Kala Sopir Angkutan ”Nombok” gara-gara Harga BBM Naik
Berhari-hari menunggu tarif dinaikkan, para sopir angkutan umum harus lebih dulu membayar sendiri naiknya ongkos operasional dari kantong pribadi demi kepentingan publik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Seorang penumpang naik ke bus Mayasari 70A jurusan Tanah Abang-Cileungsi di pinggir Jalan Gatot Subroto, kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, Selasa (6/9/2022).
Sopir dan kondektur bus Mayasari 70A jurusan Tanah Abang-Cileungsi duduk-duduk di pinggir jalan di Jalan Gatot Subroto, kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Mereka mengetem setidaknya 20 menit, menikmati rutunitas baru setelah pandemi sambil menghayati lagu lama kenaikan harga bahan bakar minyak.
Selasa (6/9/2022), tiga hari setelah pemerintah mengumumkan harga bahan bakar minyak (BBM) naik, Wahyu (40) dan kawan-kawannya yang mengemudikan bus hanya bisa gigit jari. Harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Kenaikan harga sampai 32 persen itu begitu terasa karena dalam sehari, satu bus membutuhkan 105-140 liter solar.
”Satu PP (pulang pergi) bus ini butuh solar 35 liter. Kalau 3-4 kali PP hitung aja butuh berapa. Beli solar sehari bisanya Rp 600.000, jadi hampir Rp 800.000. Setoran ke kantor tetap sama, tapi BBM beli sendiri, otomatis uang makan keambil. Kita udah nombok duluan dari kemarin,” ungkapnya.
Meski beban itu bisa dibagi antara sopir dan kondektur, mereka harus merelakan pendapatan mereka yang sudah dikurangi setoran untuk biaya bahan bakar. Wahyu sendiri masih ragu ia dan perusahaannya akan menaikkan ongkos naik bus ke penumpang.
”Sekarang mau naikin tarif enggak bisa sembarangan, apalagi udah naik sejak korona. Sekarang Rp 20.000 per penumpang, sebelumnya Rp 15.000. Sekarang jalanin dulu ajalah. Kadang bisa bawa uang ke rumah kadang enggak, namanya kita nggak ada gaji harian, cuma ngandelin kelebihan setoran,” ujarnya.
Pertimbangan untuk menaikkan ongkos juga riskan karena jumlah penumpang masih jauh berkurang. Sebelum pandemi, bus mereka cepat terisi penumpang begitu sampai di sekitar kawasan perkantoran di Semanggi itu. Namun, dua tahun belakangan ini, mereka harus mengetem sampai hampir setengah jam.
Agung, sopir lain dari trayek sama, pun hanya bisa berpasrah harus menomboki sampai Rp 250.000 bersama satu rekan kerjanya untuk bisa menutupi biaya bensin sehari. Ia hanya beruntung karena tidak memiliki tanggungan selain orangtua yang memahami keadaannya. Ia kini belajar mengurangi pengeluaran untuk makan dan rokok.
”Kalau dari saya sendiri bingung juga. Mau berbantah ke kantor, pasti salah. Ya udah, kita jalanin aja apa adanya, yang penting usaha,” kata pemuda lulusan STM yang sudah tiga tahun menjadi sopir bus.
Selain pengemudi bus, pengemudi angkutan kota (angkot) reguler juga terdampak kenaikan biaya BBM. Jaki, sopir angkot M 09 jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama kini harus membayar lebih untuk pengeluaran bensin sampai Rp 50.000 sehari. Sementara itu, tidak ada sinyal jumlah setoran ke pemilik angkot sebesar Rp 120.000 sehari akan turun.
”Kita sendiri susah kasih tau penumpang kalau ongkos naik. Syukur kalau ada yang bayar Rp 5.000 arau Rp 6.000. Masih banyak penumpang yang bayar Rp 2000, Rp 3.000,” kata Jaki.
Pemerintah mana mau tahu anak istri nunggu di rumah, padahal saya enggak bisa bawa pulang banyak uang. Narik empat jam cuma bisa bawa pulang Rp 60.000, padahal dulu bisa Rp 100.000.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Sopir angkot M09 jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama mengoperasikan kendaraannya di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (7/9/2022). Kenaikan harga BBM ikut memukul penghasilan para sopir yang saat ini sudah sepi penumpang.
Sopir lain seperti Ratno juga semakin miris dengan kondisinya. Selain karena faktor penumpang yang semakin sepi, kenaikan harga BBM dan daya bayar penumpang membuatnya hanya membawa sedikit uang buat keluarga di rumah.
”Pemerintah mana mau tahu anak istri nunggu di rumah, padahal saya enggak bisa bawa pulang banyak uang. Narik empat jam cuma bisa bawa pulang Rp 60.000, padahal dulu bisa Rp 100.000,” ungkapnya.
Baik Jaki maupun Ratno semakin malas membawa angkot untuk penumpang. Mereka lebih senang keluar pagi-pagi sekali di Pasar Tanah Abang agar angkotnya bisa dipakai untuk disewa para pedagang. Bayarannya lebih besar daripada penghasilan menjalankan angkot sesuai trayek dengan jumlah penumpang tak tentu.
