Amuk Api Menyibak Sisi Lain Menterengnya Menteng
Kebakaran di kampung padat penduduk di Cikini, Menteng di Jakarta Pusat menyibak fakta ada kerapuhan di kawasan yang selama ini mentereng sebagai lokasi premium di jantung ibu kota.
Sembilan kaleng bekas biskuit yang ditumpuk tiga susun yang bersanding dengan plastik bening berisi kerupuk putih dengan pinggiran warna pelangi teronggok di etalase depan toko alat tulis kerja milik Uki. Barang itu ada saat Uki membuka tokonya di Jalan Cikini Kramat, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, sekitar pukul 08.00.
”Ini punya pedagang bubur yang rumah kontrakannya kebakaran,” kata pria paruh baya itu saat ditemui Kompas, Selasa (27/9/2022) pagi.
Uki tidak sempat bertemu dengan pedagang bubur yang dimaksud. Informasi itu justru ia dapat dari beberapa orang di sekitar Pasar Kembang Cikini, dekat tokonya. Tukang bubur gerobak yang konon digandrungi banyak pembeli di depan restoran cepat saji KFC, pinggir Jalan Pegangsaan Timur, dekat situ mendadak mendapat musibah.
Sekitar pukul 04.00 dini hari, api tiba-tiba membara di rumah dua lantai yang dihuni beberapa pedagang bubur itu. Rumah yang beralamat di RT 004 RW 001 itu berlokasi hanya sekitar 200 meter dari Jalan Pegangsaan Timur dan Stasiun Cikini. Kang Daniel (45), bos pedagang bubur, dikabarkan menjadi orang terakhir di rumah itu saat kebakaran terjadi.
Kalau di sini air PAM sudah masuk mungkin kami enggak susah, ya. Setahu saya selama di sini, daerah ini enggak pakai PAM, semua pakai air tanah.
Api dengan cepat membesar, melahap kompor, alat masak, mangkuk makan, hingga gerobak kayu. Daniel pun tersambar api yang meninggalkan luka bakar 50 persen di tubuhnya. Sejumlah saksi yang melihat musibah itu pun berteriak memberikan peringatan, ”Kebakaran! Kebakaran!”
Suara teriakan itu membangunkan Ade Syarifudin (58) yang tidur di lantai dua ruko Pasar Cikini Kecil. Saat Ade melihat keluar, api cukup besar melahap rumah yang hanya terhalang satu baris toko dan dua jalan sempit dari rukonya. Pedagang makanan beku itu pun membangunkan keluarganya yang lain, yaitu istri, empat anak, dan dua cucu.
”Pas saya bangun saya lihat ada api besar dari bawah rumah itu. Lantai duanya belum terbakar,” kata pria yang kumis dan rambut di kepalanya sudah berwarna putih itu.
Baca juga: Kebakaran di Cikini Bersumber dari Lapak Tukang Bubur
Tidak jauh dari situ, teriakan warga yang panik juga didengar Aida (48), saat hendak shalat Subuh setelah menyiapkan masakan untuk ia jual di tokonya. Aida pun membuka pintu keluar untuk mengecek sumber suara. Ia kaget saat melihat api merah menjulang tinggi ke langit, bahkan merayap ke kabel tiang listrik dan saluran telepon.
”Mas, bantuin itu ambil air,” kata orangtua tunggal itu kepada anak tertuanya sambil mengambil barang-barang penting di rumah. Ia mengumpulkan dokumen penting dan menyerahkannya pada anak terakhirnya yang masih kelas IV SD untuk diungsikan.
Setelah sempat bolak-balik keluar rumah, Aida hendak kembali ke dalam untuk mengambil pakaian-pakaian yang sudah ia selamatkan di dalam karung. Namun, api semakin cepat menjalar sehingga ia tidak bisa lagi mendekati rukonya. Pakaian yang ia kenakan hari itu pun menjadi satu-satunya yang terselamatkan.
Sulit air
Sebelum kebakaran menjalar, warga berbondong-bondong menyiram api dengan air seadanya. Namun, begitu listrik dipadamkan, warga tidak bisa berbuat banyak. Air tanah yang hanya bisa diambil dengan pompa-pompa listrik milik warga tidak bisa diandalkan.
”Saya sempat bantu sama warga sekitar, cuma lama-kelamaan air susah pas listrik pada dimatiin,” kata Ade. Sepengetahuannya, di wilayah itu, air perpipaan milik daerah, seperti PAM Jaya, belum masuk.
Hal ini juga diungkapkan Jaya, satu-satunya warga RT 015 RW 001 yang rumahnya ikut terdampak kebakaran. ”Kalau di sini air PAM sudah masuk mungkin kami enggak susah, ya. Setahu saya selama di sini, daerah ini enggak pakai PAM, semua pakai air tanah,” ujarnya.
Ia menyadari hal ini menjadi pekerjaan rumah lingkungan mereka meski kebakaran besar baru pertama kali ini terjadi. Sekitar tahun 2013, pihak RT dan RW hendak menyiapkan hidran untuk antisipasi kebakaran di sekitar pasar. Namun, rencana itu baru sekadar penggalian lubang air.
