Inspirasi dari 16 Kilometer yang Mengubah Wajah Jakarta
MRT Jakarta baru 16 km, tetapi mendorong pemangku kepentingan menata ulang rute layanan antarmoda hingga kawasan dan prasarana fisik agar terintegrasi. Pendekatan pembangunan kota yang menginspirasi seluruh negeri.
Perjalanan Annisa (32) dari rumahnya di Limo, Depok, menuju kantornya di Jakarta Pusat sejak 2019 lebih lancar dan tidak harus berhadapan dengan macet. Ia tidak lagi menggunakan sepeda motornya ke kantor, melainkan memarkirnya di area parkir Stasiun Lebak Bulus dan menggunakan MRT menuju kantor.
”Saya tidak kelelahan saat sampai kantor. Saya juga bisa mengatur waktu perjalanan saya,” kata Annisa di Stasiun Lebak Bulus, Senin (8/8/2022).
Lain Annisa, lain pula pengalaman Wienda P (44). Pada Selasa (9/8/2022), ia hendak menuju kawasan Mampang dari Lebak Bulus. Berangkat dari rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, ia menggunakan jasa ojek daring menuju Stasiun Lebak Bulus.
Ia pun turun di Stasiun MRT ASEAN untuk berganti moda bus Transjakarta di Halte CSW. Pergantian itu sangat nyaman karena begitu keluar dari stasiun ia tinggal menyusuri jembatan penghubung menuju Halte CSW, kemudian naik menuju halte.
”Lancar, tadi perjalanan lancar. Saya dimudahkan dengan adanya jembatan CSW, jadi begitu turun dari kereta di Stasiun MRT ASEAN saya tinggal menyusuri jembatan penghubung dan naik ke halte. Busnya juga cepat datangnya, saya tidak terlambat sampai tujuan,” kata Wienda.
Baca Juga: MRT Jakarta Menatap Pembangunan Kota Berbasis Stasiun
Pengalaman bermobilitas yang mudah dan nyaman itu tak lepas dari latar belakang pembangunan infrastruktur kedua moda angkutan umum itu. Melongok ke 2014, saat jembatan layang koridor 13 Transjakarta yang menghubungkan Ciledug dengan Mampang dibangun, saat itu jalan dibangun saja sebagai jalan layang. Sementara saat itu lintasan MRT Jakarta juga sedang dalam proses pembangunan. Pembangunan masih bersifat sendiri-sendiri tanpa ada perencanaan untuk terhubungkan.
Begitu Koridor 13 selesai dan mulai dioperasikan pada Agustus 2017, saat itu pengelola Transjakarta baru memodifikasi rute layanan yang melewati Koridor 1 dan 13, yaitu untuk bisa mencakup layanan seluas mungkin dan mengatasi kesulitan para penumpang mencapai halte-halte di Koridor 13 yang terletak tinggi di atas permukaan tanah itu.
Kemudian saat pembangunan MRT Jakarta fase 1 dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia sudah mendekati selesai pada 2019, digelarlah sayembara rancangan jembatan penghubung antara Koridor 1 dan 13 Transjakarta dengan MRT Jakarta. Jembatan penghubung dimaksudkan untuk memudahkan pergantian antarmoda dari MRT Jakarta ke Transjakarta, dan sebaliknya. Jembatan dirancang juga untuk membuat sistem angkutan umum yang berbeda jenis bisa saling terhubungkan atau terintegrasi.
Sayembara yang digelar Februari 2019, berbuah pemenang pada April 2019 dan ditindaklanjuti dengan pembangunan jembatan CSW yang merupakan singkatan dari Cakra Selaras Wahana. Dibangun mulai 2020, akhirnya pada Desember 2021 jembatan melingkar dan bersusun selesai dan dioperasikan untuk menghubungkan Stasiun MRT ASEAN dengan Halte CSW Transjakarta.
Alhasil, kemudahan berganti moda hingga waktu perjalanan yang bisa diprediksi sekarang dialami langsung para penumpang. Persis seperti yang dialami Wienda ataupun Annisa.
Keberadaan MRT Jakarta fase 1 meski baru 16 kilometer, memberi cara pandang baru yang tidak dimiliki atau dihadirkan oleh angkutan umum eksisting.
”MRT Jakarta pengaruhnya berbeda dengan moda-moda angkutan umum lainnya yang sebelum-sebelumnya kalau untuk Jakarta. Juga untuk moda transportasi umum lainnya di Indonesia secara umum,” kata Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Aditya Dwi Laksana.
Di sini penataan-penataan integrasi transportasi publik diinisiasi atau setidaknya difasilitasi atau dimotori atau di- lead oleh PT MRT Jakarta.
Sebagai moda angkutan umum perkotaan yang hadir belakangan juga berkaca pada pengalaman penumpang, Aditya melanjutkan, keberadaan MRT Jakarta mendorong para pemangku kepentingan melakukan penataan rute-rute angkutan umum berbasis jalan, Transjakarta. Penataan dilakukan untuk bisa mendukung MRT sebagai angkutan pengumpan atau feeder.
