Yang Penting Ada Dulu...
Komunitas disabilitas menilai operator angkutan umum belum melibatkan mereka mulai dari perencanaan, pembangunan hingga selesai, dan evaluasi secara optimal. Aksesibilitas disabilitas masih dinilai yang penting ada.
Sebagai pengguna kursi roda sekaligus pengguna angkutan umum Transjakarta, aneka pengalaman dihadapi Catur Sigit Nugroho. Mulai dari berdesak-desakan dengan penumpang lain di halte, tidak dibantu petugas, hingga tidak terangkut bus yang ditunggu lama sudah pernah ia alami.
Satu pengalaman itu ia alami pada Senin (21/11/2022) pagi saat ia hendak menuju kantornya di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dari rumahnya di Rusun Albo, Cakung, Jakarta Timur, ia akan naik bus Transjakarta yang melayani area rusun. Ia kemudian transit dan berganti bus di Halte PTC Pulogadung untuk menuju kantornya.
”Di halte itu, saya selalu berdesakan dengan penumpang lain. Senin (21/11/2022) itu saya berdesakan menunggu bus dengan pelanggan lain di Halte PTC Pulogadung,” kata Catur yang ditemui dalam acara DTKJ Awards 2022, Selasa (22/11/2022).
Di halte itu, Catur menunggu cukup lama. Makin siang, makin banyak pelanggan. Ketika bus datang, Catur justru tak bisa menyela masuk bus saking padatnya penumpang sehingga ia ketinggalan.
”Saya tertinggal sampai empat bus. Karena sudah makin siang, akhirnya saya menghubungi petugas Transjakarta yang saya kenal untuk berkomunikasi dengan petugas di halte dan membantu saya,” ujarnya sambil mengatakan kejadian itu sering terulang.
Berkat bantuan petugas, Catur bisa naik bus kelima. ”Saya akhirnya sampai kantor sudah melewati jam masuk, tepatnya di 09.30 pagi,” kata Catur sambil menjelaskan, di lantai masuk-keluar penumpang selalu tidak ada petugas karena mereka berada di lantai atas tempat gerbang pembayaran dan masuk-keluar.
Baca juga : Setumpuk Pekerjaan Rumah agar Angkutan Umum di Jakarta Memenuhi Aksesibilitas Disabilitas
Lain Catur, lain pula pengalaman Eka Setiawan. Ketua III DPP Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) itu mendapati penempatan ubin pemandu atau guiding block yang kurang tepat di Stasiun Gambir pada awal November lalu. Didampingi sejumlah petugas stasiun untuk menelusuri ubin pemandu, Eka menuturkan, penempatan ubin pemandu itu tidak tepat.
Ia mendapati ubin pemandu mengarah ke pintu lift. Dari aspek logis, seharusnya ubin pemandu mengarahkan penumpang disabilitas ke arah tombol.
”Kalau langsung ke pintu, bahaya. Kita bisa terjatuh begitu pintu membuka. Kalau ubin pemandu ke tombol, penumpang akan terjeda untuk menekan tombol sambil menunggu pintu membuka,” ujar Eka.
Selain itu, ia juga mendapati kursi prioritas bagi penumpang disabilitas ataupun fasilitas toilet di stasiun dan di dalam kereta tidak mendukung penumpang disabilitas. Penumpang berkursi roda tidak bisa bermanuver saat hendak menggunakan toilet di stasiun. Di peron stasiun, toilet dibuat berundak sehingga menyulitkan penumpang disabilitas.
Baik Catur maupun Eka sebetulnya sama seperti penumpang pada umumnya yang bisa menjangkau angkutan umum dan menggunakannya secara mandiri. Hanya, Catur memberi catatan, setiap sarana dan prasarana angkutan umum di Jakarta, baik itu Transjakarta, MRT, LRT, maupun kereta komuter, sebaiknya dilengkapi fasilitas aksesibilitas bagi penumpang disabilitas yang sesuai kebutuhan.
Fasilitas itu di antaranya bidang miring untuk masuk-keluar stasiun atau halte yang dibuat landai sehingga penumpang disabilitas bisa mandiri memasuki halte. Kemudian keberadaan lift, ubin pemandu, hingga petunjuk atau informasi yang jelas.
