Masyarakat menyarankan alternatif lain yang lebih adil dan bijak daripada melanjutkan rencana kenaikan tarif KRL. Warga mendorong subsidi pemerintah daerah sampai pembedaan tarif di hari libur.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
KRL komuter menaikkan dan menurunkan penumpang di Stasiun Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (16/4/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan untuk menerapkan subsidi silang dalam penarifan kereta komuter atau KRL Jabodetabek bagi penumpang menuai polemik. Masyarakat menyarankan alternatif lain yang lebih adil dan bijak daripada melanjutkan rencana menaikkan tarif. Warga mendorong subsidi pemerintah daerah dan pengenaan tarif berbeda di hari libur.
Perwakilan pengguna KRL Jabodetabek dari komunitas KRL Mania mengkritisi rencana Kementerian Perhubungan yang bertujuan mengurangi beban subsidi negara ke KRL, khususnya di wilayah Jabodetabek. Rencana subsidi dinilai melanggar prinsip kesetaraan publik dalam pelayanan publik.
”Angkutan umum enggak perlu ada subsidi silang. Layanan publik sama saja seharusnya, enggak ada perbedaan. Pemerintah punya yang namanya PSO (public service obligation/tarif penugasan) atau subsidi publik yang enggak mengenal pembedaan kelas,” tutur Gusti, Humas KRL Mania, per telepon, Jumat (30/12/2022).
Komunitas itu juga mengkritik karena kesan negatif yang dicetuskan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (Kompas.id, 28/12/2022), dari penyebutan pembedaan tarif bagi pengguna kereta yang mampu dan tidak.
”Wacana subsidi silang ini seolah membenturkan antara orang kaya dan miskin. Di saat harga BBM baru naik, dampak pandemi belum selesai, yang harus dibangun adalah solidaritas sosial, bukan membenturkan yang kaya dan miskin,” ujarnya.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Para penumpang menunggu KRL berhenti di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Perhatian ini penting karena besarnya jumlah pengguna KRL Jabodetabek yang sebagian besar tinggal di wilayah satelit DKI Jakarta. KAI Commuter Indonesia (KCI) baru-baru ini mencatat, rata-rata penumpang harian KRL Jabodetabek mencapai 800.000 orang. KRL menjadi salah satu moda angkutan umum yang bertugas melayani 1,2 juta pelaju keluar masuk Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Sebagai solusi untuk meringankan beban pengeluaran negara, kata Gusti, justru pemerintah bisa melanjutkan rencana kenaikan tarif KRL untuk semua pengguna.
Berdasarkan beberapa survei sejumlah lembaga kepada pengguna, yang ditampung Kementerian Perhubungan awal tahun ini, diusulkan adanya kenaikan tarif mencapai Rp 5.000 untuk jarak tempuh 25 kilometer (km) pertama. Angka itu hanya selisih Rp 2.000 dari tarif saat ini, yaitu Rp 3.000 untuk 25 km pertama. Tarif penugasan itu terakhir ditetapkan tahun 2016.
Tarif asli KRL Jabodetabek yang sebenarnya bernilai antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 15.000. Dengan tarif Rp 3.000 per 25 km pertama, selama ini menutup biaya operasional KRL disokong oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika masyarakat dikenai sedikit lebih tinggi, yakni Rp 5.000 per 25 km pertama, tentunya subsidi negara bisa dikurangi.
”(Di sisi lain) Jaringan KRL, kan, sampai di daerah satelit Jakarta. Bisa saja dihitung berapa banyak penumpang dari daerah satelit itu dan berapa besaran kontribusi yang bisa dibayarkan daerah. Jadi, APBD (anggaran daerah) tidak hanya untuk perbaikan fasilitas, tetapi juga PSO,” ujarnya.
