Solusi Hunian Pasca-kebakaran Tunggu Legalitas Tanah
Warga korban kebakaran di Jalan Manggarai Utara II secara turun-temurun menghuni kawasan yang terletak di bantaran Kali Ciliwung itu. Perlahan tanah kosong berkembang menjadi rumah semipermanen yang kini tinggal puing.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY DAN AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib hunian warga korban kebakaran di Jalan Manggarai Utara II, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, akan dibahas setelah bantuan kemanusiaan dan pendataan tuntas. Permukiman di bantaran Kali Ciliwung itu digarap dan dihuni warga sejak tahun 1940 atau kini memasuki generasi ketiga.
Setidaknya 14 rumah dengan 59 bilik kontrakan semipermanen yang berdempet di kawasan RT 011 RW 001 tinggal puing akibat kebakaran pada Sabtu (17/12/2022) sore. Akibatnya 53, keluarga atau 220 warga kehilangan tempat bernaung dan mengungsi ke gedung karang taruna, masjid, dan sekolah di sekitar lokasi kebakaran.
Minggu (18/12/2022), bantuan kepada warga, antara lain, datang dari BPBD DKI Jakarta, Kementerian Sosial, Palang Merah Indonesia Jakarta Selatan, dan Badan Amil Zakat Nasional atau Baznas (Bazis) DKI Jakarta. Selain mendapat alas tidur, makanan siap saji, dapur umur, dan perlengkapan mandi, warga juga diminta segera mendata kebutuhan anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
”Saat ini masih fokus ke bantuan kemanusiaan. Kebijakan selanjutnya, pembangunan kembali kawasan akan dibicarakan lebih lanjut,” kata Camat Tebet Dyan Airlangga.
Kebakaran itu diperkirakan karena sambaran petir ke salah satu rumah warga. Sambaran petir menimbulkan percikan api yang dengan cepat membakar permukiman padat tersebut.
Sebagian besar warga tak sempat menyelamatkan harta benda, termasuk identitas kependudukan. Mereka mengungsi dengan hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Salah satunya Suwendi (30). Pengojek daring ini kehilangan rumah warisan orangtua yang ditinggalinya bersama saudara kandung dan iparnya yang berjumlah delapan orang.
”Semua surat terbakar. Tidak tersisa, mau coba selamatkan tapi apinya terlalu besar,” ujarnya ketika dijumpai tengah mengais puing-puing rumahnya.
Wakil Ketua II Bidang Distribusi dan Pendayagunaan Baznas (Bazis) DKI Jakarta Saat Suharto Amjad menuturkan, pihaknya masih berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Jakarta Selatan untuk memberikan santunan kepada korban kebakaran. Sementara bedah kawasan akan diawali dengan asesmen untuk memastikan legalitas tanah.
”Insya Allah akan diupayakan masuk di program tahun 2023. Selain legalitas, biasanya juga kesiapan para penyintas dan partisipasi. Mereka mau untuk menghidupkan kembali kampung dalam bentuk desain yang partisipatif,” tuturnya.
Pola ini sama seperti pembangunan Kampung Gembira Gembrong di Jakarta Timur setelah terbakar. Partisipasi warga bertujuan agar desain hunian sesuai dengan kebutuhan keseharian mereka. Adapun pembangunan kawasan biasanya 3-4 bulan setelah assesmen.
Tanah garapan
Warga secara turun-temurun menghuni kawasan yang terletak di bantaran Kali Ciliwung itu. Perlahan tanah kosong berkembang menjadi rumah semipermanen dengan bilik kontrakan padat penduduk.
Ketua RT 011 Warsono mengatakan, warga belum punya sertifikat tanah atau hak guna bangunan selama tiga generasi berdiam di situ. Namun, sejak tahun 2018, warga masih berproses melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan.
”Rata-rata punya surat Pajak Bumi dan Bangunan. Kalau lahannya masih diurus, tetapi mentok karena harus konfirmasi ke dinas supaya pertanahan bisa keluarkan surat,” katanya.
Warga telah mengantongi nomor identifikasi bidang tanah sejak mendaftar PTSL. Kawasan mereka masuk kategori kluster 1, yakni bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah.
Sudah ada gambar. Batas-batasnya, ukuran 3 x 2 meter persegi, 3 x 3 persegi itu sudah ada. Kalau dinas sudah konfirmasi baru pertanahan bisa cetak sertifikat atau hak guna bangunan
Ketua RW 001 Prihatin Budi Santoso menyebutkan, setiap keluarga sudah mempunyai ukuran bidang tanah masing-masing. Akan tetapi, Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan meminta untuk terlebih dahulu bertemu Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta guna memastikan status tanah di bantaran tersebut.
”Sudah ada gambar. Batas-batasnya, ukuran 3 x 2 meter persegi, 3 x 3 persegi itu sudah ada. Kalau dinas sudah konfirmasi baru pertanahan bisa cetak sertifikat atau hak guna bangunan,” ucap Prihatin.
Sampai sekarang warga belum siap bertemu dengan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Mereka khawatir direlokasi jika area bantaran itu masuk proyek normalisasi sungai.
”Kalau dinas bilang itu tanah kami, pertanahan tidak berani proses. Kami khawatir diminta pindah walaupun belum ada informasi normalisasi dari kelurahan,” katanya.