Hanya Sampah yang Tersisa di Laut Kami
Warga Pesisir Muaragembong, Kabupaten Bekasi, memanen dampak kerusakan pesisir Teluk Jakarta. Ikan di lautan mereka menghilang dan berganti sampah plastik.
Lisa (53) terengah-engah saat muncul dari belakang rumahnya, di Kampung Muarajaya, Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Perempuan itu memikul sebuah karung terisi penuh sampah plastik.
"Angin lagi kencang. Anak-anak susah dapat ikan. Kalau tidak cari sampah, kami makan apa," kata perempuan lima orang anak itu, Kamis (27/10/2022) pagi.
Perempuan telah lewat separuh baya itu merupakan satu-satunya warga terakhir yang masih tinggal di Kampung Muarajaya. Kampung itu sejal awal 2000-an telah ditinggal seluruh penduduk. Warga pergi dari kampung itu akibat abrasi.
Lisa pagi itu, baru kembali dari laut usai hampir dua jam memungut beragam sampah plastik yang bernilai rupiah. Area pencarian sampah berada persis di tepi Teluk Jakarta yang dipadati mangrove.
Bibir pantai meski padat dengan mangrove, pantai yang sejatinya berpasir, sudah tak lagi terlihat. Hanya beragam sampah plastik yang menumpuk membentuk daratan di bibir pantai.
Di pesisir pantai Kampung Muarajaya itu pula, sejumlah warga mondar-mandir mengunakan perahu. Perahu-nelayan yang mondar-mandir sore itu tak untuk mencari ikan. Warga justru berlomba-lomba memungut sampah plastik yang terombang-ambing terbawa arus gelombang.
Berbeda dengan warga lain, Lisa memungut sampah dengan berjalan kaki menyusuri pesisir pantai hingga radius ratusan meter. Tubuhnya yang telah renta jadi salah satu alasan dia tak lagi menggunakan perahu saat mencari sampah.
Baca juga: Dua Jam Berperahu Merekam Kehidupan Pesisir Jakarta-Bekasi
Sampah yang dikumpulkan Lisa biasanya dijual ke pengepul dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Setiap minggu, uang yang didapatkan dari menjual sampah plastik rata-rata sebesar Rp 50.000.
Uang tersebut digunakan untuk membeli beras hingga air galon. Satu galon air minum dibeli warga dengan harga Rp 7.000. Air galon tersebut dipasok dari luar Muaragembong termasuk dari Jakarta.
Warga di Kampung Muarajaya dan Kampung Muara Gembong wilayah Desa Pantai Mekar dan Desa Pantai Sederhana, Kecamatan Muaragembong, Bekasi, memang sudah tak menggunakan air tanah atau air sungai untuk keperluan mandi hingga memasak. Ini terjadi lantaran kualitas air tanah dan air sungai di tempat itu sudah tak laik konsumsi atau tercemar.
Berkawan sampah
Sampah dengan jumlah besar yang dipungut warga di Desa Pantai Mekar dan Desa Pantai Bahagia, Muaragembong, disebut berasal dari saluran Cikarang Bekasi Laut. Sebagian sampah plastik disebut berasal dari Jakarta dan sampai ke pesisir Muaragembong akibat tiupan angin dan hempasan ombak.
"Apalagi kalau musim hujan, itu sampahnya banyak sekali. Air laut warnanya hitam dan bau. Ikan banyak sekali yang mati," kata Lisa.
Ikan yang mati itu tak terhitung jumlahnya. Warga setempat saling berebutan mengumpulkan beragam jenis ikan yang mati itu, lalu dikeringkan sebelum dijual ke pasar.
Desa Pantai Sederhana dan Desa Pantai Mekar, di Kecamatan Muaragembong, Bekasi, letaknya hanya dipisahkan salah satu anak Sungai Citarum. Warga di dua desa itu juga sebagian besar bekerja sebagai nelayan.
Baca juga: Terperangkap di Teluk Jakarta, Dampak Buruk Sampah Plastik Makin Berlipat
Keseharian mereka sebagai nelayan itu terlihat dengan bersandarnya ratusan perahu nelayan di kiri dan kanan anak Sungai Citarum. Warga di dua desa tersebut juga setiap pagi hingga malam hari, masih mondar-mandir melintasi Sungai Citarum menuju ke laut untuk menjaring ikan.
