Tujuh Bulan Terakhir, 8 Pasien DBD di Bogor Meninggal
Tingginya angka kasus DBD karena pola hidup sehat di lingkungan masih rendah, membuang sampah sembarang, dan kurangnya kepedulian dalam upaya preventif penularan DBD.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pengasapan untuk mencegah penyebaran nyamuk vektor demam berdarah dilakukan di sebuah perumahan di Kelurahan Cinangka, Sawangan, Kota Depok, Minggu (17/2/2019).
BOGOR, KOMPAS — Demam berdarah dengue atau DBD masih menjadi masalah kesehatan dan ancaman serius di Kota Bogor, Jawa Barat. Dinas Kesehatan Kota Bogor mencatat dari Januari hingga November 2022 ada 1.428 kasus DBD, dengan 8 penderita meninggal.
”Rata-rata pasien DBD anak usia 5-14 tahun. Setidaknya ada 100 orang setiap bulan terjangkit DBD. 8 orang meninggal,” ujar Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bogor Erna Nuraena, Selasa (13/12/2022).
Kematian akibat kasus DBD itu tercatat pada periode Mei-Agustus masing-masing satu orang per bulan. Lalu, pada September mencapai dua orang. Lalu Oktober dan November masih-masing satu orang.
Kompas
Infografik Ancaman Demam Berdarah Dengue DBD
Adapun rincian kasus, pada Januari terdapat 129 kasus, Februari 75 kasus, Maret 155 kasus, April 151 kasus, Mei 116 kasus, Juni 135 kasus, Juli 135 kasus, Agustus 115 kasus, September 136 kasus, Oktober 132 kasus, serta November 149 kasus.
Sebaran kasus DBD terbanyak terjadi di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, sebanyak 92 kasus. Kelurahan Cikaret, Kecamatan Bogor Selatan, ada 60 kasus; dan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, ada 50 kasus.
Masih tingginya angka kasus DBD, menurut Erna, karena pola hidup sehat di lingkungan masih rendah. Warga juga cenderung membuang sampah sembarangan dan kurangnya kepedulian dalam upaya preventif penularan DBD.
”DBD masih menjadi masalah kesehatan dan ancaman serius di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Kota Bogor. Pola hidup dan kebersihan lingkungan harus terus digalakkan,” ujar Erna.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Murid-murid SDN Bendungan Hilir 05, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengikuti kampanye edukasi bahaya demam berdarah di sekolah mereka, Rabu (14/12/2018).
Upaya penanganan, salah satunya, melalui pengasapan atau fogging menggunakan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa tidak cukup. Dinkes Kota Bogor mengajak masyarakat untuk bersama-sama menurunkan angka kasus DBD, salah satunya pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seminggu sekali.
Selanjutnya, menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan, menggunakan kelambu saat tidur, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, serta menanam tanaman pengusir nyamuk seperti kemangi dan sereh.
”Angka bebas jentik nyamuk di wilayah Kota Bogor hingga November masih 94 persen. Perlu upaya bersama mencapai target 100 persen,” kata Erna.
Deteksi dini
Dalam pemberitaan di Kompas.id, demam dengue telah teridentifikasi di Indonesia lebih dari setengah abad. Meski demikian, penyakit infeksi yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti tersebut belum juga teratasi.
Sejak demam dengue ditemukan pada 1968, kasus penularannya secara fluktuatif cenderung meningkat. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, pada tahun 2008 angka kesakitan atau incidence rate (IR) sebesar 59,02 per 100.000 penduduk. Pada 2011 menurun menjadi 27,67 kasus per 100.000 penduduk.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Seorang anak yang menderita demam berdarah dengue (DBD) menjalani rawat inap di RSUD Ulin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (7/2/2019). Kasus DBD mulai merebak di Kalsel dan menyebabkan lima orang meninggal dunia pada Januari-Februari 2019.
Namun, angka tersebut meningkat menjadi 78,85 pada tahun 2016. Pada 2017 dilaporkan angka kesakitan sebesar 26,12 per 100.000 penduduk dan sampai minggu ke-34 pada 2022 tercatat sebesar 30,14 per 100.000 penduduk.
Kementerian Kesehatan mencatat kasus infeksi dengue pada 2022 sampai minggu ke-34 secara kumulatif sebanyak 82.824 kasus dengan 771 kematian. Kasus tersebut dilaporkan dari 462 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Kematian akibat demam berdarah dengue (DBD) seharusnya bisa dicegah apabila ditangani dengan cepat dan tepat. Sayangnya, deteksi sering terlambat sehingga kondisi pasien memburuk. Gejala awal pada pasien dengue tidak khas. Pada fase awal yang terjadi pada 1-3 hari penularan, pasien akan mengalami gejala seperti demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, dan nyeri pada belakang bola mata.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas dari Palang Merah Indonesia melakukan pengasapan di lingkungan RW 002 Kelurahan Cipadu Jaya, Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (14/7/2022). Pengasapan dilakukan karena terdapat kasus demam berdarah di lingkungan tersebut.
Setelah itu, fase kedua terjadi pada 4-6 hari penularan. Pada fase ini, suhu tubuh akan menurun. Pada fase ini justru memasuki fase kritis yang harus diwaspadai. Perburukan akibat infeksi dengue terjadi ditandai dengan kebocoran pembuluh darah. Kadar hematokrit akan naik. Biasanya, kadar trombosit dan tekanan darah pasien menjadi rendah.
Staf Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Leonard Nainggolan, mengatakan, pada fase kritis pasien dengue harus mendapatkan penanganan yang baik.
”Kalau dibiarkan begitu saja dan tidak terdeteksi dan tidak ditangani dengan baik bisa mengakibatkan kondisi shock atau bleeding (perdarahan). Jika berlangsung lebih lanjut, kondisi itu bisa menimbulkan kematian,” katanya.