Penanggulangan Banjir Tangerang Selatan Terjegal Lahan
Program penanggulangan banjir di Kota Tangerang Selatan, Banten, belum maksimal lantaran terkendala keterbatasan lahan untuk parkir dan penyerapan air.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Bentang alam dan alih fungsi lahan selama bertahun-tahun menyebabkan Kota Tangerang Selatan, Banten, kerap kebanjiran akibat kiriman air dari hulu maupun hujan deras. Program penanggulangan banjir pun belum maksimal lantaran terkendala keterbatasan lahan.
Topografi berupa dataran rendah dengan ketinggian 10-18 meter di atas permukaan laut (dpl) membuat Tangerang Raya rawan banjir. Kali terakhir, hujan deras lebih dari dua jam pada Sabtu (10/9/2022) sore menyebabkan sedikitnya 14 kawasan di Kota Tangerang Selatan terendam banjir. Sebanyak 2.135 keluarga terdampak banjir setinggi 30 sentimeter hingga 1,2 meter.
Berdasarkan laporan bencana Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kota Tangerang Selatan per Minggu (11/9/2022), banjir terjadi karena drainase tidak mampu menampung debit air hujan, luapan Kali Angke dan Kali Serua, serta adanya perbaikan turap.
”Sedang dikerjakan mengeruk sedimentasi drainase supaya daya tampung air bisa lebih banyak. Ada kesulitan lahan, sebabkan sulitnya perluasan drainase,” tutur Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie, Rabu (14/9/2022).
Untuk kawasan perumahan milik pengembang, Pemkot Tangerang Selatan berkoordinasi dengan pengembang untuk menanggulangi banjir. Kemal dari bagian Humas Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Kontruksi Kota Tangerang Selatan, mengatakan, organisasi perangkat daerah memanfaatkan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang ada untuk mengatasi keterbatasa lahan.
Rawan banjir
Banjir di kawasan Tangerang Raya diakibatkan alih fungsi lahan pertanian (sawah, kebun, tegalan/ladang) menjadi lahan permukiman dan fasilitas pendukungnya. Peningkatan lahan permukiman di kawasan Tangerang terjadi akibat pengaruh perluasan wilayah perkotaan Jakarta (Kompas, 21 Februari 2020).
Lahan sawah dan kebun beralih menjadi permukiman. Langkah awal dimulai dengan kehadiran kawasan properti Bumi Serpong Damai yang pada 1984 mengklaim sebagai kota mandiri pertama di Indonesia. Kawasan BSD di Tangerang Selatan ini mengubah perkebunan karet menjadi permukiman.
Selain itu, sejumlah situ yang seharusnya menjadi daerah resapan dan kawasan parkir air ditimbun dan dijadikan lahan permukiman. Catatan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, jumlah situ di Tangerang Raya terus menurun selama sepuluh tahun terakhir.
Contohnya, Situ Rompong di Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, yang luasnya menurun hingga 60 persen akibat dari pendangkalan dan dikepung rumah-rumah liar.
Belum ada saluran terintegrasi. Pekan ini direncanakan ada pembahasan banjir dengan Pemkot dan pengembang supaya sinkronisasi mitigasi.
Risiko bencana
Analisis inaRISK, portal kajian risiko bencana milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa 36 persen dari 1,3 juta warga Kota Tangerang Selatan terpapar banjir. Tingkat kapasitas daerah sedang dengan indeks risiko bencana 87,44 dari rentang 0-110.
BNPB merekomendasikan tujuh program prioritas kepada Pemkot Tangerang Selatan. Prioritas pertama memperkuat kebijakan dan kelembagaan; kedua, mengkaji risiko dan perencanaan terpadu; ketiga, pengembangan sistem informasi, diklat, dan logistik; keempat, penanganan tematik kawasan rawan bencana; kelima, peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana; keenam, perkuatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana; dan ketujuh, pengembangan sistem pemulihan bencana.
Salah satu rekomendasi yang sejalam dengan evaluasi DPRD Kota Tangerang Selatan adalah penguatan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah berbasis kajian risiko bencana untuk pengurangan risiko bencana.
Anggota Komisi IV DPRD Tangerang Selatan, Alexander Prabu, menyebutkan, Pemkot Tangerang Selatan harus memetakan titik banjir yang terus berulang, seperti di Pondok Maharta dan Villa Mutiara. Pemetaan itu terperinci berdasarkan penyebab dari drainase, luapan kali atau lainnya agar mitigasinya tepat sasaran.
”Belum ada saluran terintegrasi. Pekan ini direncanakan ada pembahasan banjir dengan Pemkot dan pengembang supaya sinkronisasi mitigasi,” kata Alexander.
DPRD Tangerang Selatan juga mendorong anggaran Rp 300 miliar untuk Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Kontruksi Tangerang Selatan dalam APBD tahun 2023. Anggaran sebesar itu termasuk untuk penanggulangan banjir yang terus berulang.
”Ini supaya masalah banjir tertangani. Kalau tidak, wali kota dan wakilnya periode ini gagal,” ucap Alexander.