Sebagian Warga Belum Dapat Kompensasi Lahan Tol Cibitung-Cilincing
Sejumlah warga belum dapat kompensasi pembebasan lahan proyek Jalan Tol Cibitung-Cilincing seksi 4 di Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara. Ketidakcocokan nilai kompensasi membuat mereka bertahan dan akhirnya digusur.
Sejumlah anak menyaksikan ekskavator merobohkan rumah warga di RW 011, Semper Timur, Jakarta Utara, Selasa (8/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga RW 011, Semper Timur, Jakarta Utara, belum mendapatkan kompensasi pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol Cibitung-Cilincing. Hingga saat ini mereka masih menanti proses pembayaran kompensasi melalui pengadilan.
Ketidakcocokan nilai pembayaran kompensasi menjadi dasar sebagian warga tetap memilih bertahan tidak meninggalkan rumah mereka. Akhirnya, sebanyak 62 rumah digusur secara paksa sejak Selasa (8/11/2022) hingga Rabu (9/11/2022).
Terdapat lima RT yang dilintasi Jalan Tol Cibitung-Cilincing, yaitu RT 005, 006, 008, 009, dan 010. Pembebasan lahan tersebut untuk mendukung percepatan pembangunan Jalan Tol Cibitung-Cilincing seksi 4 yang ditargetkan dapat beroperasi pada awal tahun 2023.
Pada Rabu (9/11/2022), pukul 10.00-14.00, puluhan warga ikut menyelamatkan barang milik mereka dari sisa hasil penggusuran. Di lokasi yang sama juga terdapat sejumlah ekskavator merobohkan rumah warga, sisa hasil penggusuran kemarin. Selain barang elektronik, warga juga menyelamatkan kayu, besi, asbes, dan baja ringan dari rumahnya tersebut. Ada pula mushala serta sekolah TK dan SMP yang ikut digusur.
Selama dua hari di sela-sela penggusuran, beberapa warga mengais barang yang masih bisa diselamatkan. Sebagian warga mencari kontrakan untuk pindah. Sebagian lainnya yang tidak memiliki uang terpaksa membangun tenda darurat di malam hari untuk tidur bersama warga lainnya. Beberapa anak terpaksa tidak masuk sekolah karena tidak ada tempat untuk mandi, serta barang-barang yang masih berantakan.
Kami belum dapat apa-apa, duitnya masih di pengadilan. Jahat sekali ini, saya biasanya tinggal di rumah sendiri sekarang jadi ngontrak. (Mahfud)
Lihat juga: Pembebasan Lahan untuk Pembangunan Jalan Tol Cibitung-Cilincing
Warga RW 011 yang digusur rumahnya, Mahfud (60), mengatakan, Jumat (4/11/2022) sore mendapatkan informasi melalui surat perintah bahwa lahan harus dikosongkan. Ia bersama warga lainnya yang menolak karena ketidakcocokan nilai kompensasi minta penundaan untuk memindahkan barang-barang. Namun, tanpa ada informasi lebih lanjut, Selasa (8/11/2022) penggusuran langsung dieksekusi.
Mahfud yang tinggal di RW 011 sejak 30 tahun lalu itu pernah dijanjikan ganti rugi satu meter luas bangunan sebanyak tiga kali lipat nilai jual obyek pajak. Mahfud memiliki rumah seluas 257 meter persegi, kontrakan delapan pintu, serta mushala yang ia bangun seluas 99 meter persegi.
”Kami belum dapat apa-apa, duitnya masih di pengadilan. Jahat sekali ini, saya biasanya tinggal di rumah sendiri sekarang jadi ngontrak,” kata Mahfud dengan suara bergetar.
Warga lainnya, Urip (35), sejak Senin (7/11/2022) pagi sibuk mencari kontrakan. Saat proses penggusuran, ia langsung pindah. Urip dijanjikan mendapat kompensasi Rp 107 juta, tetapi uang itu belum cair hingga saat ini. Uang kompensasi dinilainya tidak cukup untuk membeli rumah yang baru di Jakarta.
”Uang itu baru uang bangunan saja, tanahnya belum ada kejelasan. Nyari kontrakan mahal sekarang, Rp 800.000 (per bulan) di luar biaya air dan lampu. Saya tidak punya uang untuk ngontrak karena belum ada ganti rugi. Jadi uangnya minjam. Pernah dijanjikan tiga bulan mau di-kontrakin,tapi kejelasannya belum ada dan nominal berubah-ubah dari Rp 500.000 hingga Rp 1 juta,” kata Urip yang sejak tahun 1997 tinggal di RW 011 itu.
Pembebasan lahan sepanjang 7,28 kilometer itu berdampak pada 300 rumah warga. Sekitar 200 warga menyetujui pembebasan lahan dan mencairkan uang kompensasi lebih dulu.
Lihat juga: 69 Bangunan Dibongkar untuk Proyek Tol Cibitung Cilincing
Warga yang menyetujui nilai ganti rugi, Meroni (50), mengatakan mengikuti prosedur yang ada karena mencari aman dan takut akan ketidakpastian. Ada pihak yang menyuruhnya mengambil uang kompensasi lebih dulu karena kalau dititipkan di pengadilan uangnya akan hilang. Meroni mengaku mendapat kompensasi lebih dari Rp 200 juta.
