Orangtua Korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Tuntut Pertanggungjawaban
Kami mencari keadilan agar ada yang bertanggung jawab atas kematian anak-anak Indonesia yang meninggal karena gagal ginjal akut progresif, sama seperti anak saya. Biar tidak ada korban berikutnya.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orangtua salah satu korban gangguan ginjal akut meminta pertanggungjawaban atas kematian anaknya. Melalui tim kuasa hukumnya, mereka membuat laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya, Kamis (8/12/2022). Per 8 November 2022, ada 154 kasus terduga gangguan ginjal akut progresif yang tercatat di fasilitas kesehatan DKI Jakarta.
Christma Celi Manafe dari tim kuasa hukum orangtua korban mengatakan, pihaknya membuat laporan terkait kelalaian yang menyebabkan kematian sesuai ketentuan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor LP/B/6265/XII/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tertulis, pelapor menyerahkan kepada pihak kepolisian menyelidiki terlapor.
”Saya selaku kuasa hukum sudah membuat laporan di Polda Metro Jaya terkait dengan kematian anaknya. Terlapor masih dalam lidik, kami serahkan ke pihak kepolisian,” kata Christma seusai membuat laporan di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat.
Semula, korban didiagnosis mengalami selulitis atau sakit kulit dan dibawa ke sebuah klinik di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 1 September 2022, untuk berobat. Di klinik tersebut, lanjut Christma, korban diberikan obat parasetamol sirop.
”Di sana dikasih obat parasetamol sirop produksi PT Afi Farma, antibiotik, dan obat salep,” ucap Christma.
Sebelumnya, dalam Kompas.id (1/11/2022), Kementerian Kesehatan per 31 Oktober 2022 melaporkan total kasus kumulatif gangguan gagal ginjal akut progresif atipikal pada anak berjumlah 304 kasus dengan 159 kasus kematian. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito dalam konferensi pers menyampaikan, terdapat tiga industri farmasi yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas, salah satunya PT Afi Farma.
Alat terbatas. Tubuh anak saya bengkak sehingga tubuhnya hanya bisa memproses pengurasan cairan. Selanjutnya, saya dikasih saran untuk langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Setelah mengonsumsi obat tersebut selama tiga sampai empat hari, korban justru mengalami sakit perut dan muntah-muntah. Kemudian, korban dibawa kembali ke klinik tersebut dan dokter menyatakan bahwa korban mengalami selulitis.
Selanjutnya, korban dirujuk ke Rumah Sakit Pekerja, Jakarta Utara. Di rumah sakit itu, korban mengalami penurunan fungsi ginjal dan pada hari berikutnya dinyatakan gangguan ginjal akut.
Mohamad Ripai (35), orangtua korban, menyampaikan, setelah anaknya yang berumur 7 tahun itu dinyatakan mengalami gangguan ginjal akut, pihak Rumah Sakit Pekerja memberikan sejumlah rujukan. Namun, beberapa rumah sakit rujukan tersebut menolak dan ada yang tidak memberikan jawaban.
”Alat terbatas. Tubuh anak saya bengkak sehingga tubuhnya hanya bisa memproses pengurasan cairan. Selanjutnya, saya dikasih saran untuk langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo, disingkat RSUPN dr Cipto Mangunkusumo atau RSCM), Jakarta Pusat,” kata Ripai.
Setelah itu, lanjut Ripai, di RSCM anaknya dibawa ke ruang pediatric intensive care unit (PICU) dan dipasang selang ventilator untuk cuci darah. Hingga sepekan dirawat di RSCM, anak Ripai pun dinyatakan meninggal (17/9/2022).
”Kami mencari keadilan agar ada yang bertanggung jawab atas kematian anak-anak Indonesia yang penyakitnya sama seperti anak saya. Biar tidak ada korban berikutnya,” kata Ripai.
Setelah selama seminggu dirawat, berdasarkan keterangan Ripai, anaknya merupakan yang pertama meninggal di ruang PICU. Seminggu setelah anaknya meninggal, penelitian terkait kasus gangguan ginjal akut baru diteliti.
Dari rekam medis anaknya di RSCM diketahui terdapat kandungan zat kimia di darahnya. ”Kemudian, mungkin dilaporkan ke kementerian. Baru ketahuan ada cemaran EG dan DEG. Baru tuh, BPOM langsung bertindak mencari apa obatnya,” ujar Ripai.