Sejak jaringan Inspektur Jenderal Teddy Minahasa terungkap dan berhasil menjual 1,7 gram sabu di Kampung Bahari, peredaran narkoba di sana masih marak dan membudaya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran narkoba jenis sabu di Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, masih merajalela. Pos penjagaan polisi yang dibangun belum terbukti efektif memberantas peredaran narkoba di sana.
Sekitar 300 meter dari pos penjagaan polisi ditemukan tenda biru kecil berukuran 2 meter x 3 meter yang berisi 10 pemuda. Tenda itu terletak di tengah dua rel dan yang dikelilingi semak belukar. Ada satu juru parkir yang memantau dari warung berjarak 50 meter dari tenda.
Sekitar pukul 13.00 pada Senin (17/10/2022), enam pembeli datang, lalu parkir, kemudian bertransaksi di tenda biru. Ada 10 motor dan 1 mobil terparkir di depan warung.
”Sabu berbentuk padat seperti batu seberat 1,5 gram dijual seharga Rp 1,5 juta,” ucap F, juru parkir sambil berbisik.
Sabu 1,5 gram seukuran biji kacang tanah dikemas dalam plastik klip kecil. Walakin, pembeli tetap dapat membeli sabu kemasan yang lebih kecil dengan harga yang lebih murah. Transaksi minimal setiap pembeli berkisar Rp 200.000-Rp 300.000.
Penelusuran Kompas menemukan bahwa penjual memberikan sabu terlebih dahulu, kemudian pembeli mengecek produknya sebentar, lalu membayar. Transaksi tersebut dilakukan secara terbuka di depan tenda biru.
Menurut F, lingkungan sekitar tenda biru sekarang dalam kondisi aman. Biasanya polisi patroli Kampung Bahari hanya setiap pagi. Namun, dari awal Oktober 2022 sudah tidak ada patroli polisi.
Sebelumnya, jaringan narkoba milik bekas Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa berhasil menjual sabu seberat 1,7 kilogram di Kampung Bahari. Sebanyak lima anggota Polri terlibat dalam jaringan tersebut.
Khusus RW 007, RW 012, RW 014, dan RW 015 di Kelurahan Tanjung Priok masuk dalam zona merah peredaran narkoba oleh Polres Jakarta Utara. Keempat RW itu terletak di sepanjang rel yang menghubungkan Stasiun Jakarta Kota dan Stasiun Tanjung Priok.
Pinggir rel kereta api terdapat gubuk-gubuk yang terbuat dari kayu. Beberapa gubuk dapat ditemui pemuda nongkrong dan terdapat botol kemasan air mineral serta sedotan plastik yang menyerupai alat untuk mengisap sabu.
Sabu berbentuk padat seperti batu seberat 1,5 gram dijual seharga Rp 1,5 juta.
”Sejak dibangun pos penjagaan dari kepolisian, peredaran narkoba cukup menurun, tetapi tidak signifikan. Masih ada bandar-bandar yang berjualan narkoba (di Kampung Bahari),” ujar Z, Ketua RT dari Kelurahan Tanjung Priok.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan menyebutkan, Kampung Bahari menjadi tempat untuk transaksi dan memakai narkoba. Pengguna narkoba biasanya membeli dan langsung menggunakan di sana (Kompas.id, 17/10/2022).
Ada juga pembeli yang membawa barang haram tersebut untuk dipakai atau dijual kembali di luar Kampung Bahari. Sebagian besar pembeli merupakan orang dari luar Kampung Bahari.
Selain narkoba, prostitusi, begal, dan tawuran masih ada. Sekarang kegiatan tersebut masuk ke lingkungan rumah warga.
”Mereka (pengedar narkoba) berbaur dengan warga. Bahkan tinggal di indekos milik warga sehingga sulit dideteksi,” kata S, ketua RT lainnya.
Kultur setempat
Narkoba sudah menjadi bagian dari Kampung bahari yang sulit untuk diperbaiki. Berbagai program dari Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk mengedukasi masyarakat terbukti belum efektif dan hanya berlaku musiman.
”Lebih enak menjual narkoba daripada bekerja secara formal. Menjual satu atau dua plastik klip sabu sehari sudah setara dengan pekerja formal yang bekerja selama 12 jam,” ujar Z.
Oleh karena itu, belum ada jalan keluar efektif untuk memberantas peredaran narkoba di Kampung Bahari. Sedari kecil, anak-anaknya sudah akrab dengan dunia seputar narkoba.
Tingkatannya adalah merokok, minum minuman keras, tawuran atau begal, lalu narkoba. Menurut Z, Lingkungan seperti ini tidak cocok untuk anak bertumbuh dan berkembang.
Sejak dibangun pos penjagaan dari kepolisian, peredaran narkoba cukup menurun, tetapi tidak signifikan. (Z, Ketua RT di Kelurahan Tanjung Priok)
Dalam gubuk-gubuk kayu di pinggir rel, Kompas menemui anak tingkat sekolah dasar hingga menengah pertama sedang merokok. Satu batang rokok mereka isap bergantian sambil bermain gim dari gawai.
Penodongan juga marak terjadi sewaktu malam di jalan sepanjang rel. Modusnya adalah pendatang yang kebingungan kemudian diarahkan ke lorong atau gang sepi. Lalu barang seperti gawai, dompet, dan motor dirampok. Barang yang paling sering dirampok adalah gawai karena sulit dilacak kembali keberadaannya.