Penyandang Disabilitas Masih Kesulitan Mengakses Sejumlah Halte Transjakarta
Perbaikan dan peninjauan kembali sarana-prasarana bus Transjakarta diperlukan agar para penyandang disabilitas bisa mengakses transportasi publik itu secara optimal.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok penyandang disabilitas masih kesulitan mengakses layanan bus Transjakarta, bahkan pada halte yang telah dilengkapi fasilitas dengan label ramah disabilitas. Perencanaan yang tak melibatkan para penyandang disabilitas menyebabkan kerap terjadi kesalahan pemasangan fasilitas tersebut.
Dari 222 halte bus yang ada di DKI Jakarta, 71 halte masuk dalam kategori ramah disabilitas. Namun, halte-halte ini tidak lantas menjamin keamanan penyandang disabilitas, salah satunya karena ubin pemandu atau guiding block yang salah terpasang dan patok besi cor atau bollard yang menghalangi trotoar.
Pada Minggu (20/11/2022), beberapa penyandang disabilitas fisik, tuli, dan netra mencoba halte bus Transjakarta Kebon Jeruk dan Lebak Bulus untuk mengecek fasilitas dan aksesibilitasnya. Acara ”Ekspedisi Lapangan: Inclusive Public Transport by Design” ini diselenggarakan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Urban Social Forum.
Perjalanan dimulai dari Halte Kebon Jeruk di Jakarta Barat. Halte ini tidak memiliki jembatan penyeberangan orang (JPO) sehingga masyarakat harus melalui penyeberangan pelican untuk mengaksesnya.
Di bagian trotoar menuju halte terdapat bollard yang jaraknya relatif rapat sehingga menyulitkan penyandang disabilitas fisik dengan kursi roda untuk melaluinya. Meski patok ini tidak menghalangi ubin pemandu, tetapi menyulitkan disabilitas netra untuk berjalan. Mereka memilih untuk melewati jalan raya dan kemudian naik ke trotoar yang bebas dari bollard.
Maisty Akhdaniyah (29), penyandang disabilitas fisik, membutuhkan dua hingga tiga orang untuk membantunya naik ke dalam bus karena tidak ada ram atau papan sebidang portabel yang digunakan di celah peron. Di dalam bus, Maisty menempati ruang khusus disabilitas.
Memang perlu ada sabuk pengaman supaya lebih aman.
Namun, beberapa kali kursi rodanya bergerak ketika sopir bus mengubah kecepatan atau berhenti mendadak meskipun ia telah mengunci roda kursinya. ”Saya harus pegangan karena kursinya bergerak ke area tengah di area orang berjalan. Memang perlu ada sabuk pengaman supaya lebih aman,” kata Maisty yang sehari-hari menggunakan bus Transjakarta untuk bekerja.
Di Halte Lebak Bulus, ubin pemandu dipasang terlalu mepet dengan kursi tunggu penumpang. Alhasil, para disabilitas netra tidak bisa menggunakan fasilitas tersebut secara optimal.
Kepala Departemen Pengembangan Prasarana dan Fasilitas PT Transjakarta Arieni Lestari Putri mengemukakan, dari 222 halte bus Transjakarta, 71 di antaranya berkategori ramah disabilitas. Kategori ini didasarkan pada keberadaan fasilitas fisik, seperti panah disabilitas, penyeberangan pelican, ubin pemandu, dan ram.
Senior Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate ITDP Indonesia Deliani Siregar menjelaskan, keberadaan label ramah disabilitas tidak lantas membuat sarana-prasarana baik bus dan pendukungnya mudah diakses oleh disabilitas. Di beberapa tempat masih ada ketidaksesuaian sarana yang menghambat akses disabilitas.
”Selama ini teman-teman disabilitas dilibatkan hanya pada saat audit, tidak sejak perencanaan dan implementasinya. Alhasil, banyak fasilitas yang diperuntukkan kepada mereka jadi tidak sesuai dan tidak optimal,” kata Deliani.
Menurut dia, memitigasi kebutuhan penyandang disabilitas sedari awal dengan melibatkan mereka mampu menekan anggaran. Selain itu, waktu yang digunakan untuk pembangunan juga menjadi lebih efektif.
”Pembiayaan akan lebih mahal ketika disabilitas hanya dilibatkan pada proses terakhir, yaitu audit layanan. Hal ini karena ketidaksesuaian pemasangan membuat fasilitas tersebut perlu dibongkar dan ditata ulang. Ada studi yang menyebutkan kesalahan ini justru menambah 20 persen anggaran,” tutur Deliani.