Petugas pemadam kebakaran juga sempat kesulitan memadamkan api. Akses jalan yang sempit menuju lokasi kebakaran mengharuskan petugas menyambung selang beberapa ratus meter. Mobil pemadam hanya bisa terparkir di jalan masuk Pasar Kembang Cikini.
Kepala Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Pusat Asril Rizal mengatakan, tim mereka tiba di lokasi pukul 04.43. Sebanyak 17 mobil pemadam dan 85 petugas menjinakkan api hingga menjelang pukul 06.00.
Baca juga: Solusi Sistemik Kebakaran Jakarta
Dari data sampai pukul 13.40, ada 16 rumah dan 41 kios milik 44 keluarga (133 jiwa) yang ludes terbakar. Mayoritas ada di wilayah RT 004, yang kini hanya tersisa tembok bata bersemen. Struktur bangunan yang sebagian masih dari kayu dan bahan mudah terbakar lainnya sudah lenyap. ”Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,5 miliar,” kata Asril.
Kerugian itu bisa jadi lebih besar. Pedagang seperti Aida, Ade, bahkan Daniel yang harus kehilangan modal usaha belum sempat berhitung. Mereka masih memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan primer mereka hingga beberapa bulan ke depan.
Penataan
Kejadian kebakaran itu dengan cepat mendapatkan respons dari warga dan pihak luar, baik pemerintah maupun swasta. Warga RW 001, misalnya, dengan cepat membangun dapur umum dan sejumlah posko layanan yang dibantu satuan kerja perangkat daerah terkait.
Selain penanggulangan untuk jangka pendek, jangka panjang juga mulai dipikirkan bersama. Dadang Suherman, Dewan Kota Jakarta Pusat, perwakilan Kecamatan Menteng, mengatakan, akan mengupayakan pencarian dana bersama wali kota dan perangkat daerah terkait.
Pembangunan ulang perkampungan terdampak kebakaran juga bisa disediakan dinas terkait. Terkait pembangunan ulang, ia mengharapkan ada perhatian khusus untuk penataan rumah dan wilayah.
”Karena di lingkungan ini rumah kebanyakan kayu, nanti kita belajar, lha. Buat rumah semua dengan bahan bata, atap dibuat dengan lubang jadi tidak tertutup rapat,” katanya.
Terkait sumber air, ia juga berharap bisa membantu menghadirkan inovasi yang lebih efisien. Dari pengalamannya, ia pernah membangun menara air untuk satu RT di RW 006 Jalan Tambak pada 2007. Solusi itu, menurut dia, terjangkau secara biaya dan bisa cocok untuk diterapkan di permukiman padat penduduk.
”Orang selalu bilang Menteng itu elite. Nyatanya ada yang elit, ekonomi sulit. Di Menteng ada hampir 12 RW yang ekonominya sulit, seperti di Pegangsaan ini,” ujar Dadang yang sudah tiga tahun menjadi Dewan Kota.
Di sisi lain, ia mengaku sudah mengedukasi warga di permukiman padat untuk mencegah kebakaran dengan program Wasjara atau Waspada Si Jago Merah serta menggalang sukarelawan pemadam kebakaran di setiap RT. Kegiatan itu, antara lain, dilakukan di waktu-waktu rawan kebakaran, seperti jelang Lebaran dan Tahun Baru.
Upaya ini penting dikerjakan mengingat risiko kebakaran di DKI Jakarta adalah 48 persen dengan kategori risiko kebakaran sedang. Angka itu didapat dari hasil penelitian Disaster Risk Reduction Center (DRRC) Universitas Indonesia, yang bekerja sama dengan Dinas Gulkarmat DKI tahun 2022 ini.
Risiko kebakaran sedang di Jakarta Pusat sebesar 49 persen, sama seperti wilayah Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu wilayah utara. Risiko terbesar di Jakarta Timur dengan persentase 51 persen dan risiko kebakaran sedang di Jakarta Utara sebesar 44 persen.
Penelitian juga menyimpulkan bahwa keseluruhan wilayah memiliki kondisi hidran yang buruk atau tidak tersedianya hidran di wilayah tersebut. Kepadatan penduduk yang meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya jumlah pertumbuhan bangunan menyebabkan konsentrasi penghuni dan bangunan menjadi tidak seimbang.
Enam pedagang bubur yang selama ini ikut memadati perkampungan di dekat Pasar Cikini Kecil itu pun masih diperiksa polisi. Kapolsek Menteng Ajun Komisaris Besar Netty Siagian mengatakan, pihaknya masih memeriksa mereka sebagai terduga penyebab kebakaran.
”Itu yang 3 kilo itu apa namanya? (Dugaannya) bocor. Itu aja,” ungkapnya.
Kejadian di Cikini kembali menjadi bukti rapuhnya Jakarta, bahkan di jantung kota yang selama ini terkesan mentereng