Namun, kehidupan sebagai nelayan yang seharusnya berlimpah ikan, udang, kepiting, dan aneka hasil laut lainnya sulit dijumpai di sana, dari Rabu (26/10/2022) hingga Jumat (28/10/2022) pagi. Tak banyak nelayan yang kembali dari laut dengan wajah sumringah.
Dedy, salah satu nelayan Desa Pantai Mekar, misalnya, sudah hampir berbulan-bulan tak lagi melaut. Dedi memilih mencari rongsokan atau sampah plastik di pantai hingga bekerja serabutan.
"Kami sekarang kerja serabutan. Apa yang ada, bisa dikerjakan, ya, kami kerjakan," katanya.
Dedi sudah tak sanggup untuk melaut lantaran dia lebih sering pulang dari laut dalam kondisi kosong. Padahal, saat berangkat ke laut, mereka harus mengutang bahan bakar minyak, kopi, hingga rokok.
Sekali melaut, utang yang menumpuk di warung bisa mencapai Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Pengeluaran terbesar untuk membeli bensin sebanyak 15 liter sampai 20 liter. "Kami pakai pertalite eceran. Sejak harga BBM naik, satu liter pertalite itu harganya Rp 14.000," ucapnya.
Nelayan memang hidup dari apa yang disediakan dari laut. Makanya, kalau laut lagi seperti ini, sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Di sini memang ada tambak, tetapi hanya orang-orang tertentu, orang dari kota punya
Tandi, salah satu staf Bidang Kelautan Desa Pantai Mekar, menyebut, sebagian besar nelayan di desanya selama enam bulan terakhir sudah tak lagi melaut. Nelayan lebih banyak merugi sejak harga rajungan anjlok.
Harga rajungan di tingkat nelayan saat ini Rp 18.000 per kilogram atau anjlok dari harga Rp 80.000 per kilogram. Padahal, nelayan di Desa Pantai Mekar dan Pantai Sederhana selama bertahun-tahun hidup dan berjaya dari rajungan.
"Nelayan memang hidup dari apa yang disediakan dari laut. Makanya, kalau laut lagi seperti ini, sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Di sini memang ada tambak, tetapi hanya orang-orang tertentu, orang dari kota punya," katanya.
Sampah Teluk Jakarta
Sampah di pesisir Muaragembong yang disebut warga sebagian berasal dari Saluran Cikarang Bekasi laut (CBL) sebenarnya tidak mengagetkan. Di tepi saluran CBL, tepatnya di Desa Sumberjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, ada tempat pembuangan sampah ilegal sepanjang 1,3 kilometer. Tempat sampah ilegal itu sudah ditutup permanen oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi pada Januari 2022, (Kompas, 29/1/2022).
Tempat sampah di tepi CBL itu pernah menjadi sorotan Sungai Watch. Lembaga nonprofit itu dalam salah satu unggahan di Instagram pada 23 Januari 2022, bahkan menyebut bahwa sampah di tempat itu merupakan tempat pembuangan sampah ilegal terbesar di Indonesia.
Secara umum, dari berbagai hasil riset, menunjukkan, kalau sampah yang masuk ke Teluk Jakarta (termasuk pesisir Muaragembong) mencapai puluhan ton per hari. Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, misalnya, menulis, setiap hari rata-rata 97.098 buah sampah masuk ke Teluk Jakarta dari sembilan sungai, dengan bobot rata-rata 23 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 59 persen merupakan sampah plastik (Scientific Reports, 10/12/2019).
Hasil riset sebelumnya yang ditulis Haifa H Jasmin dan kawan-kawan (Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis IPB University, April 2019), menginformasikan, kecepatan arus permukaan laut di Teluk Jakarta tergolong rendah, yaitu 0-4 meter per detik. Anggota tim penulis riset itu, Widodo S Pranowo, mengatakan, kondisi itu terjadi karena arus yang dominan di Teluk Jakarta adalah arus yang dibangkitkan oleh pasang dan surut.
”Karena arusnya hanya bolak-balik, material sampah akan tersangkut di pantai utara Jakarta, terjebak,” ucap Widodo yang juga peneliti pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, (Kompas, 12/12/2019).
Dampak nyata pencemaran teluk Jakarta yang kritis sudah dirasakan warga di Pesisir Muaragembong, Bekasi. Ikan di laut telah hilang berganti sampah. Mereka bertahan hidup berselimut kecemasan. Ancaman lain, berupa abrasi terus terjadi di depan mata.