”Saya tergabung dalam sebuah komunitas yang bisa saya tanyai, halte mana yang aksesnya bagus. Kalau tidak bagus, adanya tangga atau bidang miring yang terjal biasanya saya hindari. Titik-titik yang dihindari dan yang bisa dilewati itu biasanya saya bagi ke teman-teman disabilitas lainnya,” ungkap Catur.
Namun, ia juga merasa beruntung, dengan aktivitasnya di Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional, ia memiliki akses langsung pada sejumlah petugas operasional Transjakarta. Karena itu, ketika mendapati kesulitan saat di halte atau di bus, ia bisa meminta bantuan mereka. Sebab, tak jarang sopir bus enggan untuk mengangkut Catur atau bahkan bersikap kasar padanya.
Secara aturan sudah ada, hanya memang perlu sosialisasi karena masih banyak yang belum tahu. By law sudah ada, tinggal konsistensi pelaksanaan.
Catur lalu membandingkan situasi pelayanan Transjakarta lima tahun yang lalu saat ia sering mendapati petugas di halte sangat cuek atau tidak peduli pada penumpang disabilitas. Mereka juga lebih banyak bermain ponsel.
”Sekarang sedikit lebih baik,” ucapnya.
Baca juga : MRT Jakarta Moda Transportasi Paling Ramah Disabilitas di Jakarta
Namun, jika dibandingkan dengan petugas kereta komuter (KCI), petugas Transjakarta masih perlu belajar banyak. Ia menyebutkan, di stasiun kereta komuter, antara lantai peron dań lantai kereta ada celah.
”Tapi saya tidak khawatir karena petugas di stasiun responsif. Belum lagi petugas antarstasiun itu saling berkomunikasi memberi tahu ada penumpang disabilitas. Kalau Transjakarta tidak ada,” tutur Catur.
Eka menambahkan, mencermati kejadian berulang yang dialami Catur, itu berarti setiap operator angkutan umum yang beroperasi di Jakarta secara berkala harus meningkatkan keahlian dan kemampuan sumber daya manusia yang disiapkan untuk membantu penumpang disabilitas.
”Perlu pelatihan bagi petugas operator terkait layanan ramah disabilitas,” ujar Eka.
Ini seperti yang ia temui di Stasiun Gambir dan juga di Terminal Penumpang Nusantara Pelabuhan Tanjung Priok. Petugas yang disiapkan untuk membantu penumpang disabilitas tidak menunjukkan kemampuan yang tepat.
”Cara mereka memegang tangan saya, respons awal saat bertemu saya dan menawarkan bantuan menunjukkan mereka perlu mendapatkan pelatihan berkala,” kata Eka.
Terkait penyediaan fasilitas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana angkutan umum, menurut Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Umar Aris, hal itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus.
”Secara aturan sudah ada, hanya memang perlu sosialisasi karena masih banyak yang belum tahu. By law sudah ada, tinggal konsistensi pelaksanaan,” kata Umar.
Eka pun menggarisbawahi, secara aturan tak kurang-kurang. Selain Permenhub No 98 Tahun 2017, aturan terkait penyediaan dan kelengkapan fasilitas aksesibilitas bagi disabilitas juga sudah ada dalam Undang-Undang (UU) tentang Lalu Lintas dan UU tentang Disabilitas. Gerakan supaya operator angkutan umum memenuhi aturan juga sudah ada.
”Aturannya, permenhubnya ada. Cuma persoalannya, gerakannya ada tetapi pelibatannya kurang. Pelibatan disabilitas ini, makanya terus banyak seperti yang sudah dilaksanakan itu tidak tepat manfaat,” lanjutnya.
Eka mencontohkan, peletakan ubin pemandu di Stasiun Gambir. Apabila pemasangan melibatkan komunitas disabilitas, pemasangan akan tepat sesuai kebutuhan karena ada masukan-masukan.
Baca juga : Akses Transportasi Umum Belum Ramah bagi Penyandang Disabilitas
Ajad Sudrajat, Ketua Pertuni DKI Jakarta, menambahkan, dari evaluasinya, sampai saat ini operator angkutan umum belum optimal melibatkan komunitas disabilitas dalam pemenuhan fasilitas bagi penumpang disabilitas. ”Maksud saya, ketika proses perencanaan sampai pembangunan sampai hasil, sampai evaluasi, tidak melibatkan disabilitas secara utuh,” kata Ajad.
