Aksi koboi-koboian di jalanan terus berulang karena belum mampu menyeimbangkan hak dan kewajiban di jalan serta kurangnya kesadaran dan etika di ruang publik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Aksi koboi-koboian di jalanan kembali tersaji melalui video viral dua mobil hitam di lajur kanan Jalan Tol Jagorawi arah Jakarta, Minggu (18/9/2022). Upaya pengemudi saling mendahului itu berakhir setelah salah satu pengemudi menurunkan kaca mobil dan menodongkan senjata api ke pengemudi lainnya.
Belakangan diketahui pengemudi yang menodongkan senjata api ialah anggota TNI berpangkat kapten. Dia mengendarai mobil dinas Kementerian Pertahanan dalam aksi koboi-koboian tersebut.
Tontonan koboi jalan itu membuka kembali memori lama video di laman Youtube yang berjudul ”Koboy Palmerah”. Video berdurasi 1 menit 59 detik ini merekam pengemudi mobil berpelat nomor dinas TNI 1394-00 berdebat dengan pengendara sepeda motor karena senggolan di Jalan Tentara Pelajar, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (30/4).
Pria berpakaian kemeja putih dan bercelana panjang warna krem itu juga terlihat menenteng benda menyerupai senjata api. Sempat terdengar pula bunyi seperti tembakan. Dia tampak beberapa kali memukul pengendara motor dengan sebuah tongkat. Pukulan itu mengenai helm yang masih dikenakan pengendara motor (Kompas, 2 Mei 2012).
”Setiap orang, baik sipil, perorangan atau mobil dinas, memiliki hak yang sama untuk menggunakan jalan sesuai dengan peruntukannya. Namun, lebih penting pengguna jalan wajib paham, mengerti, dan berkendara dengan benar di jalan,” tutur pemerhati transportasi Budiyanto, Selasa (20/9/2022).
Dalam konteks aksi koboi jalanan yang tengah ramai itu, penggunaan lajur kanan ialah untuk mendahului kendaraan lain. Setelah mendahului, pengemudi semestinya segera kembali ke lajur semula untuk memberikan kesempatan pada kendaraan lain yang ingin mendahului.
Penting juga diperhatikan situasi dan ruang yang aman untuk mendahului. Jangan sebaliknya, memaksa untuk mendahului, termasuk dari sisi kiri dan melakukan tindakan kontraproduktif seperti kejadian yang viral dengan menodongkan senjata api.
”Pelanggaran jangan dibalas dengan pelanggaran. Pengguna jalan harus mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban di jalan,” ucap Budiyanto.
Pensiunan polisi yang pernah menjadi Kasubdit Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya ini menyarankan pengguna jalan untuk memotret atau merekam aksi pengguna jalan yang arogan atau melanggar. Kemudian, pengguna jalan bisa melaporkan kepada petugas berwenang, alih-alih main hakim sendiri.
Lagu lama
Siapa saja bisa menjadi koboi jalanan. Hal ini bertolak dari rentetan kejadian yang pelakunya warga biasa ataupun aparat. Sementara korbannya mulai dari anak hingga orang tua.
Asep Suseno (26), sopir mobil toko material, tewas ditembak pembonceng sepeda motor hanya gara-gara cekcok karena hampir bersenggolan. Peristiwa itu terjadi di depan PT Farmasi Sinde Budi Sentosa di Jalan Diponegoro Kilometer 39, Desa Setiamekar, Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (13/1/2012), sekitar pukul 11.00 (Kompas, 14 Januari 2012). Baca juga: Amarah dan Arogansi di Jalanan yang Tak Pernah Surut
Lagi-lagi hanya karena persoalan sepele, NFA (40) memukul sopir angkot D06 (Terminal Depok-Simpangan), Alimin Latif (33), dengan gagang senjata mirip pistol jenis FN, Senin (13/2). Peristiwa yang terjadi pukul 12.30 itu tidak berlanjut lama. Warga dan polisi dapat melerai mereka karena lokasi hanya berjarak 50 meter dari Markas Polres Kota Depok (Kompas, 14 Februari 2012).
Fenomena klasik di negara berkembang. Posisi setara agak susah, ironis, dan paradoks karena ada auktor tertentu, kelompok tertentu yang coba mendominasi ruang publik. (Rakhmat Hiadayat)
Kompas
Aksi ala koboi yang suka main tembak juga dilakukan AM di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12/2019) sekitar pukul 16.30. Dia tersinggung atas celetukan ”wah mobil bos” oleh dua pelajar SMA. AM lalu turun dari Lamborghini dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. AM menyuruh kedua korban berhenti dan jongkok sambil melepaskan tembakan (Kompas, 27 Desember 2019).
Baca juga: Barbarisme dan Tingkat Stres di Jalanan Ibu KotaSelain belum mampu menyeimbangkan hak dan kewajiban di jalan, aksi koboi-koboian di jalanan terus berulang lantaran kurangnya kesadaran dan etika di ruang publik. Padahal, ruang publik, seperti jalan, jalur pedestrian, dan taman merupakan milik bersama dalam posisi yang setara.
”Fenomena klasik di negara berkembang. Posisi setara agak susah, ironis, dan paradoks karena ada auktor tertentu, kelompok tertentu yang coba mendominasi ruang publik,” kata Rakhmat Hidayat, sosiolog di Universitas Negeri Jakarta.
Ruang publik menjadi isu sensitif di negara maju. Warganya memperjuangkan kesetaraan hingga menempuh jalur hukum lewat gugatan. Alhasil, ada regulasi yang ketat dan jelas dari pengambil kebijakan untuk mengatur hak dan kewajiban agar setara.
”Kita bermasalah dengan kesadaran warga kota dan ada problem struktural pada pengambil kebijakan. Orang-orang berperilaku tidak rasional, tidak patuh, dan taat,” ucap Rakhmat yang mengampu mata kuliah Sosiologi Perkotaan.
Di sisi lain ada ketidakpercayaan terhadap hukum, masyarakat, dan negara. Ketidakpercayaan ini membuat pengguna jalan berpikir bisa berbuat semaunya karena jalanan dipandang sebagai area tak bertuan.
Kondisi tersebut diperparah dengan jabatan, koneksi, dan uang yang membuat orang cenderung merasa bisa leluasa berbuat semaunya dan merasa di atas angin ketika di jalanan karena hukum tidak berfungsi maksimal.
”Seberapa penting mereka, lewat mengganggu lalu lintas. Padahal, orang sakit, melahirkan, atau insiden kebakaran lebih penting dan darurat,” ujar Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada Achmad Munjid.