Pulau G perlahan menyusut akibat empasan ombak. Pulau buatan itu gambaran nyata maju mundurnya kebijakan pemanfaatan lahan reklamasi di Teluk Jakarta.
Oleh
STEFANUS ATO, FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi terkini kawasan Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, pada Rabu (28/9/2022) pagi. Daratan pulau buatan itu perlahan tenggelam akibat abrasi.
Kondisi kawasan reklamasi Pulau G, di pesisir Jakarta Utara, nyaris sudah tak terlihat. Daratan pulau itu perlahan menyusut akibat empasan ombak. Pulau buatan itu gambaran nyata maju mundurnya kebijakan pemanfaatan lahan reklamasi di Teluk Jakarta.
Kondisi sebagian daratan Pulau G, pada Rabu (28/9/2022) pagi, tertutup air laut. Sampah dan tumbuhan liar memenuhi sebagian daratan yang tak terendam air. Di salah satu sudut pulau itu terdapat satu unit bangunan semipermanen, tempat berteduh para penjaga pulau.
Daratan Pulau G yang sudah terbangun, luas awalnya sekitar 10 hektar dari target 161 hektar. Namun, akibat abrasi, kondisi daratan Pulau G yang masih terlihat hanya sekitar 1-2 hektar.
”Tempat perahu kita berlayar ini dulu daratan semua. Tanah pulau banyak hilang selama dua tahun terakhir,” kata Maryadi (47), salah satu nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, pada Rabu pagi.
Letak Pulau G hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Pelabuhan Perikanan Muara Angke. Keberadaan pulau itu selama ini dikeluhkan nelayan lantaran menghambat akses keluar masuk kapal-kapal ke pelabuhan.
Sejak Pulau G terbentuk, perahu dan kapal ikan nelayan harus berputar jauh agar tiba di laut lepas. Situasi serupa juga terjadi saat kapal nelayan akan kembali bersandar di pelabuhan.
Kondisi terkini kawasan Reklamasi Pulau G, di Teluk Jakarta, pada Rabu (28/9/2022) pagi. Sampah menumpuk di pulau buatan yang terus menyusut akibat abrasi.
”Dulu, untuk bisa keluar dari pelabuhan saja, kami harus berputar sampai 20 menit. Apalagi, kalau kapal-kapal besar mau keluar, mereka harus bayar lagi perahu kecil untuk jadi penuntun jalan,” katanya.
Kesulitan akses keluar masuk dari Pelabuhan Perikanan Muara Angke perlahan membaik sejak Pulau G mulai menyusut akibat terkikis ombak. Nelayan pun hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk segera tiba di laut lepas.
Bermasalah sejak awal
Dari catatan Kompas, reklamasi Pulau G dimulai pada 2015. Pulau G merupakan satu dari 17 pulau buatan yang dibangun di Teluk Jakarta (Kompas, 23/5/2016).
Reklamasi tersebut mendapat perlawanan keras dari warga pesisir, nelayan, dan sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Perlawanan warga itu berbuah manis setelah Pengadilan Tata Usaha Negara pada 31 Mei 2016 memutuskan menunda reklamasi Pulau G dan memerintahkan mencabut izin reklamasi (Kompas, 31/5/2016).
Selain putusan pengadilan, Komite Gabungan Pemerintah Pusat di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Kemaritiman pada akhir Juni 2016 juga menyatakan reklamasi di Pulau G harus dihentikan. Dari evaluasi Komite Gabungan, Pulau G dianggap membahayakan karena berdekatan dengan kabel listrik bawah laut milik PLN. Keberadaan pulau itu juga dinilai mengganggu lalu lintas kapal dan merusak biota laut. (Kompas, 3/7/2016).
Pulau G, salah satu daratan yang muncul karena reklamasi di Teluk Jakarta, Senin (16/1/2017).
Kegiatan reklamasi di Pulau G kemudian dihentikan sementara berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.355/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016. Setahun berlalu, sanksi penghentian reklamasi Pulau G kembali dicabut pemerintah pusat setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai sudah memperbaiki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan Pulau G, (Kompas.id, 3/10/2017).
