Terminal Pelabuhan Muara Angke dilengkapi beragam fasilitas, ada ”ramp”, ruang tunggu luas, lift, eskalator, hingga ”e-ticketing”. Kemegahannya memanjakan wisatawan, tapi belum berdampak bagi warga Kepulauan Seribu.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
Pelabuhan Muara Angke bertransformasi menjadi pelabuhan berfasilitas modern. Terminal pelabuhan seluas 6.700 meter persegi itu dilengkapi beragam fasilitas, mulai dari ramp, lift, eskalator, hingga sistem e-ticketing. Wisatawan dijamin terlayani dengan baik.
Namun, bagi Pelabuhan Muara Angke, yang terletak di pesisir Jakarta Utara, tepatnya di tengah-tengah kawasan permukiman warga Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, kini telah berubah 100 persen. Kawasan sekitar pelabuhan yang dahulu kala kumuh, becek, berbau amis, hingga berjubelnya pedagang kaki lima tak lagi dijumpai di sana.
Dari pantauan, Kamis (6/10/2022) siang, di area Pelabuhan Muara Angke di bagian depan dilengkapi taman, tempat parkir kendaraan, halte bus Transjakarta, dan bus pariwisata. Kantin pedagang hingga loket pembelian tiket daring kapal tradisional juga tersedia tak jauh dari area parkir pelabuhan.
Pelabuhan Muara Angke juga dilengkapi berbagai fasilitas modern seperti ramp, lift, eskalator, gate in, layar informasi keberangkatan, hingga kamera pemantau (CCTV). Di dalam area pelabuhan juga tersedia ruang tunggu berkapasitas 800 orang.
Hal yang menguntungkan dari pelabuhan itu ada gedung baru, ada ruang tunggu, ada AC, ada ATM. Fasilitas itu fokusnya ke wisatawan. Bagaimana dengan warga Kepulauan Seribu? (Katur)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat meresmikan Pelabuhan Muara Angke mengatakan, revitalisasi pelabuhan itu merupakan komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memfasilitasi kebutuhan warga di Kepulauan Seribu. Revitalisasi Pelabuhan Muara Angke juga bertujuan menciptakan keadilan dan kesetaraan mobilitas antara warga di pulau dan daratan.
”Jakarta adalah kota yang terdiri dari kawasan daratan dan kepulauan. Oleh karena itu, pembangunan di Jakarta harus menjangkau semua,” kata Anies, Senin (3/10/2022).
Proses revitalisasi Pelabuhan Muara Angke sebenarnya belum sepenuhnya rampung. Di pintu masuk kawasan pelabuhan masih terdapat sejumlah alat berat dan pekerja proyek yang sedang menyelesaikan proses pembangunan gedung pelabuhan tersebut.
Meski revitalisasi belum sepenuhnya rampung, kemegahan pelabuhan sudah mulai terlihat. Pelabuhan itu disebut mirip dengan bandara.
”Sudah seperti bandara, cukup nyaman dan bersih. Selama ini mau naik kapal itu kan baunya amisnya ke mana-mana. Kadang becek juga,” kata Dicky (35), salah satu penumpang, pada Rabu siang.
Keluhan kapal tradisional
Wajah baru Pelabuhan Muara Angke dengan beragam fasilitasnya tak serta-merta memuaskan warga Kepulauan Seribu. Pembangunan Pelabuhan Muara Angke disebut tidak menyelesaikan persoalan warga di daerah kepulauan.
”Sebagai warga Pulau Seribu dan anak buah kapal, hal yang menguntungkan dari pelabuhan itu ada gedung baru, ada ruang tunggu, ada AC, ada ATM. Fasilitas itu fokusnya ke wisatawan. Bagaimana dengan warga Kepulauan Seribu,” kata Katur (40) warga Pulau Pari.
Sebelum pelabuhan itu direvitalisasi, warga di Kepulauan Seribu, terutama yang bekerja sebagai anak buah kapal penyeberangan tradisional, sudah lama mengeluhkan keberadaan kapal-kapal pengangkutan penumpang milik dinas perhubungan. Sebab, kapal-kapal dari dinas perhubungan disebut berebut penumpang dengan kapal tradisional.
Kapal dinas perhubungan, kata Katur, sebaiknya hanya mengangkut warga Pulau Seribu. Wisatawan dapat sepenuhnya menggunakan kapal tradisional.
Kapal tradisional yang beroperasi dari Pelabuhan Muara Angke ada 23 kapal. Artinya, jika kapal-kapal dinas perhubungan turut mengangkut wisatawan, kapal-kapal tradisional berpotensi tak mendapat penumpang.
”Kadang warga Pulau Seribu terpaksa harus naik kapal tradisional karena kapal dinas perhubungan penuh dengan wisatawan. Padahal, kapal tradisional itu tarifnya mahal, Rp 75.000. Sementara kalau warga pakai kapal dinas perhubungan, lebih membantu karena tarifnya hanya Rp 25.000,” ujar Katur.
Faktor lain yang dikeluhkan warga Kepulauan Seribu, yakni jasa pikul dari area depan pelabuhan ke kapal yang bersandar di dermaga. Sebagian warga yang membawa banyak barang harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa jasa pikul lantaran jarak tempat bongkar muat barang dari pelabuhan ke kapal kian jauh atau jaraknya lebih dari 50 meter.