Revitalisasi tidak semata-mata mementingkan cagar budaya, tetapi juga warga setempat agar bisa ikut menikmati udara bersih. Mengalihkan lalu lintas justru menimbulkan kemacetan dan menambah emisi di lingkungan lain.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji kembali penyediaan zona bebas emisi atau low emission zone di Kota Tua yang sudah berjalan lebih dari setahun terakhir. Pencatatan dampak pada pengurangan polusi dan pengalihan lalu lintas dinilai perlu dievaluasi.
Kota Tua ditetapkan sebagai low emission zone (LEZ) pada awal tahun 2021. Sejak saat itu, hanya Transjakarta, pesepeda, dan pejalan kaki yang boleh masuk dan lewat di sekitar kawasan yang berbatasan dengan Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Lada, dan depan Museum Mandiri itu. Lalu, jalan ditutup untuk perluasan jalur pejalan kaki hingga 29.000 meter persegi, seperti di Jalan Ketumbar, Jalan Kemukus, dan Jalan Lada. Pembangunan ini mengurangi lalu lintas kendaraan bermotor.
Meski demikian, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, saat ditemui di depan Gedung Balai Kota, Jakarta Pusat, Jumat (16/9/2022), menilai LEZ di Kota Tua masih perlu dikaji dari berbagai sisi. Salah satunya dampak pada penurunan polusi udara di sekitarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut dalam laporan akhir tahun 2021, kualitas udara di kawasan Kota Tua meningkat signifikan. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebelum LEZ diterapkan adalah 58 dan 53 (kategori sedang), sedangkan setelah LEZ diterapkan nilai ISPU turun ke angka 49 (kategori baik).
”Dikatakan berhasil, tapi lucunya data polusi udara diambil sekitar dua minggu. Kalau mau serius harus dari kapan dibuka sampai sekarang dikaji seberapa penurunan polusi udaranya. Sangat sulit menghitung data diambil bukan kontinu, tapi di hari-haru tertentu. Kalau mau setahun diambil, itu bisa dianalisis, jangan dipilih-pilih datanya,” ujarnya.
Bondan juga mengkritisi pengalihan lalu lintas yang menurut dia menambah kemacetan dan memindahkan akumulasi polisi udara ke lokasi lain. Hal senada diutarakan anggota Tim Ahli Cagar Budaya, Candrian Attahiyyat. Ia menemukan kemacetan justru berpindah ke jalan lain dan merugikan warga sekitar.
”Revitalisasi (seharusnya) tidak semata-mata mementingkan cagar budaya, tetapi juga warga di situ agar bisa ikut menikmati udara bersih. Cara mengalihkan lalu lintas yang dilakukan justru menimbulkan kemacetan dan menambah emisi di lingkungan lain yang terdampak pengalihan, seperti kawasan Asemka dan Glodok,” ujarnya per telepon.
Penerapan jalur ganjil genap, lanjutnya, bisa diperluas untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang bisa tetap menghasilkan emisi karbon. Di sisi lain, Bondan berharap pemerintah pusat ikut terlibat untuk mendukung jumlah kendaraan bermotor di Jakarta.
Apa itu masyarakat modern sebuah kota? Masyarakat yang mengandalkan transportasi, masyarakat yang menjalankan mobilitas bebas emisi.
Sebelumnya, dalam gugatan 31 warga Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021), memutuskan bahwa Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat bertanggung jawab atas pencemaran udara di Ibu Kota.
Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memilih banding terhadap putusan pengadilan. Gubernur DKI Jakarta tidak memilih banding, tetapi belum maksimal dalam upaya menekan polusi udara.
”Kami ingin agar ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah. Jangan bertolak belakang, Jakarta bikin ganjil genap, tetapi nasional bikin keringanan membayar pajak kendaraan bermotor yang akhirnya menambah kendaraan. Hampir setiap kota menunjukkan, sumber polisi utama dari kendaraan,” imbuhnya.
Diperluas
Jika LEZ Kota Tua ternyata sudah berhasil mengurangi polusi udara di kawasan Kota Tua, Bondan mengusulkan agar penerapan itu diperluas ke kawasan lain, seperti Sudirman-Thamrin di Jakarta Pusat.
”Kalau mau niat dan hasilnya signifikan bisa coba di Sudirman-Thamrin karena sudah ada MRT, Transjakarta, sepeda sewa. Kalau LEZ diberlakukan di sana, banyak pilihan transportasi yang bisa diambil masyarakat,” ujarnya.
Gubernur Anies Baswedan dalam acara peresmian pembukaan kembali kawasan Kota Tua, Sabtu (10/9/2022), mengatakan, kawasan cagar budaya itu menjadi kasus percontohan LEZ di Jakarta. LEZ ditujukan tidak hanya untuk mengurangi emisi, tetapi juga mewujudkan peradaban modern yang mengandalkan transportasi publik.
”Kami namai kawasan ini Batavia, merupakan tempat penuh sejarah. Tapi, datang ke sini bukan hanya untuk melihat masa lalu, tetapi juga untuk melihat masa depan, masa depan kota modern. Apa itu masyarakat modern sebuah kota? Masyarakat yang mengandalkan transportasi, masyarakat yang menjalankan mobilitas bebas emisi,” tuturnya.