Masih banyak keluarga miskin yang belum menerima bantuan sosial. Penghematan anggaran perlu dilakukan agar dapat dialokasikan pada upaya pengentasan warga dari kemiskinan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengentasan warga dari kemiskinan melalui penyaluran bantuan sosial atau bansos pada kelompok rentan hingga kini belum menyentuh seluruh penduduk miskin di DKI Jakarta. Bansos yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih terbatas oleh kuota dan anggaran yang tersedia.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahun. Mulai dari 365.550 jiwa pada 2019 ke 480.860 jiwa pada 2020, kemudian mencapai 501.920 jiwa pada 2021.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) DKI Jakarta Puspa Yunita, program pelindungan sosial yang berjalan belum berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin. Pemerintah DKI Jakarta dinilai perlu untuk memperluas cakupan penerima bansos.
”Bantuan sosial, seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ), dan Kartu Anak Jakarta (KAJ), masih banyak yang belum diterima keluarga miskin,” ujarnya, Rabu (26/10/2022).
Pada kegiatan bertajuk "Aksi Silaturahmi Warga Miskin dengan Penjabat Gubernur DKI Jakarta" kemarin di depan Kantor Gubernur DKI Jakarta, mereka menuntut tiga hal utama agar terwujud reformasi perlindungan sosial untuk rakyat miskin Jakarta. Ketiganya, yaitu memperluas cakupan penerima bansos, pelibatan warga miskin dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan, dan menindaklanjuti perihal 1.728 warga yang belum mendapat bansos.
Kuota penerima bantuan akan diusahakan meningkat setiap tahun. Selain itu, perombakan data terus dilakukan setiap tiga bulan.
Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Ika Yuli Rahayu mengakui, belum semua warga yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menerima bantuan sosial. Hal ini karena terbatasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk dinas sosial khususnya bagian bansos kesejahteraan sosial sehingga mengakibatkan terbatasnya kuota penerima bansos.
”Kuota penerima bantuan akan diusahakan meningkat setiap tahunnya. Selain itu, perombakan data terus dilakukan setiap tiga bulan. Penerima yang sudah meninggal, berpindah domisili, dan tidak memenuhi syarat, akan diganti dengan warga yang lebih laik menerima,” ujarnya kemarin.
Berdasarkan data Dinas Sosial DKI Jakarta, total penerima KLJ sebanyak 104.448 orang, KPDJ 14.230 orang, dan KAJ 10.553 orang. Penerima KLJ mendapat bantuan Rp 600.000 per bulan, sedangkan KPDJ dan KAJ menerima Rp 300.000 per bulan.
Total APBD Dinas Sosial DKI Jakarta tahun 2022 untuk bansos kesejahteraan sosial sebesar Rp 5,19 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 6,2 persen dari total APBD DKI Jakarta tahun 2022 yang berjumlah Rp 82,47 triliun.
”APBD DKI Jakarta (tahun 2022) tidak akan ada perubahan. Anggaran program yang darurat dan mendesak akan dimasukkan dalam anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Sehingga tidak ada APBD Perubahan 2022,” ucap Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.
Meskipun demikian, usulan APBD DKI Jakarta tahun 2023 sedang dibahas dan masih dalam tahap pembahasan poin-poin. Menurut dia, permasalahan DKI Jakarta yang lainnya akan dikoordinasikan pada dinas-dinas terkait.
Berhemat
Secara terpisah, Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Justin Adrian, mengatakan, tahun depan akan dilakukan penghematan anggaran agar dapat dialokasikan pada upaya pengentasan warga dari kemiskinan. Hal itu dinilai perlu untuk memperbesar kapasitas penerima bansos.
”Namun, hal itu juga bergantung pada realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun depan. Penghematan tersebut juga perlu pertimbangan jangka panjang,” ujarnya.
Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium (UPC) Gugun Muhammad, menyebutkan, pengentasan warga dari kemiskinan dengan bansos tunai tidak membantu penanggulangan kemiskinan. Lebih baik anggaran dialihkan pada bantuan yang bersifat produktif seperti koperasi atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Selain itu, warga miskin juga perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait mereka. Hal ini diperlukan untuk memahami situasi sebenarnya tentang kebutuhan mereka. ”Keterlibatan warga miskin biasa masih minim dalam pengambilan keputusan. Hanya lurah, ketua RT, ketua RW, dan tokoh masyarakat yang sering terlibat,” ujarnya.