Penyandang disabilitas masih tertinggal dalam menjangkau pelatihan dan lapangan kerja di era serba digital ini karena minim akses ataupun layanan teknologi dan informasi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Senyum merekah dari wajah puluhan tamu undangan di lantai 7 salah satu gedung di Jakarta Pusat. Mereka silih ganti bertanya tentang manfaat ataupun memberikan saran agar forum khusus bagi mereka kian inklusif.
Pemandu acara di sayap kanan ruangan secara perlahan menerjemahkan bahasa tubuh salah satu tamu undangan. Tamu wanita ini memberikan saran agar ada tambahan supaya forum lebih ramah pengguna. Sebaliknya seorang pemandu di sayap kiri ruangan mengartikan terjemahan ke dalam bahasa tubuh bagi tamu undangan lainnya.
"Bukan sekadar hanya seremoni belaka. Jadi gerakan yang berujung ramah disabilitas dan kesetaraan. Validasi penting tapi harus berkesinambungan," tutur Genta Senjaya (26), penyandang disabilitas fisik karena cerebral palsy yang menyebabkan gangguan gerakan, otot, dan kognitif, Jumat (4/11/2022).
Pagi itu, Genta dan teman-teman sesama penyandang disabilitas tengah berdiskusi tentang inisiatif Rumah Digital untuk Disabilitas. Inisiatif yang berangkat dari realita bahwa penyandang disabilitas masih tertinggal dalam pelatihan dan lapangan kerja di era serba digital.
Ada 7,04 juta pekerja dengan disabilitas (5,37 persen) dari total pekerja yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2021. Jumlah itu menurun ketimbang 7,67 juta pekerja dengan disabilitas (5,98 persen) pada tahun 2020.
Mayoritas penyandang disabilitas atau sebanyak 2,06 juta orang berusaha sendiri pada tahun 2021. Jumlah itu menurun ketimbang 2,15 juta orang pada tahun 2020. Para pekerja dengan disabilitas yang tercatat berusia 15 tahun ke atas. Mereka mengalami gangguan fisik, gangguan mental, ataupun keduanya.
"Saya termasuk beruntung masuk ke sekolah umum. Teman-teman (disabilitas) lain tertinggal akses pendidikannya. Susah mau jadi karyawan. Implementasi undang-undang juga belum merata," ucapnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan perusahaan swasta untuk memperkerjakan minimal 1 persen difabel dari total pekerja, sedangkan badan usaha milik negara sebanyak 2 persen.
Genta yang sudah mengantongi ijazah magister sempat kesulitan mencari pekerjaan. Berkat upaya dan bantuan komunitas, ia diterima sebagai dosen di Sekolah Tinggi Khonghucu Indonesia, Jawa Tengah dan kini tengah melanjutkan studi di Ibu Kota.
Dari pengalaman itu, ia mengharapkan adanya penyesuaian pelatihan atau lowongan kerja bagi penyandang disabilitas. Salah satunya batasan usia yang menghambat karena banyak disabilitas terlambat mengenyam bangku pendidikan.
"Usia produktif penyandang disabilitas ada dalam rentang 16-49 tahun. Mereka punya potensi masing-masing," ujar Sita (44), perwakilan dari Yayasan Disabilitas Indonesia Satu.
Kesempatan
Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa mendata ada 700 juta penyandang disabilitas di Asia Pasifik. Akan tetapi, hanya satu dari empat difabel yang bekerja dan mayoritas di sektor informal.
Rasio pekerja difabel lebih kecil ketimbang pekerja nondisabilitas. Di Asia pasifik, rasio pekerja difabel perempuan terhadap jumlah penduduk rata-rata 17 persen, sedangkan laki-laki 31,3 persen. Adapun rasio pekerja perempuan nondisabilitas terhadap jumlah penduduk adalah 50 persen dan laki-laki 74,7 persen (Kompas, 19 Oktober 2022).
Asep Ridwan (24), penyandang disabilitas asal Kuningan, Jawa Barat ini mengalami gangguan pendengaran dan bicara. Ia sempat mengenyam bangku pendidikan sekolah luar biasa. Namun, tak sampai tuntas sehingga lebih banyak beraktivitas di rumah.
Belakangan, Asep merantau ke Jakarta. Ia mengikuti jejak keluarganya yang membuka warung makanan dan minuman. "Sempat kerja di bengkel. Tidak begitu mahir, belajar otodidak jadi bisa sedikit-sedikit. Bosan di kampung jadi nyusul ke sini," kata Eneng, sepupu Asep.
Disabilitas bisa jadi prioritas supaya tidak tertinggal lagi. Bukan hanya program charity (amal), tapi waktunya untuk tingkatkan potensi diri disabilitas
Asep tak begitu mahir menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, ia bisa baca dan tulis, serta menggunakan gawai untuk berkomunikasi. Tugasnya mengangkat piring dan gelas setelah pelanggan selesai makan dan minum atau pulang ke rumah. Hanya sesekali, ia berinteraksi dengan pelanggan.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Deka Kurniawan, menuturkan, dibutuhkan komitmen untuk mewujudkan amanat dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Wujudnya melalui progran kreatif dan inisiatif yang berdampak, seperti Rumah Digital untuk Disabilitas.
Inisiatif tersebut melahirkan platform Productive+ sebagai wadah bagi penyandang disabilitas melek teknologi dan informasi serta berdaya secara ekonomi. Productive+ berkolaborasi dengan FELLO sebagai platform pembayaran digitial guna memudahkan penyandang disabilitas dalam transaksi digital, terutama ketika bermobilitas.
”Filosofi rumah adalah tempat aman dan nyaman. Di situ mereka (penyandang disabilitas) bisa menyalurkan potensi diri, kolaborasi, dan banyak manfaat,” katanya.
Productive+ mewujud dalam laman dan aplikasi sebagai forum penyandang disabilitas. Sebanyak 42.000 penggunanya saban hari berinteraksi tentang pelatihan kerja, lowongan pekerjaan, pusat informasi disabilitas, dan topik umum.
”Disabilitas bisa jadi prioritas supaya tidak tertinggal lagi. Bukan hanya program charity (amal), tapi waktunya untuk tingkatkan potensi diri disabilitas,” ucap Angkie Yudistia, inisiator Rumah Digital untuk Disabilitas.
Angkie sebagai Staf Khusus Presiden Joko Widodo merupakan pegiat isu-isu penyandang disabilitas. Sebelumnya ia mendidirikan Thisable Enterprise untuk memberdayakan kelompok disabilitas agar mampu dan terampil serta menyalurkan mereka ke dunia kerja. Upaya tersebut telah memberikan 7.500 pelatihan dan menyalurkan 700 penyandang disabilitas ke dunia kerja.