Penanganan Terkendala Stigma dan Diskriminasi, Kasus HIV/AIDS di Kota Bogor Masih Tinggi
Ketidaksetaraan dalam layanan HIV hingga stigma menjadi kendala penanganan dan penurunan kasus HIV/AIDS.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Bidan Ropina mendongeng untuk anak asuh di asrama Yayasan Vina Smart Era, Tambora, Jakarta Barat, Kamis (1/12/2022). Yayasan Vina Smart Era merupakan yayasan yang memberikan pendampingan pada anak dengan HIV/AIDS (ADHA) sejak tahun 2007. HIV dan AIDS masih menjadi salah satu penyakit dengan momok yang menakutkan di masyarakat. Tak jarang orang atau anak dengan HIV dan AIDS didiskriminasi dan distigma negatif oleh masyarakat.
BOGOR, KOMPAS — Angka kasus human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) di Kota Bogor meningkat. Stigma dan diskriminasi menjadi kendala dalam upaya penanganan dan penurunan kasus.
Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2022 pada rangkaian pekan Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat Kota Bogor, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, semua pihak mempunyai peran dan perlu bergerak bersama untuk menurunkan angka kasus HIV/AIDS. Kota Bogor menargetkan nol kasus HIV/AIDS pada 2030.
”Fenomena gunung es ini harus semakin diperkecil. Jangan sampai di bawah tidak terdeteksi akhirnya menggelembung tambah banyak. Gerakan untuk meningkatkan edukasi terhadap anak-anak dan remaja. Selain itu, jangan ada stigma dan diskriminasi. Stop,” kata Dedie, Selasa (6/12/2022).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor, angka kumulatif pada 2021 tercatat sebanyak 5.750 kasus HIV dan 1.851 kasus AIDS. Sementara angka kumulatif sampai September 2022 ada 6.058 kasus HIV dan 1.865 kasus AIDS.
Adapun di tingkat Provinsi Jawa Barat, angka kumulatif 2021 sebanyak 51.325 kasus HIV dan 12.023 kasus AIDS. Sementara angka kumulatif hingga September 2022, ada 57.134 kasus HIV dan 12.326 kasus AIDS.
Secara nasional, prevalensi HIV sebesar 0,26 persen. Sementara di Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai 1,8 persen. Dari data sampai dengan akhir Juni 2022, sekitar 85 persen orang dengan HIV AIDS (ODHA) merupakan usia produktif, yaitu 20-49 tahun.
Data Kementerian Kesehatan, secara kumulatif September 2020-2022, tercatat 12.553 anak berusia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV. Dari jumlah total tersebut, 4.764 anak di antaranya berusia di bawah 4 tahun.
Menurut Dedie, HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan nasional. Oleh karena itu, pengawasan kepada anak-anak dan remaja harus lebih digencarkan. Remaja memiliki tingkat risiko terpapar HIV/AIDS yang cukup tinggi dari potensi pergaulan, aktivitas di luar rumah, obat terlarang, hingga pergaulan bebas serta hubungan seksual yang membahayakan.
”Kalau kita tidak melakukan upaya-upaya pendidikan, pencegahan, kemudian pendeteksian dini, kita akan kecolongan,” ujar Dedie.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sejumlah anak dengan HIV/AIDS (ADHA) mendengarkan dongeng tentang Si Kancil yang disampaikan oleh tim sukarelawan Super Hero Mendongeng di halaman Yayasan Lentera Surakarta, Jebres, Surakarta, Rabu (30/11/2022). Selain untuk menyambut peringatan Hari AIDS Sedunia, kegiatan ini juga menghibur anak-anak pengidap HIV/AIDS yang menghuni tempat itu. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap 1 Desember antara lain untuk mengajak masyarakat mengenyahkan stigma negatif terhadap ODHA/ADHA. Yayasan Lentera Surakarta saat ini dihuni 39 ADHA dengan usia enam bulan hingga 18 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno menjelaskan, dibandingkan pada 2021, kasus HIV mengalami peningkatan pada 2022, terutama pada populasi kunci seperti laki seks laki (LSL) sebesar 98 kasus, transjender 3 kasus, pengguna narkoba suntik 2 kasus, warga binaan pemasyarakatan 3 kasus, ibu hamil 12 kasus, dan pasien tuberkulosis sebesar 112 kasus.
Dalam upaya pengendalian HIV, Dinkes Bogor berusaha untuk menguatkan program target 95.95.95. Target itu maksudnya 95 persen orang mengetahui status infeksi HIV, 95 persen orang dengan HIV minum obat ARV, dan 95 persen pemeriksaan viral load (VL) tersupresi.
Namun, menurut dia, untuk mencapai target itu masih mengalami banyak kendala sehingga upaya pencegahan belum optimal. Hal itu menyebabkan retensi pengobatan ARV yang rendah. Selain itu, masih dirasakannya ketidaksetaraan dalam layanan HIV khususnya bagi perempuan, anak, dan remaja. Stigma dan diskriminasi yang masih tinggi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pun menjadi kendala dalam penanganan.
”Untuk mencapai ending AIDS 2030, upaya pengendalian dilakukan dengan strategi, pencegahan, penemuan kasus dan penanganan kasus didukung dengan berjalannya transformasi kesehatan. Termasuk penguatan layanan primer, pencakupan kesehatan semesta, dan pelibatan masyarakat atau komunitas,” ujar Retno.
Hari AIDS sedunia (HAS) diperingati pada 1 Desember sejalan dengan tema Global ”Equalize”, yaitu satukan langkah, cegah HIV, dan semua setara akhiri AIDS. Perempuan dan remaja diajak bergerak aktif dalam upaya mencegah infeksi dan penularan HIV AIDS bagi diri dan lingkungannya.
”Meningkatkan keberpihakan dan kesetaraan dalam menyediakan layanan pencegahan, tes, dan pengobatan HIV AIDS berkualitas untuk semua orang. Serta meningkatkan penggerakan sumber daya dalam mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia. Stop stigma karena ini hanya menghambat penanganan,” kata Retno.