Dua Jam Berperahu Merekam Kehidupan Pesisir Jakarta-Bekasi
Pelayaran rakyat penghubung Jakarta-Bekasi sudah ada sejak 1970-an. Setelah 50 tahun, jalur transportasi publik itu mulai ditinggalkan karena orientasi pembangunan yang terlalu fokus pada daratan.
Menggapai Jakarta dengan perahu sudah dikenal warga Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sejak 1970-an. Setelah lebih dari 50 tahun, pelayaran rakyat Jakarta-Bekasi tak lagi menarik dan mulai ditinggalkan warga. Kendaraan bermotor menjadi pilihan warga meskipun belum semua infrastruktur darat di wilayah paling ujung Bekasi itu memadai.
Laut di pesisir Jakarta sedang tak bersahabat saat sebuah perahu motor bertolak meninggalkan dermaga nelayan Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (26/10/2022) siang. Perahu itu mengangkut lima penumpang.
”Waktunya pulang, ya, pulang. Ada penumpang atau tidak, perahu ini harus kembali,” kata Misar (50), nakhoda perahu tersebut.
Perahu biru langit berkapasitas 20 orang itu bertolak meninggalkan dermaga nelayan Cilincing dengan membawa muatan galon air minum, jeriken berisi bahan bakar minyak, dan es batu. Perjalanan pulang yang biasanya ditempuh dalam kurun waktu paling lama 1 jam 30 menit kali ini terasa lebih lama.
Perahu tersebut harus berjuang menghadapi hantaman gelombang yang cukup deras. Misar berkali-kali menggerakkan kemudi ke kiri dan kanan menghindari hantaman ombak yang lebih dahsyat.
Selama sekitar dua jam terombang-ambing di lautan, penumpang disuguhi pemandangan pesisir khas Jakarta. Sepanjang daerah pesisir itu, perahu motor bertemu dengan kapal-kapal besar yang membawa beragam muatan, mulai dari batubara hingga peti kemas. Pemandangan itu dilengkapi dengan beragam sampah plastik yang kerap ditemui terombang-ambing di lautan keruh.
Pemandangan daerah pesisir perlahan berubah saat perahu motor dengan nama Sinar Ada itu mulai mendekati Muaragembong. Pesisir Muaragembong tampak hijau dengan beragam tanaman mangrove yang tumbuh membentuk pagar hidup. Di pesisir itu pula, perahu-perahu nelayan mondar-mandir menjaring ikan, udang, hingga sampah yang masih bernilai rupiah.
Baca juga : Abrasi dan Penurunan Muka Tanah Ancaman Nyata Pesisir Muaragembong
Perahu itu kemudian terus berlayar mendekati perumahan warga yang berdiri berjejer di kiri dan kanan salah satu muara anak Sungai Citarum di pesisir Teluk Jakarta. Perahu tersebut tak langsung berlabuh di dermaga Muaragembong yang berada di Kampung Muara Gembong, Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muaragembong.
Namun, terlebih dahulu penumpang diantar ke rumah masing-masing. Rumah mereka dibangun membelakangi tepi kiri dan kanan Sungai Citarum. Setiap orang yang turun dari perahu membayar Rp 25.000 sebagai tarif untuk sekali perjalanan.
Delapan perahu
Perahu motor yang dikemudikan Misar merupakan satu dari delapan perahu yang setiap hari pergi-pulang mengantar warga dari Muaragembong ke Jakarta. Dua perahu tiap pagi berlayar dari dermaga Kampung Muara Gembong dan enam perahu lain berlayar dari Kampung Muara Bendera, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong.
Jarak tempuh pelayaran dari Kampung Muara Gembong ke Jakarta paling cepat 1 jam hingga 1 jam 30 menit. Pelayaran dari Kampung Muara Bendera ke Jakarta paling cepat 2 jam hingga 2 jam 30 menit.
”Pelayaran rakyat ini sudah ada sejak 1970-an. Dulu itu, perahu-perahu kami bersandar di Kali Baru (Cilincing),” kata lelaki yang sudah jadi pengemudi perahu sejak masih berusia 14 tahun itu.
Tempat bersandar perahu di Jakarta kemudian pada 1985 berpindah dari Kali Baru ke dermaga nelayan Cilincing dan masih bertahan di sana hingga hari ini. Namun, kondisi transportasi tradisional itu sudah tak lagi menarik minat warga.
Setiap hari, warga yang menggunakan perahu ke Jakarta tak sampai 10 orang atau berkisar empat sampai enam orang. Mereka yang masih setia menggunakan perahu rata-rata hanya para pelele (tengkulak ikan) yang mengumpulkan ikan dari para nelayan di Kampung Muara Gembong. Jumlah pelele di Kampung Muara Gembong juga kian berkurang seiring terus berkurangnya tangkapan nelayan.
