Mudahnya Membeli Senjata Tawuran via Medsos dan Lokapasar
Tak lagi membuat sendiri senjata tajamnya, kini pelajar dengan mudah mendapatkannya dengan mengakses lokapasar dan media sosial. Sosiolog melihat perubahan itu dapat meningkatkan kultur kekerasan di kalangan pelajar.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
DOKUMENTASI HUMAS POLDA BANTEN
Senjata tajam yang digunakan kelompok remaja untuk menyerang sesama remaja hingga terluka di Kabupaten Serang, Banten.
JAKARTA, KOMPAS — Proses pembuatan senjata tajam dengan cara memotong, menempa, memanaskan, dan meruncingkan pelat besi mulai ditinggalkan kalangan pelajar DKI Jakarta untuk tawuran. Di era serba digital ini, mereka beralih membeli senjata bekal tawuran melalui lokapasar atau media sosial.
Oman (32), alumnus salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Jakarta Barat, mengatakan, senjata tajam secara masif digunakan pada tahun 1992. Pada saat itu senjata tajam yang digunakan hanya sebatas perkakas yang mudah diakses dari sekolah, seperti obeng, tang, pemotong kecil (cutter), dan badik (pisau kecil).
”Pada tahun 1995 mulai penggunaan senjata tajam besar, seperti celurit, klewang, dan pedang. Untuk penggunaan celurit masih langka karena sulit mendapatkannya,” ungkapnya, Jumat (4/11/2022).
Bahan pembuatan senjata tajam hanya perlu membeli pelat besi setebal 5 milimeter dengan panjang 3 sampai 5 meter di toko bangunan. Ketebalan 5 milimeter diperlukan karena mudah untuk dipanaskan dan dibentuk. Kemudian pelat besi itu dipotong sesuai dengan ukuran panjang senjata tajam yang diinginkan. Biasanya sepanjang 1 meter.
Ini merupakan kabar buruk. Dalam tingkat yang lebih lanjut, mereka (para pelajar) dapat terjerumus dalam sesuatu yang lebih destruktif dan mematikan seperti bom molotov. (Imam B Prasodjo)
Dengan menggunakan alat seadanya, seperti korek api dan sampah kering, pelat besi dipanaskan. Saat panas, besi lebih mudah untuk dibentuk dan ditempa sesuai keinginan. Bagian badan senjata biasanya tumpul. Hanya pada bagian ujung saja yang diruncingkan menggunakan bantuan pelat besi lainnya.
”Pada saat itu senjata (tajam) masih tumpul sehingga hanya ditujukan untuk melukai lawan. Tidak untuk membunuh hingga tewas,” ujar Oman.
Seluruh proses pengerjaan menggunakan peralatan seadanya dan ilmu yang didapat dari pendidikan SMK. Pembuatan senjata tajam dilakukan di warung atau bengkel tempat barisan siswa (basis) setiap sekolah berkumpul.
Sebagai informasi, basis SMK di Jakarta tersebar menggunakan kode angka yang berasal dari jalur rute bus. Contohnya rute ke Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk SMKN 35 Jakarta menggunakan nama basis 62, sedangkan SMKN 1 Jakarta dan SMAN 1 Jakarta menggunakan nama basis 82.
Selain itu, nama basis juga sering diikuti nama sekolah, tetapi digunakan nama jalan untuk menyamarkan sekolahnya. Seperti SMKN 35 Jakarta lebih dikenal sebagai Kampung Jawa, SMKN 1 Jakarta dan SMAN 1 Jakarta sebagai Boedoet, dan STM Kapal untuk SMKN 29 Penerbangan.
Sauky, salah seorang pelajar kelas III SMK di Jakarta Barat, mengatakan, setiap basis rata-rata berkumpul di warung yang terpencil dan jauh dari jalan utama yang biasa dilalui warga. Beberapa warung kadang dijadikan tempat untuk menyembunyikan senjata tajam.
”Anak SMK di Jakarta biasanya tergabung dalam basis supaya aman. Sebab, kalau pergi dan pulang sendiri, selalu ada yang mengganggu,” ujarnya saat sedang berkumpul dengan basis sekolahnya di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat.
DOK POLRES LUMAJANG
Ilustrasi
Tawuran Kamis dan Jumat
Tawuran antarpelajar rawan terjadi pada hari Kamis dan Jumat. Kamis karena setiap sekolah mengenakan pakaian unik masing-masing sehingga mudah diidentifikasi sekolah lain, sedangkan Jumat karena jam pulang setiap sekolah cenderung bersamaan.