Reklamasi di Teluk Jakarta, termasuk Pulau G, berubah haluan di masa Kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies dalam suratnya pada 29 Desember 2017 meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menunda dan membatalkan seluruh hak guna bangunan (HGB) semua pihak ketiga atas seluruh pulau reklamasi: C,D, dan G (Kompas, 10/1/2018).
Delapan bulan setelah mengajukan surat permohonan ke pemerintah pusat, Anies pada 26 September 2018 mengumumkan pencabutan izin prinsip 13 pulau reklamasi yang belum terbangun dan menata ulang empat pulau terbangun. Empat pulau terbangun dimaksud, antara lain, Pulau C, D, G, dan N.
Kawasan permukiman
Polemik yang belum tuntas di Teluk Jakarta kini memasuki babak baru setelah terbit Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan atau RDTR-WP. Dalam Pasal 192 Nomor (3), kawasan reklamasi Pulau G diarahkan untuk permukiman.
Pengamat perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji ulang dan bila perlu membatalkan rencana menjadikan Pulau G sebagai kawasan permukiman. Sebab, reklamasi pulau itu sejak awal memicu banyak persoalan.
Pulau reklamasi (Pulau G) yang saat ini terbengkalai di Teluk Jakarta, Senin (7/6/2021). Mahkamah Agung memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang izin reklamasi pantai Jakarta Pulau G. Sebab, izin reklamasi sudah diatur secara detail dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2012.
Pulau G juga disebut tidak cocok dijadikan sebagai kawasan permukiman lantaran di pesisir Jakarta saja masih banyak persoalan dasar, mulai dari masalah kebutuhan air bersih, pengelolaan sampah, dan limbah yang belum selesai.
”Warga pesisir sekarang saja sudah kesulitan air bersih dan Pemprov belum mampu menyediakan akses air bersih yang layak. Akan lebih baik jika Pulau G ditetapkan sebagai kawasan ruang terbuka hijau,” ucapnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, rencana menjadikan Pulau G sebagai kawasan permukiman tidak akan mampu dijangkau warga kelas menengah ke bawah. Akses mereka akan terbatas, terbentur biaya transportasi kapal yang menguras kantong karena kenaikan harga BBM, dan tidak mungkin pemerintah menggratiskan semua pembiayaan.
”Jadi memang pulau reklamasi cocok untuk mereka yang punya uang. Pemprov bertanggung jawab sebagai pemegang wilayah, sedangkan pengembang swasta yang akan menentukan harga atau biaya,” kata Trubus.
Pulau G tidak layak sebagai pemukiman karena akan membahayakan nelayan atau warga lain yang akan tinggal dan hidup di wilayah tersebut.
Pandangan serupa turut disampaikan pihak Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). KIARA menilai perluasan daratan dengan mengarahkan Pulau G sebagai permukiman berimplikasi pada berlanjutnya reklamasi. Padahal, reklamasi menguntungkan pemilik modal yang mampu membeli. Sebaliknya, nelayan maupun perempuan nelayan kian terusir dari ruang hidupnya.
Masalah lain ialah kawasan reklamasi Pulau G dan 16 pulau lainnya tidak masuk dalam kategori lestari dan seimbang. Hal itu terjadi karena penimbunan di pesisir bakal merusak ekosistem dan menyebabkan hilangnya spesies tertentu. Pasir untuk penimbunan yang berasal dari pengerukan di daerah lain, salah satunya adalah Banten, turut merusak lingkungan.
”Belum ada kajian ilmiah alokasi ruang Pulau G sebagai permukiman. Apalagi, terjadi abrasi sehingga Pulau G tidak layak sebagai pemukiman karena akan membahayakan nelayan atau warga lain yang akan tinggal dan hidup di wilayah tersebut,” tutur Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati Romica.
Bisa jadi, kebijakan baru kali ini akan kembali memicu persoalan. Nasib Pulau G masih tak pasti.