Siswa Terduga Pencabul di Pondok Pesantren di Depok Harapkan Perlindungan
Terlapor P meminta perlindungan sebagai anak dengan masalah hukum.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — P, terduga pelaku pencabulan terhadap siswi Pondok Pesantren Yayasan Istana Riyadhul Jannah, Depok, Jawa Barat, mengharapkan perlindungan hak dalam proses penyidikan kasus. Permohonan dibuat karena saat ini P masih di bawah umur.
P (14) menjadi salah satu dari empat orang yang dilaporkan T (10), satu dari tiga siswi sekolah dasar di pondok pesantren, yang menjadi korban ke Polda Metro Jaya pada 21 Juni 2022. Pihak keluarga, P, siswa kelas VIII di pondok pesantren itu, kemudian menunjuk kuasa hukum sejak 25 Juli 2022.
M, ayah P, yang mendatangi pondok pesantren, Senin (1/8/2022), mengaku bahwa pihak sekolah sempat memanggilnya bersama terlapor lainnya. Namun, ia baru mengetahui kasus yang melibatkan anaknya dari pihak luar. Kemudian, pada 27 Juli 2022, ia mendapat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait kasus delik aduan tersebut.
”Saya sendiri masih bingung, kok, anak saya terlibat. Kasus ini, kan, di pondok, anak saya, kan, belajar, makan, tidur di pondok. Saya hanya ingin mempertanyakan, pondok ada perlindungan apa? Tapi ternyata pondok tidak menyediakan apa pun dan melindungi apa pun. Maka saya terpaksa mengambil pengacara sendiri,” tutur M.
M dengan tim kuasa hukumnya, Iwan Setiawan, kembali mendatangi pondok pesantren untuk meminta keterangan mengenai keberadaan dan tugas P sejak bergabung di kelas VI sekolah itu November 2020. Lanjut ke SMP, P pindah ke sekolah asrama yayasan di Cijeruk, Kabupaten Bogor, sejak 2021 hingga awal 2022. Setelah itu, ia dan santri sederajat sempat beberapa bulan pindah ke asrama baru di Depok, sebelum kembali ke Bogor.
Diberitakan sebelumnya, P diduga melakukan pencabulan pada terlapor saat bertugas di asrama SD. P sempat ditugaskan menjadi siswa piket di asrama tersebut. M pun meminta keterangan dan pembelaan dari pihak sekolah terkait P, yang ia percayakan ke yayasan.
”Ketika saya meminta pembelaan, pihak pondok tidak memberi karena takut izin pondok dicabut. (Yayasan) tidak juga memberi rekomendasi. Setelah saya cari tahu, saya semakin takut, makanya P saya ambil, sementara tidak di pondok sejak seminggu lalu,” lanjut M.
Keputusan M untuk merumahkan P adalah ia takut P segera ditahan karena polisi sudah melayangkan SPDP dan siap menetapkan tersangka. Sementara itu, polisi belum meminta keterangan P ataupun melakukan rekonstruksi perkara, seperti yang sudah dilakukan terhadap terlapor lain berinisial R.
Untuk melindungi P yang masih di bawah umur, Iwan Setiawan, menjelaskan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Jakarta Timur. Pihak P2TP2A akan melakukan gelar perkara Selasa (2/8) dan meminta orangtua hadir untuk memberikan keterangan dan informasi terkait status P.
”Tidak tertutup kemungkinan nanti P2TP2A meminta pihak yayasan dilibatkan untuk mendalami sejauh mana perlindungan seperti yang diamankan orangtua P. Langkah ini juga dalam rangka mempersiapkan jika penyidik memanggil klien kami. Kami berkoordinasi agar saat penyidik memproses hukum P, hak anak tetap ditegakkan,” kata Iwan.
Khoirul, kuasa hukum pihak yayasan, menanggapi, mereka membantu pihak terlapor P dengan mengeluarkan keterangan yang mereka butuhkan. Terkait kedatangan pihak P hari ini, pondok pesantren telah menyerahkan lima dokumen berisi pernyataan P sebagai santri, surat keterangan tiga kali pindah asrama, dan jadwal piket jaga pagi dan malam.
”Kamis sangat mendukung proses hukum yang dilakukan penyidik, khususnya dari Subdit Renakta Polda Metro Jaya. Dalam hal ini, apabila dibutuhkan wali santri sebagai salah satu terlapor apa pun itu kami siap kasih keterangan, baik berupa dokumen maupun keterangan langsung dari pihak pondok,” ujarnya.
Selain P, terlapor kasus pencabulan dan pemerkosaan itu adalah tiga mantan pengajar berinisial I, R, dan D. ”Empat orang itu masih dinaikkan ke tahap penyidikan,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan, Rabu (20/7).
Empat orang itu dilaporkan oleh tiga santri sekaligus saat mereka sedang libur sekolah pada pertengahan tahun ini. Adapun kasus yang mereka alami disebutkan terjadi sekitar tahun 2021 dan 2022.