Antara Sampah, ”Kotaku”, dan TPS3R di Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan mencatat sampah di sana belum sepenuhnya tertangani. Untuk mengatasinya, diperlukan terobosan seperti membangun TPS3R. Namun, program TPS3R tak selalu berjalan baik, salah satunya di Serpong.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kondisi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Cipeucang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (25/5/2019).
TANGERANG SELATAN, KOMPAS - Kota Tangerang Selatan, Banten, belum optimal mengelola sampah milik 1,3 juta jiwa penduduknya. Mesti ada pelibatan warga secara aktif untuk mengelola sampah di permukiman dengan keberadaan bank sampah atau tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, recycle atau TPS3R.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan mencatat 1.000 ton timbulan sampah setiap harinya dari luasan wilayah 164,85 kilometer persegi. Sebanyak 400 ton masuk ke TPA Cipeucang di Serpong dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Cilowong di Kota Serang. Sementara sisanya masuk ke 135 bank sampah, 42 TPS3R, dan tidak terangkut.
”Idealnya minimal setiap RW memiliki TPS3R untuk dapat mengurangi beban sampah yang harus dikelola di TPA. TPS3R berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional bisa mengelola 26 persen sampah di Tangerang Selatan,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman, Senin (5/9/2022).
Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 kecamatan, 54 kelurahan, 714 rukun warga, dan 3.723 rukun tetangga. Penduduknya mencapai 1,3 juta jiwa dengan kepadatan 8.284 jiwa per km persegi.
Salah satu upaya menambah TPS3R melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Salah satu upaya Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di perkotaan dan mendukung gerakan 100 persen akses air minum layak, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak.
Kurang sosialisasi pembangunan untuk apa dan dampak lingkungannya. Warga, kan, berhak tahu.
Pelaksanaan Kotaku melibatkan kolaborasi pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan warga. Implementasi pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh dimulai dari pendataan, perencanaan pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan keberlanjutan.
Setiap tahapan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan warga, pemerintah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan lain. Pembangunan yang dilakukan (termasuk pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh) tidak boleh merugikan warga sehingga selalu menerapkan penapisan (pengamanan) lingkungan dan sosial (environment and social safeguard).
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Pemancing dengan tumpukan sampah di sampingnya di Sungai Cisadane di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (9/10/2021).
Pelibatan warga
Dalam perjalanannya, Kotaku tak lepas dari dukungan dan protes warga. Salah satu penolakan datang dari sebagian warga Sektor XIV-5 Nusaloka BSD City RT 005 RW 007 Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Serpong.
Setidaknya 30 warga menolak pembangunan TPS3R dan tangki septik komunal. Pembangunan menelan anggaran Rp 1 miliar selama 120 hari. Nina, salah satu warga, menolak pembangunan TPS3R karena kurang sosialisasi dari Pemkot Tangerang Selatan, pelaksana program Kotaku, dan pengurus warga.
”Kemarin ada pertemuan dengan camat dan sekretaris lurah, tapi gagal karena tidak ada titik temu. Tapi, pembangunan tetap berjalan,” ucap Nina.
Anggota DPRD Tangerang Selatan, Alexander Prabu, telah menemui warga yang menolak sekaligus menjaring aspirasi. Menurut dia, warga tidak setuju lahan terbuka hijau tiba-tiba menjadi lokasi pembangunan TPS3R.
”Kurang sosialisasi pembangunan untuk apa dan dampak lingkungannya. Warga, kan, berhak tahu. Teknologinya bagaimana, pengelolaannya sehingga warga putuskan mau atau tidak,” kata Alexander.
Pada sisi satunya memang Tangerang Selatan memerlukan tambahan TPS3R. Akan tetapi, tak bisa serta-merta pembangunan tanpa kajian dampak lingkungan dan sosialnya.
”Fasilitas umum dan fasilitas sosial dipakai bersama-sama. Jangan kemudian berdampak buruk pada warga,” ucapnya.
Pertanyaan publik yang muncul kemudian adalah apakah kawasan perumahan di BSD City tersebut tepat sebagai sasaran program Kotaku yang memprioritaskan revitalisasi area permukiman kumuh. Tidak heran jika selain masalah sosialisasi yang belum maksimal, muncul pula berbagai praduga program Kotaku, khususnya TPS3R di wilayah tersebut, asal-asalan dan tidak tepat sasaran.
M PUTERI ROSALINA
Sampah makanan yang ditemukan di kolong halte di Jalan Letnan Sutopo, Tangerang Selatan, Minggu (8/5/2022).
Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan telah mengupayakan mediasi antara warga yang menerima dan menolak. Namun, upaya tersebut masih buntu.
”Solusi akan terus diupayakan agar duduk berdiskusi, dijelaskan bagaimana manfaat, serta apabila ada dampak, maka akan diberikan penjelasan dan pengertian,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman.
Masalah pengelolaan sampah di Tangerang Selatan memerlukan solusi yang efektif. TPA Cipeucang dengan daya tampung 200-300 ton per hari sudah penuh. Bahkan, pernah terjadi longsor dan mencemari Sungai Cisadane yang berbatasan langsung dengan TPA pada tahun 2020.
Pemkot Tangerang Selatan menjajal kerja sama dengan Pemkot Serang berupa bantuan keuangan khusus sebesar Rp 21,7 miliar selama tiga tahun untuk membuang 400 ton sampah setiap harinya ke TPA Cilowong.
Pemkot Tangerang Selatan juga menjajal kerja sama dengan Pemprov Jawa Barat untuk membuang sampah di Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah Lulut-Nambo, Kabupaten Bogor. Juga dalam tahap studi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di TPA Cipeucang (Kompas, 1 November 2021).