1,6 km), sebagian Pantai Mutiara (terbangun 0,3 km), dan sebagian Muara Angke (terbangun 1,7 km).
Terkait kondisi tanggul-tanggul tersebut, Putu menyampaikan, sejauh keseluruhan tanggul yang terbangun masih dalam kondisi baik. Walakin, terdapat beberapa titik yang saat ini terjadi rembesan, seperti di Muara Baru sisi timur.
”Itu terjadi karena tingginya tingkat penurunan tanah yang terjadi di wilayah tersebut sehingga masih diperlukan penyempurnaan kembali,” kata Putu.