Bapemperda DPRD DKI Setujui Pencabutan Perda Tata Ruang
Bapemperda DPRD DKI Jakarta menyetujui rancangan peraturan daerah tentang pencabutan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata ruang dan zonasi. Persetujuan akan segera dibawa ke rapim dewan untuk tindak lanjut.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta menyetujui rancangan peraturan daerah tentang Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Badan Pembentukan Peraturan Daerah segera melaporkan persetujuan itu ke rapat pimpinan DPRD DKI.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan seusai rapat kerja dengan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta, Senin (15/8/2022), mengungkapkan, proses pencabutan Perda Nomor 1 Tahun 2014 dilakukan lantaran sudah terbit Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR-WP) DKI.
Adapun perubahan dari peraturan daerah (perda) menjadi peraturan gubernur (pergub), disebutkan Nainggolan, sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah format kebijakan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) DKI. Undang-undang ini menyebutkan, kebijakan tata ruang cukup diatur dalam peraturan kepala daerah.
Dari laman resmi DPRD DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disebutkan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pencabutan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta pada 1 Agustus 2022.
Dalam rapat itu Anies menjelaskan, pencabutan perda dilakukan karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menjadi salah satu peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, diamanatkan untuk dilakukan penetapan RDTR dan Peraturan Zonasi dalam bentuk peraturan kepala daerah. Penetapan dilakukan dengan mengikuti pedoman penyusunan dan penyajian basis data sesuai norma standar prosedur dan ketentuan yang berlaku secara nasional.
Setelah Peraturan Kepala Daerah tentang RDTR dan Peraturan Zonasi selesai disusun, lalu ditetapkan menjadi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR WP) Provinsi DKI Jakarta. Pergub itu ditetapkan pada 27 Juni 2022. Nainggolan melanjutkan, usai rapat paripurna itu sudah ditindaklanjuti dengan pembahasan di Bapemperda tentang pencabutan perda RDTR tersebut.
Namun, rapat belum menghasilkan persetujuan karena anggota DPRD DKI meminta diperlihatkan Pergub No 31/2022 sehingga rapat pembahasan dilanjutkan Senin. Dalam rapat kerja, Senin (15/8/2022), pihak eksekutif yang diwakili Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI memperlihatkan dan memaparkan ringkasan isi pergub baru tentang RDTR.
Nainggolan pertama-tama menanyakan kepada anggota DPRD apakah menyetujui pencabutan Perda No 1/2014. Anggota dewan yang hadir sebanyak empat orang menyatakan setuju.
Menurut Nainggolan, proses pencabutan Perda No 1/2014 selanjutnya akan dibahas dalam rapat pimpinan sebelum disahkan melalui rapat paripurna dewan. ”Akan dilanjutkan ke paripurna yang dijadwalkan Bamus (Badan Musyawarah),” ujar Nainggolan, yang juga penasihat Fraksi PDI Perjuangan.
Terkait Perda RDTR tersebut, sebetulnya sejak 2019 Pemprov DKI sudah mengajukan revisi RDTR. Namun, sesuai UU Cipta Kerja, Anis kemudian menerbitkan Pergub No 31/2022 sehingga ia memohonkan pencabutan Perda No 1/2014 tentang RDTR-PZ itu.
Perubahan kawasan
Kepala Dinas Citata DKI Jakarta Heru Hermawanto berharap, dengan sudah ada persetujuan pencabutan Perda No 1/2014, layanan bisa segera dijalankan sesuai amanat UU Cipta Kerja.
Dalam Pergub No 31/2022, menurut Heru, sejumlah perubahan kawasan dan zonasi yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun terakhir diakomodasi. Salah satu di antaranya adalah memasukkan pulau-pulau hasil reklamasi.
”Pulau C, D, dan G hasil reklamasi dimasukkan dalam pergub tentang RDTR itu karena sudah terbangunkan. Yang disebut eksisting itu tanahnya sudah muncul. Yang tidak boleh itu kalau memang masih berupa air,” jelas Heru.