Kalau tidak dinaikkan satu harga, mungkin tarif subsidi bisa dihapus di hari-hari tertentu, misalnya di hari libur karena bukan untuk angkutan aktivitas rutin warga. Itu bisa jadi alternatif mengurangi beban fiskal negara.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Aditya Dwi Laksana
Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Jalan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), juga melihat bantuan subsidi dari pemerintah daerah bisa jadi alternatif solusi. Namun, hal itu rentan kepentingan dengan warga dan kesanggupan pembiayaan.
”Masalahnya, anggaran daerah ini terbatas. Paling yang kuat DKI, karena punya Rp 80 triliun lebih untuk subsidi berbagai moda angkutan, dari Transjakarta sampai MRT. Ke depan ada rencana KCI diakuisisi DKI. Kalau itu terwujud, subsidi pemerintah daerah ini jadi kewajiban,” katanya.
Jika dirinci, total anggaran Dinas Perhubungan DKI dan subsidi transportasi pada 2020 mencapai Rp 5,4 triliun. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan anggaran dinas perhubungan kota-kota tetangga DKI, seperti Bekasi (Rp 52 miliar), Depok (75 miliar), dan Tangerang Selatan (Rp 23 miliar).
Tidak hanya dari nilai, komitmen yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta terhadap perhubungan juga lebih besar. Anggaran Dishub DKI Jakarta beserta PSO transportasi mengambil porsi hingga 14,3 persen dari pendapatan asli daerah (PAD) DKI. Di sisi lain, proporsi anggaran perhubungan terhadap PAD di Kota Bekasi hanya 5,02 persen, Depok 6,26 persen, dan Tangerang Selatan 1,54 persen (Kompas, 4/2/2022).
Rencana kenaikan tarif KRL bagi orang kaya, Wapres minta uji coba dahulu.
Dengan perlu segeranya pemerintah pusat mengurangi beban fiskal dari subsidi ke KRL, solusi menaikkan tarif lebih masuk akal. Aditya menilai, ini karena masih murahnya tarif KRL yang tidak sejalan dengan kenaikan upah minimum di Jabodetabek.
”Kalau tidak dinaikkan satu harga, mungkin tarif subsidi bisa dihapus di hari-hari tertentu, misalnya di hari libur karena bukan untuk angkutan aktivitas rutin warga. Itu bisa jadi alternatif mengurangi beban fiskal negara,” kata Aditya.
Untuk mendukung kenaikan tarif, pemerintah daerah bisa menyiapkan subsidi individual atau bantuan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Solusi itu, menurut Aditya, jauh lebih mudah daripada mengidentifikasi pengguna KRL yang mampu secara ekonomi.
”Negara perlu hadir karena yang berpenghasilan rendah wajib didukung,” katanya.
Penyesuaian tarif
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menepis wacana kenaikan tarif KRL meski sudah digaungkan sejak awal tahun ini. Ia memastikan, ongkos kereta rel listrik atau KRL tidak akan naik sampai 2023. Sebagai gantinya, mereka akan mengkaji kebijakan penyesuaian tarif sesuai dengan sasaran subsidi.
”Dalam diskusi kemarin dengan Pak Presiden, kami akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang mendapatkan subsidi. Jadi, mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar, dengan membuat kartu,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta (Kompas, 29/12/2022).
KOMPAS/RADITUA HELABUMI
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat memberikan keterangan di pos pantau GT Cikampek Utama, Karawang, Jawa Barat, Minggu (8/5/2022).
Budi mengatakan, tarif asli KRL bernilai Rp 10.000 sampai Rp 15.000 sekali perjalanan. Selama ini, pemerintah pusat mengalokasikan subsidi kepada KRL. Dengan subsidi, pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya. Kebijakan tarif itu sudah berlaku sekurangnya lima tahun terakhir.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan M Risal Wasal menambahkan, mereka akan memanfaatkan data yang dimiliki pemerintah daerah untuk memetakan berapa banyak pengguna yang mampu dan harus membayar tarif KRL sesuai dengan harga asli.