Masif di Jakarta, Kurang di Kota-kota Tetangga
Pembangunan angkutan umum di Jakarta masif dilakukan. Suatu kebijakan yang belum dilakukan kota sekitarnya. Namun, DKI diminta tidak terpaku memperluas cakupan layanan, tetapi lebih memastikan keefektifan penggunaannya.
Annisa (25) mantap melangkah memasuki bus Transjakarta Koridor 8 di Halte Lebak Bulus. Pada Selasa (4/10/2022) ia hendak menuju kantornya di Harmoni, Jakarta Pusat. ”Ini rute harian saya,” kata warga Cinere, Depok, Jawa Barat, ini.
Bertempat tinggal di perbatasan dengan Jakarta, Annisa terkadang naik sepeda motor bersama suaminya sampai Halte Lebak Bulus, kemudian berganti dengan bus Transjakarta menuju tempat kerja. Atau ia naik angkutan kota (angkot) ke Pondok Labu, lalu berganti angkot lagi yang menuju Lebak Bulus.
”Kalau diantar suami sampai Lebak Bulus, saya bisa menghemat uang transportasi karena cukup membayar Transjakarta Rp 3.500 sudah sampai ke mana-mana,” ujarnya.
Yang merepotkan kalau ia harus naik angkot. Tarif angkot naik seiring dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang juga naik. Ia mesti merogoh kocek lebih mahal, Rp 10.000 dari rumah ke Pondok Labu, lalu Rp 5.000 dari Pondok Labu ke Lebak Bulus. Selain itu, angkot yang melayani rute itu sering kali ngetem, membuat waktu perjalanan semakin lama.
Hal berbeda jika ia bisa langsung naik bus Transjakarta. Angkutan umum massal milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu memiliki jadwal perjalanan yang jelas. ”Pergi pulang, saya habis Rp 40.000 (kalau naik angkot),” kata karyawan swasta itu.
Baca juga : Kenaikan Harga BBM, Penumpang KRL dan MRT Meningkat
Syafira (24), warga Kota Bandung, Jawa Barat, yang bekerja di kawasan Tosari, Jakarta Pusat, menyukai keberadaan Transjakarta. Ia cukup naik bus Transjakarta 9D Pasar Minggu-Tanah Abang dari depan rumah indekosnya. Kemudian turun di Halte Tosari.
”Saya tinggal menunggu saja busnya di halte,” kata Syafira.
Namun, dengan kondisi lalu lintas di Pasar Minggu yang lebih sering macet dan jalur Transjakarta di kawasan ini sebagian berbagi dengan kendaraan bermotor lain, Syafira harus mengalokasikan waktu lebih lama untuk naik Transjakarta.
”Saya mesti menyiapkan dua jam sebelum jam kantor karena untuk menunggu bus saja perlu 30 menit,” ujarnya.
Apabila perlu cepat, ia akan naik ojek daring ke Halte Warung Buncit atau Halte Pejaten terlebih dulu lalu naik rute 6A atau 6B, Ragunan-Monas. ”Kalau perlu cepat lagi, saya naik kereta komuter ke Sudirman. Tapi, memang untuk ke stasiun saya perlu naik ojek daring dan menembus kemacetan,” kata Syafira.
Syafira juga berkata, ia suka dengan angkot yang disebut mikrotrans yang tergabung dalam sistem transportasi publik Jakarta di bawah JakLingko. Angkot itu membantu mobilitasnya, apalagi dengan tarif Rp 0 menolongnya berhemat.
Target kita sampai akhir tahun ini PNT ( people near transit) kita 95 persen. (Syafrin Liputo)
Baik Annisa maupun Syafira merasa iri dengan jaringan angkutan umum di Jakarta. ”Coba di Depok bisa dibuat seperti ini. Transjakarta masuknya sampai UI saja. Itu kenapa, ya, angkot mikrotrans tidak masuk ke Depok, minimal sampai gerbang perbatasanlah,” ucap Annisa.
Syafira tidak mendapati jaringan angkutan umum seluas dan sebanyak itu di Bandung. ”Terus akhir-akhir ini layanan Transjakarta saya lihat agak baik dengan adanya petugas di dalam bus. Petugas itu bisa mengingatkan penumpang manakala bus sudah penuh,” kata perempuan yang sudah 1,5 tahun ini bekerja di Ibu Kota.
Annisa juga merasa nyaman naik Transjakarta. Dengan menempuh koridor sepanjang itu, ia merasa bus nyaman dan bersih. Lalu, koridor juga mulai steril meski di daerah PIM laju tersendat karena tidak ada koridor khusus.
Cakupan luas
Layanan angkutan umum yang masif itu, menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, karena sampai saat ini cakupan layanan Transjakarta sudah luas. Sebanyak 83 persen populasi DKI Jakarta atau people near transit (PNT) telah terjangkau layanan angkutan umum dalam radius 500 meter.
”Target kita sampai akhir tahun ini PNT kita 95 persen,” kata Syafrin.
Baca juga: MRT Jakarta Targetkan Layani 14,6 Juta Penumpang pada 2022
PNT layanan 83 persen itu dilayani dengan mengoperasikan 69 trayek mikrotrans dengan 1.724 unit mikrotrans, 179 trayek BRT dan non-BRT dengan 1.869 unit bus. Lalu, ada angkutan umum perkeretaapian MRT yang saat ini baru sepanjang 16 km dan ada LRT Jakarta yang saat ini baru 5,8 km. Juga ada jaringan pejalan kaki, jalur sepeda, serta angkutan perairan.