”Saya aman sekarang. Kalau kayak yang lain (digusur), pusing jadinya belum dibayar dan harus ngontrak. Mending diambil saja walaupun tidak sesuai dan rumah yang digusur lebih luas dari rumah saat ini. Saya bangun rumah baru nombok karena beli tanah sekarang mahal lagi,” ujarnya.
Sertifikat tanah
Ketua Forum Komunikasi Kampung Sawah yang juga Ketua RW 011 periode 2017-2021, Abu, mengatakan, warga RW 011 pernah mengurus pendaftaran tanah dan mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tahun 2018. Namun, prosesnya terhenti hanya sampai pemberian nomor urut berkas.
”Sampai saat ini kami menuntut berkas kami yang sudah diukur sejak 2018 dan tidak keluar sertifikatnya. Semua surat-surat bisa saya jadikan alat bukti karena waktu sosialisasi PTSL dan sosialisasi Tol Cibitung-Cilincing saya izinin. Mereka datang dan bilang akan ganti untung tanahnya dibayar tiga kali lipat. Kalau diproses, harusnya sudah ada sertifikatnya. Tapi, sampai saat ini tidak ada kelanjutan,” ujarnya.
Menurut Abu, saat pencairan uang pembebasan lahan tahap awal, warga hanya diminta tanda tangan, tetapi narasi pada kertas tersebut ditutupi. Terdapat kalimat ”kami tidak akan menuntut hak tanah”. Masyarakat disodorkan untuk menandatangani berkas. Proses pembebasan lahan tersebut dilakukan secara bertahap.
”Lama-lama kami jadi tahu ternyata bangunannya saja, tanahnya tidak. Pembongkaran eksekusi tidak manusiawi. Selama putusan pengadilan belum putus tidak dibenarkan melakukan pembongkaran bangunan maupun eksekusi dalam bentuk apa pun, tapi kenyataannya kemarin terjadi serempak,” katanya.
Pemetaan sosial
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengungkapkan, pemerintah dalam menangani relokasi warga, apa pun kepentingannya, selalu tidak sesuai karena tidak ada pemetaan sosial. Kalaupun ada, relokasi tidak dilakukan dengan cermat. Padahal, untuk memindahkan warga, harus mengetahui alternatif katup pengaman sosial, seperti alternatif tempat berteduh, dukungan sosial, dan dukungan ekonomi bagi warga.
”Tidak semua orang punya pertahanan dalam menghadapi gejolak kehidupan. Itulah pentingnya peta pemetaan sosial kalau ada kebijakan yang akan menjadikan gejolak atau pemutusan ritme kehidupan orang per orang. Yang harus dipetakan adalah pemetaan dari orang per orang yang akan terkena kebijakan itu,” katanya.
Menurut dia, penggusuran merupakan kebijakan yang menggampangkan dan tidak mau ribet karena hanya memberikan kompensasi. Tidak dipikirkan apakah uang kompensasi tersebut cukup untuk mendapatkan alternatif tempat tinggal, sekolah, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Idealnya, kebijakan yang diambil mempertimbangkan dampaknya terhadap warga.
Jika ingin mengubah cara penanganannya, kata Imam, minimal saat kebijakan menyasar pada kehidupan warga, maka harus ada tahapan pemahaman kondisi masyarakat. Pemahaman itu untuk mengetahui perbedaan kondisi anggota keluarga, sumber ekonomi, dan kondisi anak yang sekolah.
”Kalau itu dipetakan secara rinci, ketika mau menggusur bisa diperkirakan dampaknya. Dipetakan baru cari solusinya. Lebih bagus lagi kalau solusi dirancang secara partisipatif,” katanya.
Untuk mengajukan pengambilan uang konsinyasi, warga perlu mendapat rekomendasi dari BPN Jakarta Utara. Waktunya bebas asal sudah jelas ada penetapan konsinyasi. Yang mau ambil ke BPN saja, minta pengantar. (Asih Nirbiyanti)
Secara terpisah, Kepala Satuan Kerja Pengadaan Tanah Jalan Tol Wilayah 1 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Asih Nirbiyanti mengungkapkan, sejumlah warga RW 011 mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain sehingga nilai bangunan dan nilai tanah dipisahkan. Nilai tanah dikonsinyasi karena terdapat sengketa pada lahan tersebut. Sebagian nilai bangunan warga ada yang telah dibayarkan secara langsung, tetapi sebagian dikonsinyasi karena tidak sepakat dengan nilai.
Beberapa warga, kata Asih, sudah ada yang mengambil uang kompensasi nilai bangunan yang dikonsinyasi. Sebagian warga masih ada yang belum mengambil karena dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam kaitannya dengan hukum, konsinyasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan sudah ada uang yang dititipkan kepada pengadilan. Konsinyasi terjadi ketika ada seorang penagih utang yang menolak untuk menerima pembayaran dari tertagih hutang.
”Untuk mengajukan pengambilan uang konsinyasi, warga perlu mendapat rekomendasi dari BPN Jakarta Utara. Waktunya bebas asal sudah jelas ada penetapan konsinyasi. Yang mau ambil ke BPN saja, minta pengantar. Kalau ada yang kurang dokumen, mungkin BPN belum bisa kasih pengantar,” kata Asih saat dihubungi Jumat (11/11/2022)