Di Jakarta ada sekitar 4.400 mobil dari total 6.600 mobil angkot yang belum terintegrasi dalam manajemen PT Transjakarta melalui ekosistem Jaklingko. Artinya, pengemudi mobil angkot itu masih harus mengejar setoran sehingga bernasib sama dengan sopir bus yang diceritakan sebelumnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, dihubungi Rabu (7/9/2022), mengatakan, mereka sedang membahas rencana kenaikan harga tarif angkot reguler itu bersama Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta dan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ).
Organda DKI Jakarta sebelumnya memprediksi, tarif angkot reguler berpotensi naik antara 12,5 persen-17,5 persen agar meringankan sopir (Kompas.id, 5/9/2022). Sementara itu, angkot yang terintegrasi Jaklingko, baik pada koridor utama Transjakarta maupun layanan non-BRT, tidak akan ada kenaikan tarif.
Sehari kemudian, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, Kamis (8/9/2022), menjelaskan, untuk tarif angkutan umum reguler, dalam hal ini angkutan umum atau angkot, Dinas Perhubungan sudah menerima rekomendasi Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ). Ada usulan kenaikan Rp 1.000.
”Mereka usulkan agar ada kenaikan Rp 1.000 menjadi Rp 6.000,” kata Syafrin.
Adapun angkutan umum yang sudah tergabung dalam program Jaklingko, seperti Transjakarta, tidak mengalami kenaikan tarif. ”Tarifnya tetap Rp 3.500,” ujar Syafrin.
Kesepakatan kenaikan tarif layanan angkot yang belum terintegrasi dengan Transjakarta atau Jak Lingko tersebut selanjutnya diusulkan ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Diharapkan pekan ini, gubernur akan menetapkan kenaikan tarif secara resmi. Akan tetapi, sampai Jumat (9/8/2022), yang ditunggu itu belum terealisasi.
Ketua DPD Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan juga mengonfirmasi bahwa mereka hanya membahas penyesuaian tarif mobil angkot. ”Iya benar, yang dibahas usulannya hanya untuk tarif angkot. Sementara, bus AKAP (antar kota antar provinsi) di Kementerian Perhubungan. Khusus yang reguler,” katanya.
Seperti Wahyu, pengemudi ojek daring seperti Solehatin justru takut jika ongkos angkutan mereka dinaikkan, walaupun ia juga ikut merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Konsumen pertalite itu kini harus mengeluarkan uang 30 persen lebih banyak dari koceknya. Jika sebelumnya ia butuh Rp 50.000 untuk mengisi bensin, hari-hari ini ia menghabiskan sekitar Rp 65.000 sehari.
”Mulai berasa sekali. Apalagi penumpang yang saya antar belum banyak bertambah. Sehari saya bisa narik rata-rata 30 penumpang,” kata ayah yang masih harus menanggung empat anak yang sedang bersekolah ini.
Ia memang bukan tulang punggung keluarga. Istrinya berjualan nasi di Pasar Tanah Abang dengan omzet Rp 2 juta sampai Rp 3 juta sehari. Meski demikian, ia tetap mengandalkan pekerjaan itu agar tidak menganggur di tengah berbagai tantangan setelah pandemi.
”Kalau ada bantuan, saya bersyukur. Apa pun itu, mau bantuan sembako atau tunai pasti sangat bisa meringankan buat keluarga saya,” ujarnya.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas tidak setuju harga BBM untuk angkutan umum ikut naik. Kebijakan itu sebaiknya difokuskan kepada kendaraan pribadi agar mendorong masyarakat berhemat BBM hingga beralih ke transportasi angkutan massal. Biaya angkutan penumpang dan barang tidak naik agar tidak berdampak luas kepada kenaikan harga barang (Kompas.id, 5/9/2022).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Djoko Setijowarno
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menyarankan agar pemerintah menyubsidi BBM yang digunakan angkutan barang dan penumpang umum. Ini dinilai lebih mudah karena Kementerian ESDM di 2012 mendata, angkutan umum hanya menggunakan 3 persen BBM bersubsidi. Adapun sekitar 53 persen BBM subsidi digunakan oleh mobil dan 40 persen oleh sepeda motor.
”Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk angkutan umum, baik angkutan penumpang maupun barang yang berbadan hukum. Terkait subsidi pula, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan subsidi bagi pengembangan program buy the service (BTS) Kementerian Perhubungan yang saat ini sudah beroperasi di 11 provinsi,” tuturnya dalam keterangan tertulis.
Ia tidak setuju jika subsidi diberikan kepada pengemudi transportasi daring. Ia menilai, pemerintah belum memiliki data pasti terkait jumlah pengemudi ojek daring yang bermitra dengan perusahaan aplikator. Selain itu, subsidi dikhawatirkan menguntungkan pihak perusahaan daripada mitra mereka.
Masukan-masukan itu harusnya menjadi mitigasi yang disiapkan pemerintah pusat sebelum kenaikan harga BBM benar-benar terjadi. Kalau sudah begini, para pengemudi angkutan hanya akan terbebani, menomboki beban pemerintah demi kepentingan publik.