Cepatnya tren mode membebani lingkungan hidup, terutama di perkotaan yang tinggi laju konsumerismenya. Sebuah kolaborasi berupaya membalik kondisi tersebut.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Di panggung catwalk Jakarta Fashion Week 2023, sejumlah model berjalan memperagakan pakaian karya Adrie Basuki bertajuk ”Bangun dari Tidur”. Di panggung itu, Adrie mengusung karya dari material atau bahan kain bekas hasil kolaborasi bersama 35 ibu dari Kampung Perca Sindangsari, Kota Bogor, Jawa Barat. Mereka sedang ”melambatkan” fashion demi sebuah misi besar.
Kampung Tematik Perca Sindangsari di Bogor Timur berkembang sebagai tempat para ibu berdaya secara ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 dan jerat utang pinjaman online (daring).
Kini para ibu di Sindangsari melangkah lebih jauh dengan ikut terlibat menjaga lingkungan melalui karya jahitan, seperti pakaian, sarung bantal, tas, dan bunga, serta banyak produk lainnya. Produk-produk itu tercipta dari bahan kain bekas yang dikumpulkan dari pabrik konfeksi.
Hasil karya mereka bisa dibeli dan dinikmati bukan hanya di Kampung Sindangsari, melainkan juga di sejumlah gerai toko pakaian, mal, hingga di ajang Jakarta Fashion Week (JFW) 2023 yang dihelat pada 24-30 Oktober di Pondok Indah Mall 3.
”Desainer punya pengetahuan dan jaringan sehingga ada apresiasi luas. Namun, Sindangsari melalui karya ibu-ibu belum tentu dilirik dan diapresiasi. Padahal, mereka bergerak positif, seperti berusaha bangkit dari pandemi, pinjaman online, hingga terlibat langsung dalam upaya zero waste (nirlimbah) dan penanggulangan pencemaran limbah,” kata Adrie, Jumat (11/11/2022).
Sebagai bentuk apresiasi, Adrie berkolaborasi dengan 35 penjahit untuk mengeksplorasi ide agar karya para ibu di Kampung Sindangsari makin dikenal. Ini sekaligus mengamplifikasi aksi peduli lingkungan ini agar semakin meluas.
”Ada 35 ibu di Sindangsari yang terlibat dalam kolaborasi karya di JFW. Mengusung zero waste dengan eksplorasi dari kain-kain daur ulang karya ibu-ibu itu melalui jahit tangan dan mesin,” ujar Adrie.
Kolaborasi karya dengan para ibu di Kampung Sindangsari tidak hanya berjalan di JFW 2023. Kolaborasi juga meluas ke produk fashion Uniqlo hingga pergelaran busana di Rusia.
”Tantangan dalam zero waste, orang melihat itu barang bekas. Namun, kain bekas itu bernilai ekonomi jika dikreasikan,” ujar Adrie, yang akan terus berkolaborasi dengan ibu-ibu Kampung Sindangsari menghasilkan karya lainnya dari kain-kain bekas.
Nining, salah satu penggerak pemberdayaan ibu-ibu Kampung Sindangsari, mengatakan, ide awalnya mereka hanya ingin mengikis dampak ekonomi pandemi Covid-19.
Ia bersama para ibu lainnya tidak pernah menyangka, dari mengolah kain bekas dan menjahitnya menjadi sebuah produk bisa menghadirkan tren hingga membantu mengurangi pencemaran lingkungan. ”Alhamdulillah jika berdampak luas untuk orang lain dan lingkungan,” ujar Nining.
Toxic and Zero Waste Program Officer Nexus3 Foundation, Mochamad Adi Septiono, menilai, kolaborasi ibu-ibu di Sindangsari dengan Adrie Basuki merupakan kampanye dan aksi nyata mengurangi limbah kain atau tekstil yang dapat merusak lingkungan. Langkah itu perlu diikuti dan didukung semua lapisan masyarakat.
Kolaborasi karya itu menjadi praktik slow fashion atau mode lambat.
Nexus3 Foundation adalah organisasi yang bergerak di bidang perlindungan masyarakat yang rentan dalam aspek pembangunan, kesehatan, dan lingkungan.
Mode lambat
Menurut Adi, kolaborasi karya itu menjadi praktik slow fashion atau mode lambat, yaitu mode berkelanjutan dalam seluruh proses produksi hingga konsumsi. Hal ini termasuk perlakuan kepada pekerja dan dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan sekitar.
Produk mode lambat itu mengimplementasikan pemakaian desain nol sampah (zero waste cutting) serta berusaha meminimalisasi limbah tekstil yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Berdasarkan data sistem informasi pengelolaan sampah nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, timbunan sampah nasional mencapai 30.881.805 ton dengan komposisi sampah berupa kain sebanyak 2,49 persen atau 768.956 ton. Selain itu, Indonesia juga menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga.
Dari data itu, kata Adi, permintaan fast fashion industry atau mode cepat sangat tinggi. Hal itu tidak lepas pula dari pola konsumerisme masyarakat. Mode cepat merupakan praktik produksi pakaian yang cepat dan massal atau banyak agar mengikuti tren mode terbaru serta menekan biaya produksi serendahnya. Padahal, kata Adi, harga murah suatu pakaian tidak sebanding dengan dampak limbah yang ditimbulkan pada lingkungan.
Warga yang mengikuti tren mode cepat ini tanpa disadari membuat lemari pakaian menjadi penuh. Banyak pakaian jadi tidak terpakai meski baru beberapa kali dikenakan. Hal itu berdampak dan berpotensi menjadi sampah tekstil yang merusak lingkungan.
Hasil penelitian YouGov pada 2017, sebanyak 29 persen dari 7.349 responden di Indonesia menyingkirkan sepotong pakaian yang hanya digunakan sekali pada tahun sebelumnya. Sebanyak 15 persen menyingkirkan minimal tiga potong pakaian yang hanya dikenakan sekali.
Padahal, produksi pakaian sangat membebani lingkungan. Adi menjelaskan, dalam produksi sepotong celana jins, dibutuhkan 3.781 liter air. Adapun produksi pakaian jadi bisa membutuhkan 2.700 liter air. Dalam setahun, penggunaan air mencapai 93 miliar kubik.
”Ini belum ditambah oleh pewarna pakaian. Beberapa jenis pakaian itu juga dibuat dari benang sintetis poliester, yang merupakan salah satu polimer plastik. Ini juga akan menjadi beban pengelolaan sampah dan pencemaran lingkungan air dan udara,” ujarnya.
Karena itu, kolaborasi antara Adrie dan ibu-ibu di Kampung Sindangsari dalam praktik mode lambat perlu diapresiasi. Aksi-aksi nyata seperti ini diharapkan membawa perubahan pola pikir dan perilaku kalangan luas dalam memandang dunia mode.