Ia mencontohkan, di stasiun MRT Jakarta dengan akses disabilitas yang ia nilai baik, saat ini ada fasilitas layanan digital yang ramah bagi penyandang disabilitas, disebut Digital Intelligent Asisstant (Dina). Namun, ia melihat penempatan Dina tidak tepat.
”Dina itu tombolnya jauh. Belum lagi ditempatkan dekat tiket, juga di peron. Kalau ditaruh di situ untuk apa? Dina itu ya baiknya di awal, sewaktu kita mau masuk stasiun, kalau kita butuh bantuan bisa kita tekan tombolnya,” tutur Ajad.
Demikian juga dengan penempatan huruf braille. ”Katanya ada, tetapi tipis banget, kurang timbul, yang diletakkan di tombol lift atau di tombol-tombol fasilitas,” tambahnya.
Adapun di sarana angkutan lain, Ajad menyoroti ubin pemandu. Sesuai namanya, ubin pemandu berbentuk ubin, jadi harus terpasang bersama ubin lantai yang lain, bukan ditempel. Bidang miring seharusya juga bukan portabel, tetapi sudah permanen dipasang.
”Nah, bidang miring ini kita bicara kelandaian, tingkat kelicinan. Yang membahayakan itu kalau licin, jadi bagaimana supaya tidak licin,” katanya.
Sayangnya, untuk fasilitas semacam itu, Ajad mengingat, begitu sudah ada contoh pemasangan, teman-teman disabilitas baru dilibatkan untuk diketahui kekurangannya di mana.
Belum lagi gerbang halte di Transjakarta. Karena terkait ruang, gerbang pembayaran sering dibuat pas untuk penumpang umum. Hal itu membuat penumpang dengan kursi roda tak bisa masuk atau harus dibantu petugas.
”Sesuai aturan permen PUPR, ukurannya seharusnya 92 sentimeter, namun saya ukur hanya 59 sentimeter,” imbuh Catur yang ke mana-mana membawa meteran pengukur.
Baik Eka, Ajad, maupun Catur menegaskan, meski dari sisi undang-undang dan aturan sudah ditegaskan untuk disediakan, dengan kondisi dan kualitas yang ada, ketiganya sepakat mengatakan bahwa bagi operator, fasilitas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu terkesan yang penting ada dulu.
Itu sebabnya, ketiganya meminta setiap operator angkutan umum yang hendak memenuhi aksesibilitas bagi disabilitas harus optimal melibatkan komunitas disabilitas. Tepatnya, dari desain dan perencanaan hingga selesai dan kemudian evaluasi dan audit.
Baca juga : Penyandang Disabilitas Masih Kesulitan Mengakses Sejumlah Halte Transjakarta
Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengatakan, layanan bagi penumpang disabilitas tidak bisa yang penting ada. Sekarang ini saatnya bagi para operator angkutan umum meningkatkan kualitas layanan dan fasilitas bagi penumpang disabilitas.
Damantoro mengakui, memang benar saat ini MRT Jakarta merupakan operator yang terbaik, paling ramah bagi disabilitas. Itu dibuktikan dalam DTKJ Awards 2022 lalu.
”Sekarang bagaimana para operator lain bisa meningkatkan kualitas fasilitas dan layanan disabilitas untuk mencapai layanan seperti MRT Jakarta,” katanya.
Selain itu, ia juga menyarankan supaya penyediaan fasilitas aksesibilitas bagi disabilitas ini masuk dalam standar pelayanan minimum Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
David Tjahjana dari Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) menambahkan, fasilitas aksesibilitas di angkutan umum di Jakarta bagi penyandang disabilitas sudah ada peningkatan. Namun, dalam konteks integrasi aksesibilitas, seharusnya kualitas layanan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas itu setara, tidak ada operator yang lebih tinggi.
Untuk mewujudkan kualitas layanan yang setara di angkutan umum, GAUN mencoba melakukan intervensi. Salah satunya kepada Transjakarta, GAUN memberi masukan-masukan. ”Kami sedang desain halte yang aksesibel,” kata David.
Ajad pun menegaskan, setiap perbaikan yang dikerjakan perlu mendapat pengawalan. Supaya jangan yang penting ada, supaya jangan tambal sulam.