Upaya Pengerukan Lumpur Sungai Belum Capai Target
Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta melakukan pengerukan lumpur di sungai sebagai upaya antisipasi dampak musim hujan. Namun, hal tersebut belum mencapai target.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengerukan lumpur di sungai DKI Jakarta belum mencapai target. Pengerukan itu bagian dari upaya antisipasi dampak musim hujan.
Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta menargetkan 1,3 juta meter kubik pengerukan lumpur sungai di Jakarta pada tahun 2022. Namun, hingga November 2022, progres pengerukan lumpur baru mencapai 981.414 meter kubik.
Berdasarkan data Dinas SDA DKI Jakarta per 4 November 2022, proses pengerjaan baru mencapai 70,6 persen dengan lokasi pengerukan sebanyak 99 titik.
Pantauan di aliran Sungai Ciliwung yang berlokasi di Jalan Matraman Dalam, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (11/11/2022) pukul 10.30-12.00, terdapat satu alat berat yang mengeruk lumpur. Tumpukan lumpur bercampur sampah plastik dikeruk dan dikumpulkan pada satu titik dipinggir sungai kemudian akan diangkut oleh dump truck.
Satu dump truck dapat mengangkut 5 meter kubik lumpur. Dalam satu hari, di titik tersebut lumpur bisa diangkut oleh 15-18 dump truck dengan dua rit atau bolak balik. Dalam satu hari, dump truck bisa mengangkut 75 meter kubik. Dump truck akan membawa lumpur untuk dikumpulkan di PLTU Ancol, Jakarta Utara.
Baca juga: Hadapi Musim Hujan, Jakarta Aktifkan Gerebek Lumpur
Sekretaris Dinas SDA DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan, antisipasi musim hujan dilakukan dengan meningkatkan kapasitas sungai dan saluran dengan pengerukan lumpur. Pengerukan dilakukan di seluruh sungai di Jakarta, tetapi ada prioritas sungai yang diutamakan.
Dalam melakukan pengerukan tidak boleh terlalu dalam karena akan berdampak pada sisi kanan dan kiri tanggul sungai. Terdapat ketentuan ketebalan pengerukan lumpur.
Selain itu, Dinas SDA DKI Jakarta juga memiliki drone khusus untuk mengukur ketebalan lumpur di sungai sehingga operator alat berat tidak boleh sembarangan dalam mengeruk lumpur di sungai.
”Kalau dikeruk terlalu banyak, air tidak mengalir atau tanggul kanan-kiri bisa jebol karena terlalu dalam. Satu titik sungai terdapat target pengerjaan untuk satu segmen tergantung kondisi sungai,” katanya.
Dia tak menampik adanya sejumlah kendala di lapangan, seperti kesulitan memobilisasi alat berat. Banyak daerah aliran sungai yang tidak bisa dilewati alat berat karena sekelilingnya merupakan daerah padat penduduk. Hal ini mengakibatkan pengerukan lumpur dilakukan secara manual atau dengan tenaga manusia.
”Waktu jadi lama dan tidak maksimal. Jumlah personel juga terbatas dan kami harus mencakup banyak titik sungai,” ujarnya.
Menurut dia, untuk memastikan data di lapangan, selain data dari personel, pihaknya juga melakukan monitoring melalui sistem pemosisi global (GPS) yang dipasang pada semua dump truck. ”Data kami benar karena kami juga cek untuk memastikan pekerja di lapangan. Pergi ke mana dan di mana, kami punya GPS,” ujarnya.
Salah satu operator alat berat, Alfiansyah, mengatakan, pengerukan lumpur berbeda antara di pinggir sungai dan di tengah sungai. Di pinggir sungai, pengerukan tidak terlalu dalam agar tidak menyebabkan tanggul sungai rusak atau longsor.
”Pengerukan yang dilakukan di tengah sungai, titik lokasi pada hulu sungai kedalamannya bisa 1 meter dan hilir sungai bisa 2 meter,” katanya.
Alfiansyah mengungkapkan, pengerukan dilakukan setiap hari. Pengerukan diulang jika kemudian terjadi hujan lebat ataupun air pasang dan lumpur kembali menumpuk.
Di lokasi lain, di titik Sungai Ciliwung dekat Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, pengerukan lumpur tidak dilakukan setiap hari. Hal itu karena kawasan tersebut merupakan wilayah ring satu Istana Negara.
Patar, operator alat berat, mengungkapkan, ia telah melakukan pengerukan selama satu bulan untuk panjang sungai sekitar 30 meter di titik tersebut. Ada kendala di lapangan karena alat berat untuk mengangkut lumpur ke dump truck tidak bergerak sehingga pengumpulan lumpur hanya pada satu titik. ”Jadi, sistemnya keruk dan oper,” ujarnya.
Lihat juga: Pengerukan Lumpur Sungai Ciliwung
Iyem (54), salah satu warga RT 007 RW 08, Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, mengungkapkan, sejak dilakukan pengerukan lumpur, genangan air tidak lagi sampai ke jalan. Paling tinggi debit air hanya sampai batas tanggul. Dampak yang paling terasa bagi warga sekitar adalah pengurangan jumlah nyamuk ketika sungai rutin di keruk.
”Bahkan, dulu kalau tidak dikeruk, banyak eceng gondok tumbuh sendiri. Nyamuk berkurang yang penting,” ujar Iyem.
Lihat juga: Anies Baswedan Selesaikan Pengerukan Kali Mampang Sesuai Gugatan Warga
Kurang efektif
Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Indonesia, Dwita Sutjiningsih, menjelaskan, alur sungai mempunyai dinamika perubahan bentuk mengikuti keseimbangan antara debit air dan volume sedimen, baik yang berasal dari daerah aliran sungai maupun dari alurnya itu sendiri yang diangkutnya. Pekerjaan pengerukan pada alur sungai dapat mengganggu keseimbangan tersebut.
Hal ini, kata Dwita, juga mengakibatkan tidak efektifnya pekerjaan pengerukan karena dalam waktu yang tidak terlalu lama, sungai kembali mendangkal dan menyempit. Selain itu, pekerjaan pengerukan adalah pekerjaan konstruksi paling sulit pengawasannya, terutama untuk menilai hasil pekerjaan sesuai dengan ketentuan.
”Tidak ada cara lain kecuali dikeruk, tetapi akan menjadi pekerjaan rutin atau berkala karena kesulitan mengawasi, petugas mudah sekali untuk mengakali hasil pekerjaannya,” kata Dwita.