Klakson ”telolet” yang sempat menjadi fenomena beberapa tahun lalu masih banyak digunakan di kendaraan besar, seperti truk dan bus. Tanpa disadari, klakson ini berisiko mengancam keselamatan lalu lintas.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan klakson modifikasi terungkap sebagai salah satu faktor kecelakaan beruntun oleh truk pengangkut bensin di Jalan Transyogi, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat, Juli 2022 silam. Pengawasan dan penindakan penggunaan klakson tambahan ini perlu lebih diperketat.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), di Jakarta, Selasa (18/10/2022) kemarin, mengumumkan hasil investigasi terkait kecelakaan beruntun yang menyebabkan 10 orang tewas dengan tersangka sopir dan kernet truk tangki milik PT Pertamina Patra Niaga. KNKT menemukan, tidak berfungsinya sistem pengereman akibat persediaan udara tekan di bawah ambang batas jadi faktor utama kecelakaan.
Klakson tambahan itu agar lebih kenceng pakai tenaga pneumatik yang juga digunakan oleh rem.
Achmad Wildan, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, menyebut, penurunan udara tekan dipicu dua hal, yaitu kebocoran pada solenoid valve klakson tambahan dan travel stroke kampas rem. Akibat kebocoran itu, pengereman tidak pakem dan mempercepat berkurangnya angin.
Klakson tambahan di bagian depan truk tersebut menjadi sorotan karena hal ini masih marak dipasang di truk ataupun bus. Klakson tambahan memungkinkan kendaraan besar itu memiliki suara klakson yang besar dan unik, seperti fenomena ”telolet” sekitar lima tahun silam.
Dalam kasus truk tangki ini, pengemudi tidak paham bahwa klakson tambahan itu bisa bermasalah dan mengakibatkan kebocoran angin. Pengemudi sempat mendengar suara mendesis sebelum kecelakaan, tetapi tidak memeriksa bagian klakson karena tidak punya pemahaman tersebut.
”Klakson tambahan itu agar lebih kenceng pakai tenaga pneumatik yang juga digunakan oleh rem. Di sana ada solenoid yang fungsinya buka tutup, begitu elektrik dipencet, terdengar suara keras. Di dalam solenoid ada seal dari karet yang kalau sering kena hujan bisa getas dan menurun kekuatannya. Pada saat seal enggak mampu menahan, jadi robek dan udara bocor,” kata Wildan.
Ia meminta Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan merumuskan kebutuhan klakson tambahan. Instansi itu harus mencari solusi agar kebutuhan pengemudi terpenuhi, tetapi tidak membahayakan sistem rem. Menurut dia, klakson itu bisa disiasati dengan menambah kompresor angin tersendiri. Meski demikian, sampai saat ini belum ada industri yang bisa membuat standar untuk klakson tersebut.
”(Kementerian Perhubungan) Perlu juga mengawasi dan memberi pembinaan kepada transporter kendaraan barang dan penumpang,” kata Wildan saat membacakan rekomendasinya.
Pelarangan penggunaan klakson tambahan tersebut sempat dikeluarkan beberapa wilayah. Sejumlah dinas perhubungan dan kepolisian, seperti di Jakarta, juga sempat mengeluarkan peringatan kepada truk dan bus yang memasang klakson dengan ancaman tilang.
Mereka, antara lain, berpedoman pada aturan batas suara klakson dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan sampai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai pemasangan peralatan tambahan di kendaraan.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata juga mengatakan, penggunaan klakson tambahan sudah lama diperingatkan agar tidak boleh digunakan kecuali punya sumber energi sendiri. Namun, ia menyayangkan bahwa masih banyak kendaraan yang menggunakannya.
Karena itu, menurut dia, perlu ada inovasi bagi pengambil kebijakan untuk menertibkan masalah ini. Inovasi itu antara lain mewajibkan pengecekan peralatan tambahan dalam pengujian kendaraan bermotor atau kir.
”Di seluruh Indonesia kalau bisa dilarang. Pas uji kir kalau ketahuan tidak lolos,” ujarnya.
Tidak sebatas itu, ia pun menyarankan kepada pihak swasta penyedia angkutan untuk secara mandiri membangun sistem manajemen keselamatan (SMK) bagi alat angkutan dan pengemudinya.
”Pengemudi harus sering dapat pelatihan. Ini yang kurang di kita. Teknologi kendaraan, kan, selalu ada perkembangan. Jadi, itu harus rutin. Perusahaan ikut mengawasi, harus punya SMK atau sistem manajemen keselamatan,” ujarnya.
Upaya mandiri dari perusahaan ini, menurut dia, ideal karena jumlah perusahaan transportasi yang mencapai sekitar 10.000 unit di Indonesia sulit diawasi pemerintah.