Pada kedua hari itu seolah menjadi kewajiban untuk membawa senjata tajam bagi setiap anggota basis. Seminimal mungkin satu kendaraan bermotor membawa satu celurit saat pergi dan pulang sekolah.
Sejak 2015, pelajar mulai tidak membuat sendiri senjata tajam mereka. Selain merepotkan, menemukan tempat yang aman untuk menyembunyikannya juga sulit.
”Kalau mau membuat sendiri, biasanya di bengkel sekolah karena tersedia pelat besi, gerinda, dan perkakas lain. Kendala utamanya adalah cara untuk membawa senjata tajam tersebut keluar dari sekolah,” ucap Theo, pelajar SMK lainnya.
Oleh karena itu, lebih mudah untuk membeli senjata melalui lokapasar dan media sosial. Kedua perantara itu menyediakan senjata tajam yang beragam dan harga terjangkau, bergantung pada ukurannya.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Theo menunjukkan senjata tajam yang dijual di grup media sosial, Jumat (4/11/2022).
Ukuran 00, sebutan untuk celurit ukuran di atas 1 meter, dapat dibeli paling murah seharga Rp 500.000. Untuk ukuran 01, 02, dan 03 berada di rentang harga Rp 200.000-Rp 500.000 dan berukuran di bawah 1 meter. Celurit yang sering digunakan pelajar berukuran 02 atau 60-70 sentimeter karena muat untuk disimpan di dalam tas.
”Kalau beli dari lokapasar atau media sosial, kami bisa meminta dengan model-model tertentu. Untuk media sosial bahkan hanya perlu bergabung dengan grup-grup,” tambah Theo.
Dari grup media sosial yang ditunjukkan Sauky dan Theo yang bertajuk ”Jual Beli Celurit DKI Jakarta”, mereka menunjukkan interaksi antara pelajar dan penjual di kolom komentar lapak dagangan.
”Beli dari sini (media sosial), langsung diantar BR-nya (sebutan untuk senjata tajam di kalangan pelajar). Sistem pembayarannya biasanya bayar di tempat,” ucap mereka.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Tangkapan layar dari hasil penelusuran di mesin pencari senjata tajam yang dijual bebas di salah satu lokapasar, Jumat (14/10/2022). Sedikitnya 50 akun pedagang pada setiap platform lokapasar menjual senjata tajam dengan ukuran dan harga yang beragam.
Selain itu, senjata tajam yang dibuat sendiri cenderung tidak sempurna dan tumpul sehingga kurang efektif, sedangkan beli di lokapasar atau media sosial lebih tajam dengan desain lebih menarik.
Penelusuran pada 16 Oktober 2022 menemukan sedikitnya 50 akun pedagang pada setiap platform dari lima lokapasar yang menjual senjata tajam. Harga tiap senjata tajam berkisar Rp 30.000 hingga Rp 2,5 juta tergantung dari biaya produksi, orisinalitas, dan kekuatan. Untuk ukuran, berkisar dari 40 sentimeter hingga 110 sentimeter.
Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, peralihan dari membuat senjata secara manual ke membeli melalui lokapasar merupakan peningkatan kultur kekerasan di kalangan pelajar. Hal ini berarti akses mereka ke senjata tajam makin terbuka lebar.
”Ini merupakan kabar buruk. Dalam tingkat yang lebih lanjut, mereka (para pelajar) dapat terjerumus dalam sesuatu yang lebih destruktif dan mematikan seperti bom molotov,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo
Hal-hal yang berbau kekerasan semakin hari akan dianggap wajar bagi sejumlah kalangan pelajar. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan sistematis dan terstruktur dari pemangku kebijakan.
Pendekatan yang bisa dilakukan adalah secara nonformal, yakni lingkungan sekitar terlibat langsung dalam aktivitas pelajar. Hal ini diperlukan mengingat pendekatan formal dari kepala dinas atau otoritas terkait hanya efektif beberapa hari, ke depannya balik seperti biasa.
Ketentuan tentang senjata tajam diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan pelarangan menggunakan senjata tajam untuk mengancam dan menganiaya. Pasal itu juga melarang seseorang membawa senjata tajam untuk melindungi diri.