Pasien Rujukan Rumah Sakit Kanker di Jakarta Memerlukan Rumah Singgah
Pasien kanker dari luar Jakarta berharap adanya rumah singgah di rumah sakit rujukan. Mereka yang kurang mampu terpaksa tinggal di rumah singgah mandiri, kos, dan kontrakan meskipun terkendala biaya.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien rujukan rumah sakit khusus kanker di Jakarta mengharapkan adanya rumah singgah yang disedikan pihak rumah sakit bagi mereka dan pendamping. Hingga saat ini, sejumlah pasien kanker dan pendamping yang berasal dari luar Jakarta terpaksa tinggal di rumah singgah mandiri, indekos, dan kontrakan di sekitar rumah sakit untuk sementara waktu.
Salah satu rumah sakit khusus kanker RS Kanker Dharmais, Kota Bambu, Jakarta Barat, tidak tersedia layanan rumah singgah untuk pasien dan pendamping. Kebanyakan pasien kanker yang berasal dari luar Jakarta hingga Pulau Jawa tinggal di rumah singgah mandiri, indekos, dan kontrakan.
”Saya berharap sekali ada rumah singgah di RS Dharmais, karena ini rumah sakit rujukan kanker terbesar, tapi tidak punya rumah singgah. Sejauh ini saya hanya mengandalkan kebaikan pengurus rumah singgah ini supaya boleh tinggal tanpa membayar,” kata Osten L Tobing (57), pasien kanker RS Dharmais saat ditemui di Rumah Singgah Hati Mulia, RT 001 RW 009, Kota Bambu, Jakarta Barat, Selasa (25/10/2022).
Osten L Tobing, pasien kanker dari RS Dharmais, tinggal di Rumah Singgah Hati Mulia sejak 5 Maret 2022. Osten merupakan pasien kanker tenggorokan yang dirujuk dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batam dan didampingi istrinya, Flora (48).
Di rumah singgah tipe 35, berukuran sekitar 36 meter persegi, Osten dan Flora tinggal dengan delapan orang lainnya, yakni empat pasien kanker tenggorokan, serviks, dan payudara, serta empat pendamping. Mereka tinggal di rumah singgah mandiri yang diurus oleh kelompok warga yang sengaja menyewa salah satu rumah untuk membantu pasien yang tidak mampu menyewa indekos atau kontrakan.
Martina (39) dan Ami Amalia (32), pasien kanker payudara dan serviks, juga membutuhkan rumah singgah di RS Dharmais. Keduanya berasal dari luar Pulau Jawa, yakni dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, serta Palembang, Sumatera Selatan. Mereka tidak mampu jika harus membayar sewa indekos atau rumah kontrakan sendiri.
”Sejak datang ke sini, 24 Agustus 2021, saya tidak memiliki pendamping, saya hidup sendiri mengandalkan rumah singgah ini saja. Saya akan sangat senang kalau RS Dharmais bisa memberi kami rumah singgah,” kata Martina.
Menurut Martina, Rumah Singgah Hati Mulia berukuran sangat kecil dan sempit sehingga tidak nyaman tinggal bersama sembilan orang lainnya. Namun, Martina terpaksa tinggal demi bertahan hidup dan dapat fokus melakukan kemoterapi secara rutin.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ami Amalia, pasien kanker serviks yang rutin melakukan kemoterapi tiga bulan sekali. Rumah yang hanya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi itu tidak mampu menampung pasien dan pendamping. Meksipun begitu, Ami mencoba bertahan hingga nanti diperbolehkan kembali ke daerah asalnya jika pengobatan sudah selesai.
”Kami, kadang tujuh atau delapan orang tidur di lantai ini (ruang tamu) dengan beralaskan karpet saja, sisanya tidur di dalam kamar. Kalau pemerintah membangun rumah singgah tentu akan sangat nyaman,” kata Ami.
Perlu dipertimbangkan
Marlina Mayasari (43), pasien tumor otak yang berasal dari Citeureup, Bogor, Jawa Barat, terpaksa menyewa kamar indekos bersama keponakannya demi melakukan pengobatan rutin di RS Dharmais. Marlina merasa tidak ada pilihan lain sebab rumah singgah mandiri dinilai tidak mampu lagi menerima pasien.
”Saya terpaksa sewa kamar kos sejak sebulan lalu karena tidak ada pilihan lain. Harusnya, pemerintah mempertimbangkan pembangunan rumah singgah karena kasihan juga pasien yang seperti saya dan yang di rumah singgah mandiri itu. Saya keuangannya terbatas untuk bayar indekos Rp 1,2 juta per bulan, besok bahkan saya akan pindah ke indekos seharga Rp 700.000 per bulan,” kata Marlina saat ditemui di kamar kos berukuran 4 meter x 3 meter, RT 001 RW 009.
Peneliti dan Koordinator Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan adanya rumah singgah di RS Dharmais sebagai rumah sakit kanker rujukan. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk pelayanan terhadap pasien kanker dari luar Jakarta, khususnya luar Pulau Jawa.
”Pasien kanker di RS Dharmais Jakarta perlu dibuatkan rumah singgah oleh pemerintah dan rumah sakit. Mereka datang dari RSUD di luar Jakarta bahkan Pulau Jawa, lalu dirujuk ke sini tanpa ada rumah singgah, kasihan kalau masih harus menghadapi masalah rumah singgah mandiri yang sempit dan biaya sewa tempat tinggal,” katanya, Selasa.
Menurut Lucius, rumah singgah seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan legislatif. Pelayanan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan yang menderita semestinya diprioritaskan.
Sejauh ini, keberadaan rumah singgah mandiri merupakan bentuk inisiatif warga sekitar akan kebutuhan tempat tinggal pasien kanker tanpa perlu memikirkan biaya sewa.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Idris Ahmad, mengatakan, ada rencana pembangunan rumah singgah di sejumlah rumah sakit yang menangani penyakit khusus, salah satunya RS Dharmais. Namun, hingga saat ini terdapat kendala dalam merealisasikan rencana tersebut.
”Kami sudah sempat merencanakan pembangunan ini, tapi masih terkendala oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya diskusi dengan pemerintah daerah dan pusat serta perusahaan non-profit (NGO). Kedua, tidak adanya lahan untuk pembangunan. Ketiga, kurangnya anggaran,” katanya.
Menurut Idris, solusi untuk jangka pendek terkait rumah singgah adalah adanya kerja sama pemerintah pusat dengan perusahaan atau yayasan non-profit. Selain itu, perlu adanya percepatan pembangunan rumah singgah di sejumlah rumah sakit khusus di DKI Jakarta.