Ketika Pekerja Bekasi Cemas Hadapi Inflasi
Pengeluaran satu rumah tangga di Bekasi setiap bulan rata-rata Rp 16.888.587. Kalangan pekerja kian cemas menghadapi inflasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak.

Buruh berunjuk rasa damai di kantor Dinas Tenaga Kerja di Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021). Buruh menuntut upah minimum kota/kabupaten (UMK) dinaikkan sebesar 10 persen.
Gaji tinggi tak menjamin pekerja industri di Bekasi, Jawa Barat, hidup layak. Tanpa inflasi dan kenaikan bahan bakar minyak pun, mereka harus cerdik mengatur keuangan agar seimbang antara pengeluaran dan pendapatan.
Gorengan seorang pedagang di pintu masuk pabrik garmen, Jalan Narogong Raya, Rawalumbu, Kota Bekasi, laris manis. Pekerja yang keluar dari pabrik silih berganti memesan jajanan pedagang itu. Ada yang membeli tempe, tahu, atau bakwan goreng. Gorengan itu kemudian dibungkus plastik dan dibawa pergi.
Sebagian pekerja menyeberangi Jalan Narogong Raya menuju ke warteg terdekat. Di sana, mereka memesan menu yang tersedia, mulai dari orek tempe, telur dadar, sayur kangkung, serta minuman teh panas. Harga makanan di warteg itu cukup terjangkau. Dengan modal Rp 15.000, sudah cukup mengisi perut.
Aktivitas di Jalan Narogong Raya pada Senin (29/8/2022) sore itu merupakan kegiatan rutin sejumlah pekerja industri seusai bekerja. Sebagian dari mereka memilih terlebih dahulu mengisi perut sebelum kembali rumah.
Baca juga: Gara-gara Inflasi, Tawar-Menawar di Pasar Berubah Jadi Omelan

Buruh membawa alat perlindungan diri yang akan disumbangkan ke sebuah rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (1/5/2020). Pemberian donasi itu dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional 2020.
Rutinitas itu sudah ditempuh Rahmad (34) selama satu tahun. Karyawan dengan upah bulanan Rp 4,2 juta itu selama satu tahun terakhir harus mengencangkan ikat pinggang alias berhemat.
”Biaya makan saya dari gaji istri. Setiap hari dikasih Rp 50.000. Hanya cukup buat makan seperti, ini dua kali dan beli rokok 2-3 batang,” kata lelaki yang sudah tiga tahun bekerja di perusahaan tekstil.
Gaya hidup Rahmad mulai berubah sejak dirinya menikah pada November 2020. Sekitar 60 persen upah bulanan disimpan sebagai tabungan untuk membangun rumah.
Dia juga masih memiliki cicilan di salah satu perbankan. Dirinya pada awal 2020 mengambil pinjaman angsuran berjangka selama tiga tahun untuk membeli sebidang tanah di wilayah Sukawangi, Kabupaten Bekasi.
Lelaki lulusan sekolah menengah kejuruan itu mengaku, selama mulai menabung untuk membangun rumah, dirinya tidak lagi memiliki keleluasan mengelola keuangan. Bersama istrinya, mereka hanya hidup dari gaji bulanan istri sebesar Rp 3,7 juta.
Uang Rp 3,7 juta itu setiap bulan digunakan untuk membayar biaya kos, listrik, dan air sebesar Rp 1 juta. Selebihnya digunakan untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari.

Buruh pemetik mendapatkan bayaran usai mengangkut daun ketela yang dibawa dengan perahu di Kali Piket, Desa Sukatenang, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019). Daun ketela per ikat dijual Rp 2000.
Biaya hidup
Upaya menyiasati upah demi mencukupi kebutuhan hidup juga dilalui sejumlah pekerja industri di wilayah Kabupaten Bekasi yang masih berstatus lajang. Salah satunya seperti yang dilakukan Tedi (29), warga yang tinggal di Kota Bekasi.
Lelaki yang bekerja di perusahaan multiproduk di Cikarang itu, upah bulanannya Rp 5 juta. Namun, sebagian besar penghasilannya habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca juga: Meski Belum Dicabut, Pekan Ini Pemerintah Alihkan Subsidi BBM ke Bansos Rp 24,17 Triliun
Dari upah Rp 5 juta, rata-rata pengeluaran bulanannya mencapai Rp 3,4 juta. Pengeluaran rutin itu mulai dari kebutuhan makan dan minum sebesar Rp 75.000 per hari, bahan bakar minyak Rp 20.000 per hari, biaya sewa indekos Rp 750.000 per bulan, hingga biaya paket internet dan telpon, serta biaya rekreasi.
”Masih bisa tabung, mulai dari Rp 250.000-Rp 500.000 tiap bulan. Cuma enggak menentu. Ada bulan-bulan tertentu malah minus,” kata lelaki yang sudah memasuki tahun kedua bekerja di kawasan industri, Jumat (26/8/2022) sore.
Kesulitan pekerja di Bekasi mengatur pendapatan dan pengeluaran terekam dalam data Badan Pusat Statistik. Kota Bekasi merupakan salah satu kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia. Biaya hidup satu rumah tangga di Bekasi nyaris setara dengan biaya hidup rumah tangga di DKI Jakarta.

