Wajah pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, perlahan menghijau oleh mangrove. Keberadaannya meredam laju abrasi dan menyelamatkan mata pencarian warga.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Aneka jenis mangrove memenuhi Ketapang Aquaculture di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Tingginya mulai dari puluhan sentimeter hingga 4 meter. Kawasan seluas 14,5 hektar itu secara perlahan tetapi pasti menjadi sabuk hijau yang meredam laju abrasi sekaligus mengembalikan kualitas air sehingga tambak warga kembali produktif.
”Abrasi mulai tahun 1990 setelah pengambilan pasir untuk urukan pembangkit listrik Suralaya. Dulu masih ada kebun semangka punya peranakan Tionghoa, tapi sudah jadi air semua,” kata Tata (62), warga Kampung Pelelangan, Desa Ketapang, Kamis (20/10/2022) siang.
Desa Ketapang seluas 26,9 hektar merupakan salah satu kawasan kumuh di pesisir Kabupaten Tangerang. Abrasi telah menggerus sebagian lahan dan tambak udang ataupun bandeng milik warga, seperti di Kampung Pelelangan.
Tata yang bermukim di tempat itu sejak tahun 1977 mengalami ragam perubahan lingkungan tersebut. Mulai dari tahun 1980 tatkala masih banyak mangrove yang tumbuh secara alami hingga tahun 2015 warga mulai kembali menanam mangrove sebagai imbas kerusakan lingkungan.
”Tahun 1980 ada mangrove, tapi tidak terlalu dipelihara warga. Setelah abrasi, hasil tambak berkurang, baru mulai lagi pemerintah ajak tanam mangrove,” ucapnya.
Setidaknya 300.000 mangrove ditanam sejak 2015. Jenisnya antara lain Rhizophora stilossa, Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, Sonneratia caseolaris, Ceriop tagal, Xylocarpus granatum, Lumnitzera racemosa, dan Nypa fruitican.
Penyemai
Wajah pesisir Kabupaten Tangerang yang mencapai 51 kilometer ”dihiasi” kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Selain abrasi, terjadi banjir rob, juga terdapat banyak sampah dan rumah tidak layak huni.
Pemerintah Kabupaten Tangerang bersama Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University dalam kajiannya mencatat, laju abrasi pesisir pantai meningkat dari 95 hektar menjadi 579 hektar dalam kurun 1995-2015.
Upaya penanaman mangrove yang berjalan menunjukkan hasil positif. Berdasarkan citra satelit, pertumbuhan hutan mangrove meningkat dari 79,8 hektar menjadi 121 hektar dalam lima tahun terakhir.
”Wilayah kami paling parah kena abrasi. Ada kampung namanya Tuasia sudah hilang. Kebun, Lapangan luas di pesisir pantai juga habis terkikis abrasi,” tutur Satriawan (43), warga Kampung Bubulak, Desa Marga Mulya.
Satriawan bersama warga lain tergugah untuk menanam mangrove sejak tahun 2015. Awalnya mereka coba-coba karena belum tersentuh program pemerintah dengan menyemai 10.000 bibit.
Penyemaian berlangsung di sekitar rumah warga memanfaatkan media polybag dan air payau. Butuh waktu sekitar empat bulan dengan hasil 80 persen mangrove tumbuh. Mangrove tersebut lantas ditanam di pesisir pantai dekat Kampung Kebon Baru.
”Warga sama pemerintah awalnya seperti tidak peduli. Kami hanya mau menjaga kampung,” ujarnya.
Biarkan warga lihat dengan mata kepala sendiri. Kami tak bosan sampaikan manfaat mangrove
Sama halnya dengan yang dialami warga Desa Patramanggala, Kecamatan Kemiri. Mereka rutin menebang mangrove sehingga terjadi abrasi. Dampaknya, lima pintu tambak hilang sejak akhir 1980-an. Kerugian cukup besar mengingat satu pintu tambak setara dengan ukuran 5-10 hektar.
Seiring berkurangnya mangrove dan meningkatnya abrasi, pendapatan warga terus turun karena hasil tambak secara berkala terjun bebas dari 1 kuintal menjadi 80 kilogram, lalu 50 kilogram, hingga 5 kilogram saja pada awal 2000-an.
”Airnya juga hitam, butek, banyak limbah dari darat. Dapat 5 kilogram sudah jagoan,butek kata Mulyana (50), warga Kampung Sukadiri, Desa Patramanggala.
Warga mulai aktif menanam mangrove sejak tahun 2015. Mereka dilibatkan dalam program Gerakan Pembangunan Masyarakat Pantai (Gerbang Mapan) oleh Pemkab Tangerang. Mulyana dan warga Patramanggala tiga kali gagal menyemai mangrove. Pantang menyerah, mereka meminta bimbingan dari tim IPB University.
”Teori dari pemerintah lain, praktiknya lain. Naluri kami, kan, petambak yang menebang. Bukan penanam,” ucapnya.
Sejak mendapatkan bimbingan dan pendampingan secara rutin, warga Desa Patramanggala sudah menanam lebih dari 100.000 mangrove sejak tahun 2016.
Belum usai
Masih banyak tantangan menghijaukan pesisir Kabupaten Tangerang. Salah satunya menarik minat warga untuk aktif terhadap masalah lingkungan yang terhampar di depan mata. Tata, Satriawan, dan Mulyana mengalami beragam penolakan warga untuk menyemai mangrove. Belum lagi memantik minat generasi muda untuk ikut serta tanpa upah.
Ada banyak isu negatif, seperti mangrove tidak cocok untuk lingkungan; menjadi sarang nyamuk, burung, dan ular kadut yang dianggap sebagai hama; dan masih banyak lagi bentuk penolakan warga. Semuanya dihadapi para pegiat lingkungan seperti Tata dan kawan-kawannya dengan lapang dada hingga kini.
”Biarkan warga lihat dengan mata kepala sendiri. Kami tak bosan sampaikan manfaat mangrove,” kata Mulyadi.
Kerja sama Pemkab Tangerang, warga, dan ahli sudah mulai membuahkan hasil. Kepala Seksi Teknologi Hasil Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang Hari Mahardika menyebutkan, kualitas air menjadi lebih baik sejak ada mangrove. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya Tachypleus gigas atau ketam tapak kuda. Tambak bandeng dan udang pun berkembang mencapai puluhan hektar.
”Kalau tambak udang baru ada enam, dan dua tambak yang ditiru oleh masyarakat. Udang untuk percontohan bahwalingkungan sehat bisa untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan tidak direncanakan untuk skala besar,” kata Hari.
Lewat program Gerakan Pembangunan Masyarakat Pantai (Gerbang Mapan), Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang turut melatih warga untuk melakukan budidaya rumput laut di Desa Ketapang dengan luasan mencapai 15 hektar dan membuat kerajinan tangan berupa hiasan dari alga.
Pada akhirnya, konservasi lingkungan dan pemberdayaan ekonomi di pesisir Kabupaten Tangerang adalah dari warga untuk kesejahteraan warga. Keberadaan mangrove melindungi kawasan dan mata pencarian mereka dari abrasi.