Mengenai penumpang, dari data sebelum pandemi Covid-19, untuk mikrotrans 234.000 penumpang per hari. Untuk Transjakarta BRT dan non-BRT, satu juta penumpang per hari. Untuk MRT, 123.491 penumpang per hari, sedangkan LRT Jakarta 4.462 penumpang per hari.
Saat pandemi, angka penumpang itu turun drastis. Saat sekarang dengan kasus Covid-19 mulai melandai, penumpang angkutan umum di Jakarta mulai naik, juga karena faktor kenaikan harga BBM pada 3 September 2022.
Kenaikan jumlah penumpang angkutan umum setelah kenaikan harga BBM pada hari kerja mencapai sembilan persen. Kenaikan jumlah penumpang angkutan umum setelah kenaikan harga BBM pada hari kerja dan hari libur mencapai delapan persen.
Untuk mencapai PNT 95 persen, Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan identifikasi terhadap jaringan layanan angkutan umum, baik itu non-BRT maupun mikrotrans, lalu Dishub DKI juga melakukan modifikasi rute. Lainnya, akan ada tambahan 9 rute baru non-BRT (tanpa jalur khusus).
Langkah-langkah itu diharapkan akan mencapai PNT 95 persen di akhir tahun ini. Dengan penambahan PNT menjadi 95 persen, masyarakat juga akan mendapatkan kemudahan untuk mengakses kendaraan umum.
”Secara bertahap, ridership akan terus meningkat dan kita harapkan memang akhir tahun ini untuk kita kembali pada capaian tertinggi pada awal tahun 2020 menjadi 1 juta,” ujar Syafrin.
Kemudian, angkot secara bertahap akan diintegrasikan secara keseluruhan sebagai mikrotrans. Dishub DKI menargetkan pada 2030 sebanyak 10.047 unit bus besar, bus sedang, bus kecil, juga mikrotrans akan total terintegrasi.
Namun, yang mesti dipahami, dampak dari pandemi Covid-19 membuat DKI Jakarta harus melakukan relaksasi terhadap beberapa program, termasuk integrasi layanan umum reguler ke dalam JakLingko.
”Karena kita pahami APBD Jakarta juga terkoreksi, tentu kita melakukan penyesuaian terhadap target-target. Tapi, tetap dalam posisi tahun 2030, 10.047 unit, kita akan kejar bisa terealisasi,” ujar Syafrin.
Menarik pengguna
Damantoro, pengamat transportasi dari Universitas Bina Nusantara Jakarta, mengkritisi, dengan cakupan PNT 83 persen, ia melihat itu sebagai cakupan secara kewilayahan. Namun, ia mempertanyakan moda share atau angka penggunaan angkutan umum oleh masyarakat sesuai amanat Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030.
Dalam Pasal 22 Ayat 2 ditetapkan target 60 persen perjalanan penduduk menggunakan angkutan umum dan meningkatkan kecepatan rata-rata jaringan jalan minimum 35 km per jam. Artinya, cakupan wilayah layanan mesti dibarengi upaya menarik masyarakat untuk mau menggunakan angkutan umum.
Syafrin menjelaskan, upaya yang dikerjakan tentu saja dengan mengubah cara pandang pengelolaan transportasi umum, dari car oriented development ke transit oriented development. Dengan pengembangan kawasan transit, maka pejalan kaki dan pesepeda diprioritaskan dan dibuatkan fasilitas dari dan menuju titik angkutan umum.
Baca juga: 32 Koridor BRT Disiapkan sebagai Pengumpan bagi Angkutan Rel di Jakarta
Kepala Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho menjelaskan, untuk mendukung perubahan cara pandang itu, Dinas Bina Marga sudah merevitalisasi trotoar sepanjang 250-an km. Revitalisasi trotoar membuat jumlah pengguna jalan dan pengguna angkutan umum yang berjalan kaki dari dan menuju angkutan umum naik 60 persen.
Mereka bergerak dari satu titik ke titik lainnya dengan berjalan kaki. Mereka berganti moda dengan berjalan kaki. Lajur sepeda juga saat ini sudah terbangun 103,58 km. Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan membangun lagi 145 km di tahun ini.
Untuk angkutan umumnya, menurut Syafrin, Dishub DKI mengupayakan ada integrasi fisik, baik titik transit, operasionalisasi, tarif, dan sistem pembayaran. Sistem tarif yang tengah diuji coba oleh Pemprov DKI adalah sistem tarif terintegrasi maksimal Rp 10.000 dengan durasi perjalanan tiga jam. Itu semua diharapkan akan membuat layanan angkutan umum yang lebih mudah diakses, lebih cepat, dan lebih murah.
Lalu, bagaimana dengan warga dari kawasan penyangga Jakarta yang tidak punya fasilitas angkutan umum yang baik? Seperti keluhan Annisa, maka di sini yang perlu berperan aktif adalah Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Peran BPTJ
BPTJ, disebutkan Damantoro, perlu menyediakan angkutan langsung dari asal atau origin para pelaku perjalanan ke tujuan yang nyaman, aman, berkeselamatan. BPTJ juga semestinya memperbaiki angkutan dari asal ke tujuan, hingga menyediakan kantong parkir di tempat-tempat asal untuk membatasi kendaraan yang masuk ke Jakarta.
Langkah-langkah pembatasan kendaraan menjadi hal yang mesti dikerjakan. Itu karena, meskipun Pemprov DKI mendorong orang menggunakan angkutan umum, lalu angka pengguna angkutan umum dikabarkan kembali naik setelah pandemi mereda, kemacetan Jakarta tetap belum terobati.