Mal identik dengan keramaian. Nyatanya, masih ada mal yang sepi pengunjung, bahkan sepi penyewa. Pengelola mesti bisa menarik perhatian penyewa dan pengunjung agar mal tetap hidup.
Oleh
Velicia
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta setidaknya memiliki 96 pusat perbelanjaan modern. Namun, tidak semua mal di Jakarta ramai pengunjung maupun penyewa. Perubahan perilaku serta cara warga memanfaatkan mal, yang di antaranya dipicu munculnya pandemi Covid-19, menjadi tantangan bagi pengelola mal untuk menghidupkan usahanya. Pengelola mal mesti bisa mencetuskan konsep atau inovasi baru untuk menarik pengunjung.
Dari hasil pengamatan pada Kamis (13/10/2022) hingga Sabtu (15/10/2022), ada sejumlah mal yang sepi pengunjung. Mal tersebut juga tampak kosong atau tidak ada penyewa (tenant). Salah satunya adalah Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, yang telah berdiri sejak sekitar 20 tahun lalu. Mal yang dulunya ramai, kini menjadi sepi dan banyak penyewa yang tak lagi meneruskan kontraknya di sana.
Lantai dasar di mal ini menyediakan lapak dengan konsep petak. Sepanjang jalan di lantai ini, pengunjung akan menemukan banyak petak. Satu petaknya dibagi menjadi empat ruang. Dari beberapa petak yang ada dalam satu blok, hanya terdapat dua sampai empat ruangan yang terisi.
Di lantai-lantai atas mal ini, terlihat lebih banyak lapak yang aktif dibanding lantai dasar. Namun, terdapat sudut-sudut tertentu di mal ini yang terlihat lebih kosong dan gelap. Dapat terlihat juga pedagang yang duduk bermain ponsel pintar, makan, dan terlihat mengantuk sambil menunggu pelanggan datang.
Perbedaan mal ini dirasakan salah satu pengunjung, Rosa (51). ”Saya sering dulu ke sini. Pas masih jaya-jayanya. Sekarang sedih melihatnya,” katanya. Rosa bercerita, ia mengunjungi mal ini sekalian dari Gedung Veteran.
Selain pengunjung, tentunya penyewa juga merasakan perbedaan signifikan. Euis (57), salah satu penyewa di lantai dasar, bercerita perbedaan omzet yang diraupnya.
”Pas lagi ramai, paling sepi nih omzet Rp 1 juta. Kalau weekend, bisa Rp 3 juta sampai Rp 4 juta. Sekarang, seminggu kadang hanya dapat Rp 35.000,00 sampai Rp 50.000,00. Suka banyak artis juga, kan, dekat Balai Sarbini,” ujar Euis.
Begitu juga dengan mal di bilangan Jakarta Barat. Ketika memasuki lantai dasar mal ini, langsung terlihat beberapa restoran yang sepi. Dari belasan meja dan kursi, hanya terisi dua meja dan kursi oleh pelanggan. Adapun beberapa pedagang pakaian di bagian tengah lantai dasar ini. Para pedagang itu tengah membereskan barang dagangnya atau bermain ponsel pintar sambil menunggu pengunjung. Tidak terlihat pengunjung yang mampir sekedar melihat-lihat pakaian atau tawar-menawar dengan pedagang.
Kami memang berencana untuk renovasi Plaza Semanggi. Kami ingin secepatnya renovasi. Namun, kami juga harus mempersiapkan yang terbaik, rencananya harus matang. Dan semua itu butuh proses. (Nidia Ichsan)
Di lantai dasar juga terdapat toko swalayan. Terlihat beberapa pengunjung bergantian masuk dan keluar untuk belanja keperluan sehari-hari. Toko perlengkapan rumah dan bioskop terlihat berdiri sendiri di lantainya masing-masing. Toko perlengkapan rumah di lantai dua dan bioskop di lantai enam. Terlihat lapak-lapak, yang seharusnya diisi oleh penyewa, kosong dan tutup. Jam buka bioskop yang siang diduga turut memengaruhi keramaian di lantai atas mal ini.
Salah satu penjaga lapak pakaian di bagian aula, Zharah Vadilia (30), mengaku merasakan perbedaan ramainya pengunjung atau tidak, yang dilihat dari omzet.
”Sebelum Lebaran kemarin atau pas ramai itu omzetnya bisa Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Pas sepi, ya, kurang lebih Rp 1 juta. Bahkan kadang enggak sampai Rp 200.000,00 atau enggak terjual sama sekali,” kata Zharah.
Ia juga bercerita, lapak dagang yang lainnya juga pernah enggak ada penjualan. Ia menambahkan, pemasukan omzet bergantung pada langganan atau pengunjung yang berniat ke toko swalayan dan bioskop saja.
Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan pada empat mal lainnya di bilangan Jakarta Barat. Pada empat mal ini, hanya terlihat dua sampai empat lapak kosong yang dindingnya dilukiskan pengumuman akan ada toko baru yang buka. Meskipun tidak semua toko penuh pengunjung, keempat mal ini bisa dilihat dengan jelas perbedaannya dengan dua mal sebelumnya. Masih banyak toko yang aktif, pengunjung yang tengah antre di restoran, pengunjung di tempat bermain, bahkan sekadar duduk-duduk di kursi mal.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) Dewan Pengurus Daerah (DPD) DKI Jakarta Ellen Hidayat menyebutkan, sebuah mal yang sehat harus memiliki okupansi keterisian jumlah penyewa minimal 85 persen dari yang disewakan. Ia juga menjelaskan alasan penyewa di mal memutuskan untuk mundur.
”Selain karena Covid-19, bisa saja mereka tidak memperpanjang masa sewa. Lalu, konsep produk yang dijual atau tokonya tidak diminati pengunjung. Permasalahan internal atau pecah kongsi. Dan memungkinkan juga penyewa yang kesulitan dalam keuangan,” katanya saat dihubungi, Jumat (14/10/2022).
Usaha untuk bangkit
Di tengah pergerakan zaman yang cepat dan persaingan yang luas, pengelola mal mesti bergegas mencetuskan konsep dan inovasi baru untuk bangkit. Plaza Semanggi tengah dalam usahanya untuk bangkit. Mal ini sedang dipersiapkan untuk renovasi.
Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Hubungan Masyarakat PT Lippo Malls Indonesia, pengelola Plaza Semanggi, Nidia Ichsan.
”Kami memang berencana untuk renovasi Plaza Semanggi. Kami ingin secepatnya renovasi. Namun, kami juga harus mempersiapkan yang terbaik, rencananya harus matang. Dan semua itu butuh proses,” katanya saat dihubungi, Jumat (14/10/2022).
Mulai dari konsep mal sampai pengisian toko atau penyewa perlu dipikirkan dengan baik. Nidia menambahkan, survei yang dilakukan untuk renovasi ini cukup panjang. Hal ini ia lakukan dengan memperhatikan perilaku pengunjung mal.
Selain menyediakan banyak lapak untuk penyewa, pengelola mal mesti memikirkan dan merencanakan dengan matang konsep mal dan target pasar yang dituju. Pengelola mal dan penyewa mesti menyediakan fasilitas yang dapat memberikan pengalaman berkesan untuk pengunjung.
Selaras dengan yang sedang dilakukan Plaza Semanggi, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat APPBI, Alphonsus Widjaja, menjelaskan hal yang sama. Ia menyarankan, baik pengelola mal maupun penyewanya bisa melahirkan inovasi baru untuk mal-nya.
”Mal itu harus punya fungsi customer journey experience-nya. Harus bisa memberi pengalaman yang mengesankan bagi pengunjung,” kata Alphonsus.
Ia mengatakan, mal tidak bisa lagi hanya berfungsi sebagai tempat belanja. Mal harus bisa memberikan konsep atau inovasi baru yang berkesan untuk pengunjungnya. Misalnya, mal yang menyediakan fasilitas atau tempat untuk pengunjungnya berkumpul dan bersosialisasi. Mal yang menyediakan fasilitas untuk pengunjung berkesempatan mencoba hal baru. Atau mal yang didesain dengan interior yang unik.
Apabila mal hanya mengandalkan fungsinya sebagai tempat belanja, tambah Alphonsus, mal akan kalah dengan sistem belanja daring.
”Mal yang baru mau dibangun mesti memperhatikan aspek customer journey experience. Karena nanti ke depannya, aspek ini akan menjadi nomor pertama untuk mal. Sementara fungsinya sebagai tempat belanja akan berada di urutan kedua,” ujar Alphonsus.
Hal serupa juga dinyatakan Ketua Asosiasi APPBI DPD DKI Jakarta Ellen Hidayat. Menurut dia, kini masyarakat datang ke mal bukan sekadar untuk belanja. Bahkan, tidak selalu untuk berbelanja.
”Contoh, ya, sekarang anak muda pacaran ke mal ngapain? Ke mal, nonton terus makan biasanya,” kata Ellen.
Contoh lainnya yang Ellen jelaskan adalah fasilitas yang memadai untuk anak-anak bermain di mal.
Ellen juga menjelaskan, pihak yang ingin membangun mal harus berani dalam memberikan kesan yang baik untuk calon pengunjung. Misalnya, toko makanan yang beraneka ragam, toko fashion, toko mainan anak, sampai tempat bermain anak.
Selain memberikan konsep yang unik, pengembang atau pengelola mesti berani mengeluarkan biaya lebih untuk fasilitas hingga daya promosi untuk mal. Strategi promosi yang bisa dilakukan seperti dekorasi mal ketika acara musiman.