Sebagian Warga di Jakarta Masih Kesulitan Akses Perangkat Siaran Digital
Sejumlah warga di DKI Jakarta masih kesulitan mengakses perangkat siaran televisi digital. Proses migrasi siaran televisi dari analog ke digital terestrial juga dinilai warga masih memiliki kendala.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga di DKI Jakarta saat ini tak bisa menikmati siaran televisi setelah pemerintah mematikan siaran televisi analog pada 2 November 2022. Warga tidak memiliki biaya untuk membeli perangkat set top box atau STB yang diperlukan agar televisi mereka bisa menangkap siaran digital terestrial.
Warga RT 005 RW 002, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Bambang (47), sangat berharap mendapat bantuan STB gratis. Televisi berukuran 14 inci miliknya saat ini hanya menampilkan layar berwarna biru dan tidak dapat mengakses siaran televisi apa pun.
Bambang mengatakan, ia tidak mempunyai uang untuk membeli perangkat STB. Ia sempat mengajukan bantuan STB melalui layanan WhatsappKementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun, dia dinilai tidak memenuhi kriteria masyarakat yang berhak menerima bantuan. Padahal, keluarganya terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
”Masih menunggu STB gratis karena katanya ada pembagian, entah RT atau kelurahan. Kan, ini program pemerintah, harusnya tidak ada pengecualian karena memang keluarga saya pas-pasan hidupnya. Kalau kayak gini, jadi memaksa masyarakat tidak mampu untuk beli STB atau televisi digital,” kata Bambang, Sabtu (12/11/2022).
Tri Koyo (62), warga RT 007 RW 002, Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengatakan belum membeli STB karena harganya mahal. Tri biasa menonton tayangan berita melalui televisi LED berukuran 21 inci. Setelah pemberlakuan migrasi analog ke digital, Tri lebih sering mengikuti perkembangan berita melalui telepon selulernya.
”Kalau pergantian ke digital, sudah tahu sebelumnya. Belum beli alatnya (STB) sekarang karena harganya mahal dan cepat habis kalau mau beli. Jadi, sampai sekarang enggak nonton apa-apa,” ujarnya.
Lain lagi dengan Amir (56), warga Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, yang mengaku sudah mendapat STB gratis dari kelurahan. Akan tetapi, saat ini ia belum memasang perangkat itu karena adaptor penghubung dinilainya terlalu kecil. Ia masih mencari informasi untuk pemasangan STB di rumahnya.
”Kalau TV digunakan untuk waktu yang lama, bisa meledak kalau adaptornya kecil. Ngeri juga katanya ada yang meledak TV-nya, jadi takut saya masangnya,” ucap Amir yang menggunakan TV tabung 21 inci.
Sementara itu, penjualan STB di toko-toko elektronik yang ramai sejak pemerintah mematikan siaran televisi analog pada 2 November, kini berangsur turun. Pemilik toko elektronik di Pasar Palmerah, Jakarta Barat, Akiang (60), mengatakan, dalam satu hari, awalnya dia bisa menjual lebih dari 100 buah STB.
Namun, hal itu hanya berlangsung selama satu minggu sebelum menurun. ”Sekarang hanya laku 5-10 buah per hari. Mungkin karena masyarakat sudah banyak yang punya,” ujarnya.
Akiang di tokonya menjual lima merek STB, paling mahal dibanderol Rp 280.000 dan paling murah seharga Rp 200.000. Ia mengaku tidak ada perbedaan harga selama penjualan naik atau mulai menurun seperti sekarang.
Pemilik toko elektronik lainnya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Masno (55), mengungkapkan, setelah pengumuman migrasi ke televisi digital, penjualan STB di tokonya melonjak pesat. Sebelum itu, STB di tokonya itu hanya laku terjual tiga buah.
”Sejak diinfokan 2 November, sudah laku lebih dari 200 buah STB hingga saat ini. Sekarang sudah mulai turun, sehari hanya laku lima buah,” ucapnya. Di tokonya itu, Masno hanya menjual dua merek STB seharga Rp 200.000 dan Rp 350.000.
Sementara itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengatakan, STB diberikan secara gratis atau subsidi kepada keluarga yang membutuhkan berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemensos). Ia mengimbau masyarakat yang membutuhkan untuk datang ke posko Kominfo apabila tidak terdata oleh Kemensos atau saluran televisi bermasalah.
Jangan sampai STB langka, harga jadi mahal.
KPI mendorong pemerintah melakukan langkah kreatif, seperti bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan atau industri televisi. Jika masih ada yang menjual televisi analog, harga harus sudah termasuk STB dalam satu paket karena saat ini tidak semua televisi LED bisa mengakses siaran digital. Kemudian, penjual juga menyediakan pilihan tukar tambah dari televisi analog ke televisi digital, misalnya dengan skema kredit.
Agung menambahkan, KPI juga telah mengadakan rapat kerja nasional dan menyerukan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah, seperti melaksanakan percepatan distribusi STB. Kemudian menyegerakan migrasi siaran dari analog ke digital di luar Jabodetabek dan menjamin ketersediaan STB dengan harga terjangkau. ”Jumlah rumah tangga yang membutuhkan STB yang tidak disubsidi jauh lebih banyak. Jangan sampai STB langka, harga jadi mahal,” ujarnya.
Kompas telah berupaya menghubungi Staf Khusus Menteri Kominfo Rosarita Niken Widiastuti, tetapi belum mendapat tanggapan. Namun, pada 6 Oktober 2022 Niken menjelaskan, terkait data penerima STB, Kominfo bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah untuk mengurangi ketidakakuratan.
Menurut Niken, perubahan data bisa terjadi kapan saja, seperti pindah alamat. Proses validasi dan verifikasi data penerima STB berbasis DTKS dilakukan dengan menyurvei secara langsung sehingga lebih akurat. Berdasarkan data yang berasal dari pemerintah daerah tersebut, penerima STB ditetapkan.
”Bila ada ketidaktepatan penerima, perlu update data secara berkesinambungan sehingga ke depannya data makin akurat. Setiap ada laporan ketidakakuratan, Kominfo juga selalu mencatatnya untuk bahan evaluasi data,” katanya.