”Jembatan CSW tidak akan dibangun kalau tidak ada Stasiun ASEAN MRT,” ujar Aditya.
Itu memacu pemangku kepentingan dalam hal ini Dishub DKI dan Transjakarta untuk menata pola-pola operasinya supaya bisa saling mendukung dengan operasi MRT Jakarta.
”Ini simbiosis mutualisme. Saya anggap, penataan rute Transjakarta tidak hanya men-support MRT, tetapi juga supaya volume pengguna BRT Transjakarta juga ikut naik,” katanya lagi.
Baca Juga: Halte Transjakarta CSW dan Stasiun MRT ASEAN Mulai Dihubungkan
Seperti pengalaman Wienda, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Haris Muhammadun juga mengatakan, integrasi di simpul-simpul transportasi dibuat sedemikian rupa sehingga pengalaman berpindah antarmoda terasa berbeda dibandingkan dengan yang lalu-lalu. Sebelum integrasi, perpindahan antarmoda lama bahkan susah, sementara jalan kaki jauh.
”Integrasi dikerjakan setelah operator dan pemangku kepentingan betul-betul memiliki lesson learn dari beberapa kenyataan bahwa angkutan-angkutan tersebut membutuhkan integrasi fisik, integrasi sistem, juga integrasi secara lebih luas secara kelembagaan,” katanya.
Kebetulan pula, MRT Jakarta dan Transjakarta adalah BUMD di bawah Pemprov DKI sehingga lebih mudah mengintegrasikan.
”Ini membalikkan keadaan itu, bahwa MRT yang kita bangun ini kebetulan dengan Transjakarta dan dengan angkutan lain bisa dikondisikan dengan baik sehingga masyarakat merasakan dampaknya bahwa integrasi dengan MRT yang baru 16 km ini sudah bisa dirasakan kenyamanannya,” kata Haris.
Integrasi bisa memberikan daya tarik kepada masyarakat untuk beralih ke angkutan umum.
Catatan Transjakarta menyebutkan, sejak adanya CSW, sekarang ada 21 rute layanan bus Transjakarta di titik itu. Sembilan rute di antaranya melewati Koridor 13, sisanya melewati Koridor 1 yang terletak di bawahnya.
Aditya melanjutkan, selain integrasi antarmoda di bawah kewenangan Dishub DKI, MRT Jakarta juga dipergunakan Pemprov DKI Jakarta untuk membentuk sistem transportasi publik di Jakarta yang jauh lebih terintegrasi melalui penataan-penataan. MRT Jakarta berkolaborasi dengan KAI membentuk anak perusahaan, PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) dan memulai penataan-penataan stasiun KRL yang terintegrasi.
Alhasil, saat ini wajah baru sejumlah stasiun KRL terlihat. Penumpang juga bisa berganti moda dengan mudah di stasiun-stasiun itu, mulai dari KRL ke bajaj atau Transjakarta, dań sebaliknya.
”Di sini penataan-penataan integrasi transportasi publik diinisiasi atau setidaknya difasilitasi atau dimotori atau di-lead oleh PT MRT Jakarta,” kata Aditya.
Sebagai penumpang, Annisa juga menyadari, adanya MRT membuat kawasan di sekitarnya berubah menjadi lokasi transit yang lebih baik dan tertata. ”Bahkan, ada ruang-ruang untuk publik yang bisa dinikmati bersama masyarakat atau penumpang, seperti di Dukuh Atas. Sebelumnya tidak ada,” katanya.
Baca Juga: Menengok Wajah Baru Stasiun Tanah Abang Saat Normal Baru
Di kawasan yang biasa ia lewati, angkutan umum sekarang menjadi lebih teratur dan rapi di kawasan Lebak Bulus dan Fatmawati contohnya.
”Ada bus Transjakarta yang rutenya pasti, tidak motong-motong rute seperti dulu Metromini. Lebak Bulus dulu semrawut, sekarang lebih rapi. Tidak ada terminal pun tidak membuat kendaraan umum numpuk karena Transjakarta menata angkutannya,” kata Annisa.
Namun, ia menyarankan supaya angkot diperbaiki supaya orang mau naik angkot dari rumah ke stasiun dan sebaliknya ketimbang naik kendaraan pribadi. ”Mungkin Pemprov DKI bisa bekerja sama dengan pemkot sekitar untuk perbaikan. Masa udah naik MRT yang ber-AC, tapi disuruh nyambung naik angkot yang sumpek. Pasti orang enggak mau,” kata Annisa.
Penataan angkutan umum yang terintegrasi juga kawasan sekitar bisa dilakukan di kota-kota lain di Indonesia dengan memanfaatkan momentum, tidak perlu menunggu dibangun MRT juga.
