Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk menertibkan pedagang kaki lima. Namun, pedagang kaki lima kerap enggan berpindah ke lokasi binaan karena alasan sepi atau lokasi kurang strategis.
Oleh
Velicia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan pedagang kaki lima terus bergulir dari waktu ke waktu. Berbagai upaya telah dicoba pemerintah untuk mengendalikan dan menertibkan pedagang kaki lima, termasuk mendirikan lokasi binaan. Namun, masih ada oknum pedagang yang sulit menaati peraturan dengan alasan lokasi yang tidak strategis sehingga sepi pengunjung.
Di kawasan Pasar Pagi Asemka, Taman Sari, Jakarta Barat, masih terlihat pedagang kaki lima (PKL) yang menggelar dagangannya di jalan khusus pejalan kaki. Dari hasil pantauan, Rabu (19/10/2022), sepanjang jalan antara museum Bank Mandiri dan turunan jalan layang Pasar Pagi terdapat sekitar 23 PKL.
Mereka meletakkan barang dagangannya di pembatas jalan yang dipasang larangan berjualan. Di trotoar turunan jalan layang, tepat di depan 23 PKL itu terdapat 12 lapak pedagang lainnya.
Pedagang ini menjajakan pernak-pernik, mainan, serta makanan dan minuman. Ada pedagang mainan karakter pahlawan super, gantungan kunci, tas selempang, casing HP, earphone, topi, dompet, ikat pinggang, hingga pakaian dalam. Di ujung jalan ini yang mengarah ke Kota Tua terdapat pedagang bakso, mi ayam, otak-otak, dan buah potong.
”Saya sadar salah jualan di sini. Tapi mau bagaimana lagi. Bahkan sebelum dipasang larangan dagang, saya sudah jualan di sini,” kata Nasir (40), pedagang earphone dan charger HP, sambil menunggu pembeli datang, di kawasan Pasar Pagi Asemka, Rabu.
Nasir juga menjelaskan, memang ada arahan untuk pindah ke lokasi binaan di Jalan Cengkeh. Namun, dirinya dan pedagang lainnya tidak ingin pindah ke sana.
Sudah ada lokasi binaan dan gedung fasilitas untuk pedagang kaki lima. PKL bisa memilih mau di lokasi yang mana.
”Di sana sepi karena kurang strategis. Saya jadi mikir-mikir lagi untuk pindah ke sana. Kalau di sini kan enak, orang-orang berlalu lalang ke Pasar Pagi,” kata Nasir.
Ia ingin dipindahkan kalau lokasi pemindahannya strategis. Bahkan, ia tak keberatan bila harus membayar sewa tempat itu selama harganya masih terjangkau.
Hal yang sama juga dirasakan Mumun (40), pedagang dompet dan ikat pinggang, hanya selang beberapa lapak dari Nasir. Ia mendapat cerita dari teman pedagang lainnya bahwa lokasi binaan Cengkeh sepi sebab tidak setiap hari ada bus pariwisata yang datang membawa pengunjung.
Pejalan kaki yang tengah melintas di kawasan ini, Nur Haeni (38) dan Paulina (38), merasa terganggu dengan PKL yang menyita sebagian ruas jalan untuk pejalan kaki. Nur Haeni juga mengatakan, sebaiknya para PKL diberikan lapak khusus untuk berjualan.
”Sebenarnya terganggu, tapi mau bagaimana lagi. Itu, kan, mata pencarian mereka,” kata Paulina.
Menanggapi hal ini, Wakil Camat Taman Sari Tumpal Hasiholan menerangkan, jika provinsi sudah menetapkan 11 zona merah di lingkar Kota Tua, termasuk Pasar Pagi Asemka. Permasalahan ini ditangani secara komprehensif.
”Beberapa tahun lalu sebenarnya pedagang sudah masuk ke lokasi binaan. Infonya, dagangan tidak laku karena pengunjung tidak datang ke sana. Secara penataan etalase juga kurang layak menurut pedagang. Hal ini sudah ditampung oleh Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) serta sedang ada rencana penataan dan pembangunan (lokasi binaan) lagi,” kata Tumpal saat dihubungi.
Tumpal juga menambahkan, ada penataan rekayasa lalu lintas. Nantinya akan diatur agar pengunjung Kota Tua melewati lokasi binaan tersebut. Area parkir juga sudah dibangun dan akan diperluas lagi.
”Kami juga memfasilitasi pedagang dengan beberapa gedung, seperti gedung kantor pos dengan kapasitas 32 pedagang. Ada juga bekas gedung Circle K untuk menampung PKL yang dulunya berjualan di kolong halte integrasi,” ujar Tumpal.
Tumpal mengatakan, pihaknya telah mengupayakan agar PKL bisa tertib dan terkendali. Fasilitas gedung dan lokasi binaan yang sudah disediakan bisa dipilih sendiri oleh PKL. Terdapat biaya sewa gedung mulai dari Rp 500.000 hingga sekitar Rp 3 juta, tergantung pemilik atau pengelola gedung. Biaya atribusi untuk lokasi binaan dikenakan Rp 120.000 per bulannya.
Hingga kini, pihak kecamatan dan pihak berwenang lainnya terus mengajak pedagang untuk relokasi ke tempat yang sudah disediakan. Sudah ada 32 pedagang yang masuk ke salah satu gedung fasilitas. Pihak kecamatan juga bersedia untuk dimintakan surat keringanan dan negosiasi biaya sewa lapak.
”Ada satu pedagang yang ingin pindah ke gedung saja, kami sudah senang. Kalau nanti semua fasilitas sudah dibangun, PKL harus memilih gedung. Sudah disediakan semua, ya harus diisi tidak boleh di jalan,” kata Tumpal.