Baca juga : Menyusuri Jalan Makadam Menuju Ujung Muaragembong
”Satu hari, pergi-pulang paling hanya empat sampai enam orang. Dulu, di 1990-an, sekali jalan itu bisa sampai 30 orang,” kata Misar, warga yang tinggal di Desa Pantai Sederhana, Muaragembong, itu.
Berkurangnya penumpang dari Kampung Muara Gembong berdampak signifikan terhadap pendapatan pengemudi dan pemilik perahu. Uang jasa angkut penumpang dan pelele kerap habis untuk bahan bakar perahu yang mencapai 20-25 liter untuk setiap perjalanan pergi-pulang.
Beralih ke darat
Ina (53), salah satu pelele asal Muaragembong, mengatakan, dirinya selama 20 tahun terakhir masih setia menggunakan perahu. Tarif angkutan perahu dinilai lebih murah. Ongkos sekali perjalanan dari Kampung Muara Gembong ke Cilincing dengan membawa ikan atau udang dengan berat minimal 100 kilogram sebesar Rp 100.000.
”Ikan-ikan dari sini dulu jualnya di Cilincing. Tetapi, makin ke sini, setelah jalan mulai bagus, warga sudah tidak banyak pakai perahu,” kata ibu tujuh anak tersebut.
Warga tak lagi tertarik menggunakan perahu lantaran banyak pengepul yang mendatangi nelayan di Kampung Muara Gembong menggunakan sepeda motor. Mobilitas warga di Muaragembong kini juga mengutamakan kendaraan bermotor seiring membaiknya infrastruktur darat di wilayah Kecamatan Muaragembong.
Kondisi berbeda terjadi di Kampung Muara Bendera, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong. Di desa itu, para nelayan masih bergantung pada perahu motor untuk menjual tangkapan di laut ke Jakarta.
Menurut Mamin (45), salah satu pengepul ikan dan udang di Kampung Muara Bendera, saat ditemui pada Kamis (27/10/2022), para pengepul ikan di kampung tersebut masih mengandalkan perahu motor untuk mengantar ikan atau udang dari para nelayan ke Jakarta. Udang dan ikan yang dikumpulkan dari nelayan sehari bisa mencapai 5 ton.
”Ikan dari sini biasanya dijual ke Muara Angke dan Kali Baru. Kalau lagi musim, satu hari saja, ikan yang masuk Jakarta bisa sampai 5 ton. Itu ikan tangkapan dari 1.500 nelayan di Muara Bendera,” katanya.
Dukungan pemerintah
Pelayaran rakyat Jakarta-Bekasi di Kampung Muara Gembong sejatinya diawasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Di dermaga Kampung Muara Gembong, setiap pagi, sebelum perahu berlayar, petugas dari Dinas Perhubungan Jawa Barat terlebih dahulu mendata jumlah penumpang dan mengecek alat kelengkapan kapal.
”Tugas kami hanya pengecekan dan pendataan penumpang karena dermaga Muara Gembong ini milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kami juga memberi imbauan agar perahu yang berangkat ke Jakarta berhati-hati saat cuaca buruk dan gelombang tinggi,” kata Toni Ferry, petugas Dinas Perhubungan Jawa Barat di dermaga Muara Gembong, Jumat (28/10/2022) pagi.
Warga Bekasi yang tinggal di Muaragembong seharusnya difasilitasi untuk mengurangi beban di jalan raya. Tetapi, ini dilupakan.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno, meredupnya pelayaran rakyat Jakarta-Bekasi tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang fokus membangun dan menata transportasi publik di darat, tetapi lupa dengan transportasi di laut. Pelayaran alternatif penghubung Jakarta-Bekasi seharusnya dipertahankan dan mendapat perhatian dari pemerintah.
”Warga Bekasi yang tinggal di Muaragembong seharusnya difasilitasi untuk mengurangi beban di jalan raya. Tetapi, ini dilupakan,” kata Djoko pada Senin (31/10/2022) sore.
Djoko meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menata dan memfasilitasi pelayaran rakyat Jakarta-Bekasi yang telah dikenal warga sejak puluhan tahun lalu. Pemerintah bisa hadir dengan menyediakan perahu-perahu motor yang laik jalan dan memenuhi standar keselamatan pengangkutan penumpang.
”Kalau perahunya bagus, fasilitasnya lengkap, standar keselamatannya terpenuhi, warga bakal tertarik untuk kembali menggunakan perahu. Ini bisa disubsidi. Jadi, subsidi itu bukan hanya di darat, tetapi di laut juga perlu disubsidi,” ucap Djoko.