Dari kawasan yang tertata, Aditya melanjutkan, MRT Jakarta juga memicu pergerakan perekonomian kawasan yang dilintasi. ”Walaupun mungkin dampaknya belum signifikan sekali, ya, tetapi, menurut saya, akan ada arah ke sana apabila kawasan-kawasan stasiunnya sudah dikembangkan untuk lebih men-support sentra-sentra ekonomi di dekat stasiun,” ujarnya.
Ia mencontohkan Blok M Plaza yang jauh lebih hidup ketimbang sebelum ada MRT. Secara langsung, MRT itu berdampak kepada hidupnya lagi Blok M Plaza.
Sementara Haris mengatakan, MRT Jakarta meski baru 16 km turut menumbuhkan kreativitas untuk meregenerasi kawasan yang dilewati. Upaya itulah yang menumbuhkan perekonomian di kawasan.
Namun, tak kalah penting dan justru dengan mudah terlihat, MRT Jakarta memberikan kultur budaya bertransportasi yang jauh lebih maju dan modern.
”Itu jelas. Maksudnya, bagaimanapun juga tidak bisa kita mungkiri, pengguna Transjakarta dan pengguna KRL itu relatif lebih sulit diatur karena sudah eksisting. Sementara MRT sebagai moda yang hadir belakangan, MRT bisa di-setting sebagai moda transportasi yang sangat modern, manusiawi dan jauh lebih tertib, serta disiplin,” kata Aditya.
Bahwa MRT Jakarta memberikan kultur bertransportasi yang baik, bisa dilihat dari aspek penumpangnya yang lebih mudah diatur untuk tidak buang sampah sembarangan, tidak merokok, tidak ngobrol terlalu kencang, hingga tidak duduk-duduk di stasiun. Pengaturan seperti itu tentu saja disertai dengan monitoring yang cukup ketat.
Sebagai moda angkutan yang baru, MRT Jakarta juga menghadirkan desain universal dan ramah disabilitas. ”Ini patut dijadikan contoh untuk moda transportasi publik yang lainnya,” kata Aditya.
Mantan Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) Willam P Sabandar dalam forum jurnalis Maret 2021 pernah menyatakan, MRT Jakarta bukan hanya alat pemindah dari satu titik ke titik lainnya, tetapi MRT Jakarta menghadirkan budaya bertransportasi baru bagi masyarakat. Budaya baru itu seperti yang terlihat sejak awal MRT Jakarta beroperasi pada Maret 2019 seperti munculnya budaya antre, budaya menjaga kebersihan di kereta, hingga menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan sejak awal pandemi Covid-19.
MRT Jakarta juga mendorong gaya hidup sehat bagi masyarakat. Dengan pengelolaan kawasan yang apik dan tertata rapi, masyarakat bisa dengan nyaman dan enak berjalan kaki ataupun bersepeda menuju dan dari stasiun. Apalagi, MRT juga membolehkan penumpang membawa sepeda.
Baca Juga: MRT Izinkan Sepeda Nonlipat Masuk ke Dalam Kereta
Haris Muhammadun menambahkan, MRT mendorong perilaku aktif dan sehat. Saat masyarakat berpindah dari satu moda ke moda lain dengan jalan kaki, atau saat masyarakat meninggalkan kendaraannya di area parkir lalu menggunakan MRT dengan terlebih dulu berjalan kaki, hingga bersepeda menuju titik stasiun, selain masyarakat lebih sehat juga mengurangi polusi.
Baik Aditya ataupun Haris sepakat, MRT Jakarta memang baru 16 km, tetapi kehadirannya sudah mengubah dan memberi warna pada wajah Jakarta. Harapannya, ketika MRT sudah bertambah panjang, kebijakan angkutan umum yang saling terintegrasi juga penataan kawasan tetap dilanjutkan.
Haris menggarisbawahi, keberadaan MRT yang mendorong pembentukan sistem transportasi publik yang terintegrasi hingga mengubah wajah Jakarta bisa diduplikasi dan diterapkan di kota-kota lain di Indonesia. Pemangku kepentingan harus memikirkan bagaimana mobilitas atau pergerakan di suatu kota menjadi efisien dan efektif.
”Penataan angkutan umum yang terintegrasi juga kawasan sekitar bisa dilakukan di kota-kota lain di Indonesia dengan memanfaatkan momentum, tidak perlu menunggu dibangun MRT juga,” ujarnya.
Ia mencontohkan, misalnya di Bandung, dengan adanya Kereta Cepat Jakarta Bandung atau dengan kereta Bandung Raya yang peminatnya bagus dan kotanya juga sudah macet. Lalu Yogyakarta-Solo dengan adanya KRL Yogyakarta-Solo juga bisa jadi momentum, apalagi Solo sudah memiliki sistem BRT yang bagus.
Semangat merayakan kemerdekaan tidak ada salahnya ditularkan dengan menggarisbawahi ajakan kota-kota di Indonesia agar merdeka dari macet dan polusi. Ini menjadi langkah menuju kawasan urban yang manusiawi dengan penataan layanan jaringan angkutan umum terintegrasi berorientasi kenyamanan publik.