Menyelamatkan Saluran Air Kuno Batavia di Proyek MRT Jakarta
Ada banyak temuan arkeologi, di antaranya saluran air Batavia dan struktur Jembatan Glodok dalam proyek MRT Fase 2. Demi menyelamatkan cagar budaya itu, pembangunan stasiun Kota belum bisa dikerjakan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
Pembangunan Stasiun Kota bagian dari paket kontrak CP 203 fase 2A MRT Jakarta belum bisa dikerjakan karena ada temuan obyek cagar budaya. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mengapresiasi upaya MRT Jakarta melakukan langkah pelestarian terlebih dahulu.
Kepala Bidang Perlindungan Kebudayaan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Norviadi Setio H, Kamis (22/9/2022), menjelaskan, sejak pembangunan fase 2A dari Bundaran HI ke Kota dimulai pada Februari 2020, Dinas Kebudayaan fokus pada perlindungan cagar budaya. Itu karena di jalur Bundaran HI-Kota banyak sekali struktur cagar budaya, baik yang ada di permukaan maupun dalam tanah.
Tantangan pembangunan konstruksi dengan adanya obyek cagar budaya sudah terlihat di CP 201. Kemudian juga pada saat pembangunan CP 203 dari Glodok ke Kota.
Di rute tersebut ditemukan banyak obyek diduga cagar budaya (ODCB). Mulai dari struktur tembok kota, rel trem, bagian dari struktur Jembatan Glodok, hingga saluran air kuno Batavia.
Sesuai Undang-Undang Cagar Budaya, dengan adanya temuan itu, perlu ada perlakuan dan penanganan khusus terhadap ODCB dan diperlakukan sama seperti obyek cagar budaya.
”Kami mengapresiasi langkah MRT Jakarta yang mengikuti kaidah cagar budaya, melakukan studi kajian arkeologi sebelum pembangunan konstruksi, serta didampingi dengan tim ahli arkeologi,” kata Norviadi.
Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta (Perseroda) Silvia Halim dalam Forum Jurnalis MRT Jakarta, Selasa (20/9/2022), menjelaskan, sejak CP 203 dimulai awal pembangunannya pada April 2021, sampai hari ini progres pembangunan CP 203 sudah 16,1 persen. Di CP 203 akan ada dua stasiun, yaitu Stasiun Glodok dan Stasiun Kota.
Untuk pembangunan di Stasiun Glodok, kontraktor sudah mulai membangun dinding stasiun bawah tanah. Namun, untuk stasiun Kota dinding bawah tanah belum bisa dibangun karena MRT Jakarta bersama tim ahli arkeologi dan kontraktor sekarang masih konsentrasi untuk membuka area stasiun dan melakukan pengecekan setelah menemukan banyak sekali obyek cagar budaya.
”Itu membutuhkan penanganan khusus. Setelah kita tangani cagar budaya di level atas, biasa ada di kedalaman 1-2 meter, baru kita bisa bangun stasiunnya itu,” kata Silvia.
Dengan temuan itu, untuk pelestarian, kami membelokkan tunnel dari arah selatan menuju Plaza Beos yang akan menjadi pintu masuk Stasiun MRT Kota.
Temuan obyek cagar budaya terjadi dalam pekerjaan awal pembangunan, yaitu dengan dilakukannya test pit utilitas dan arkeologi. Dalam penggalian awal, tim konstruksi menemukan rel trem, struktur tembok di area Kota, tepatnya di area masuk Kota Tua dari arah selatan.
”Dengan temuan itu, untuk pelestarian, kami membelokkan tunnel dari arah selatan menuju Plaza Beos yang akan menjadi pintu masuk Stasiun MRT Kota,” ujar Silvia.
Selain struktur tembok dan rel trem, tim konstruksi dan arkeologi pada Desember 2021 juga menemukan saluran air kuno Batavia dan bagian struktur Jembatan Glodok yang merupakan ODCB.
Untuk penanganan dan pelestarian, pada 30 Juli 2022 tim MRT bersama dengan jajaran Dinas Kebudayaan, tim ahli cagar budaya (TACB), dan tim sidang pemugaran (TSP) menyepakati untuk dilakukan proses dokumentasi yang baik. Juga sebagian temuan saluran air kuno Batavia akan dipamerkan dalam rencana Stasiun MRT Kota.
Terpisah, arkeolog MRT Jakarta, Junus Satrio Atmodjo, menerangkan, saluran air kuno Batavia yang ditemukan sepanjang 400 meter itu merupakan bagian dari sistem pasokan air bersih Kota Batavia (Waterleiding) pada abad ke-17 yang dialirkan melalui kolam air (water plat) sampai menuju Benteng/Kastil Batavia atau yang sekarang adalah Area Museum Fatahilah.
Adapun struktur Jembatan Glodok Kuno, berdasarkan peta lama Batavia, sebelumnya terdapat jembatan untuk menyebrangi kanal Kali Besar. Sekarang itu adalah Jalan Pancoran dan Jalan Pinangsia Raya.
Silvia melanjutkan, temuan itu menjadi tantangan bagi pembangunan MRT Jakarta. MRT Jakarta harus menangani dengan baik temuan itu dan di waktu yang sama tetap harus menyediakan jalur bagi Transjakarta, bagi warga penduduk sekitar (residensial), hingga pelaku bisnis di wilayah itu.
”Ini yang kita lakukan di kawasan ini dan harus kita tangani dengan baik. Makanya kita tangani dulu (temuan-temuan), baru kita bangun stasiunnya. Ini juga menunjukkan bagaimana pembangunan bisa dilakukan tanpa mengorbankan temuan-temuan obyek cagar budaya,” katanya.
Dalam pelestarian cagar budaya temuan pada pembangunan MRT Jakarta, menurut Silvia, penanganan dilakukan dengan dua cara, yaitu insitu dan eksitu.
Penanganan inisitu, MRT Jakarta membiarkan saja temuan cagar budaya, tidak disentuh. ”Kita biarkan saja di bawah, karena memang itu terlalu berharga tidak bisa kita gantikan, tidak ada cara lain, jadi tidak bisa diganggu gugat. Itu seperti temuan tembok Batavia,” ujarnya.
Cara kedua, penanganan eksitu. ”Temuan kita angkat lalu kita lestarikan,” kata Silvia.
Upaya eksitu yang dilakukan, bata-bata dari saluran air Batavia diangkat satu per satu, semuanya, dengan sangat hati-hati dan disimpan sementara. Nantinya akan dipajang di Galeri dan Museum MRT, juga sebagian akan dipasang di stasiun sebagai bagian dari arsitektur. Rel trem yang diangkat juga akan dipamerkan, tetapi struktur Jembatan Glodok tidak diangkat.