Spanduk penolakan kaum buruh terhadap RUU Ombibus Law Cipta Lapangan Kerja menghiasi Jalan Irian, Jatiwangi, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Senin (25/5/2020). Pekan lalu, sekalipun DPR sedang reses, Panitia Kerja RUU Cipta Kerja DPR melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dengan perwakilan pemerintah.
Dari survei biaya hidup 2018 oleh BPS yang dipublikasikan pada 2020, rata-rata pengeluaran setiap rumah tangga di Bekasi sebesar Rp 16.888.587 per bulan. Pengeluaran terbesar untuk kebutuhan konsumsi, yakni mencapai Rp 13.680.544.
Pengeluaran konsumsi satu rumah tangga di Bekasi tiap bulan lebih tinggi dari pengeluaran rumah tangga di Jakarta. Satu rumah tangga di Ibu Kota rata-rata menghabiskan Rp 13.455.613 untuk konsumsi dari total pengeluaran bulanan rumah tangga sebesar Rp 16.897.727.
BPS dalam survei kebutuhan hidup 2018 juga merekam biaya kebutuhan hidup per kapita atau per jiwa di Bekasi. Pengeluaran satu individu Bekasi rata-rata Rp 4.119.168 per bulan. Pengeluaran per kapita sebulan dominan untuk kebutuhan konsumsi, yakni sebesar Rp 3.336.718.
Di Bekasi, upah minimum pekerja pada 2022 hampir menyentuh Rp 5 juta per bulan. Upah minimum pekerja di Kota Bekasi sebesar Rp 4.816.921,17 per bulan. Sementara itu, di Kabupaten Bekasi upah minimum pekerja setiap bulan Rp 4.791.843,90.
Banyak kendala
Meski upah minimum Bekasi hampir mencapai Rp 5 juta per bulan, dalam pelaksanaannya masih ada pekerja yang diupah di bawah standar upah minum. Di satu sisi, di Kabupaten Bekasi, misalnya, pada 2022 tidak ada kenaikan upah minimum.
Menurut salah satu anggota Dewan Pengupahan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Bekasi, Mujito, upah minimum di Kabupaten Bekasi pada 2022 merupakan hasil perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) pada 2021. Sebab, kebutuhan hidup layak pekerja di 2022 saat itu tidak diakomodasi karena tuntutan kenaikan upah dari kalangan buruh tidak diterima pemerintah.

Buruh aksi mogok kerja di dalam pagar pabriknya di kawasan industri MM2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja dengan menghentikan produksi dari tanggal 6-8 Oktober tersebut sebagai bentuk protes pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah.
”Pendapatan buruh itu sudah lebih besar pasak dari tiang. Dengan adanya kenaikan bahan bakar minyak, kebutuhan hidup juga bakal meningkat,” kata Mujito.
Seperti diketahui, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga ditetapkan untuk BBM bersubsidi, yakni pertalite dan solar.
Harga pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga per liter solar bersubsidi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800. Selain itu, pemerintah juga mengumumkan kenaikan harga pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
”Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN,” kata Presiden Joko Widodo (Kompas.id, 3/9/2022).
Namun, lanjut Presiden, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat, yakni dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun dan diperkirakan terus meningkat. Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa 70 persen lebih subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi.
Menurut Presiden, mestinya uang negara itu diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu. ”Saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian,” katanya.
Sebagian subsidi BBM pun akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran. Bantuan langsung tunai (BLT) BBM sebesar Rp 12,4 triliun diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp 150.000 per bulan dan mulai diberikan pada bulan September selama empat bulan. Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp 600.000.
”Saya juga telah memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp 2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, bantuan ojek online, dan untuk nelayan. Pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran. Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Keputusan penyesuaian harga BBM yang diambil pemerintah memang tidak terelakkan. Namun, kegalauan dan realitas yang dialami pekerja juga layak diperhatikan. Kecemasan pekerja sejatinya tidak hanya terkait kenaikan harga BBM bersubsidi, tetapi juga inflasi bakal mengikuti kenaikan harga BBM itu.