Upaya mengatasi kemacetan di Jakarta mesti komprehensif. Pembatasan pengunaan kendaraan pribadi, kenaikan tarif parkir, dan peningkatan maupun perluasan jaringan transportasi publik masih harus digencarkan.
Oleh
STEFANUS ATO, FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi lalu lintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, pada Selasa (26/7/2022) sore. Lalu lintas yang mengarah ke Tangerang, Banten, itu tampak padat.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pekerja kembali bermacet-macetan di jalanan Ibu Kota saat pergi dan pulang kerja. Mereka harus bersiasat menghindari pembatasan kendaraan bermotor atau ganjil genap dan berangkat lebih awal menggunakan transportasi umum ke tempat kerja.
Situasi tersebut membuat upaya mengatasi kemacetan di Jakarta mesti komprehensif. Pembatasan pengunaan kendaraan pribadi, kenaikan tarif parkir, dan peningkatan maupun perluasan jaringan transportasi publik masih harus digencarkan.
Arus lalu lintas di sejumlah ruas jalanan Ibu Kota kembali padat pada Selasa (26/7/2022) sore. Lalu lintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, yang mengarah ke wilayah Kota Tangerang, Banten, misalnya, tampak padat oleh sepeda motor hingga kendaraan pribadi yang nekat menerobos jalur bus Transjakarta.
Kepadatan kendaraan pada Selasa sore juga tampak di Jalan Letjen S Parman mulai dari depan Universitas Trisakti hingga mendekati Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Barat. Tak pelak, sejumlah bus Transjakarta tersendat di antara kendaraan berpelat hitam saat melintasi jalanan itu.
Kepadatan lalu lintas yang meningkat di Jakarta saat jam sibuk, baik pagi maupun sore hari, memaksa sejumlah warga yang bekerja di Jakarta untuk bersiasat. Ada warga yang beralih ke tranportasi publik dan ada juga yang memilih bertahan menggunakan kendaraan pribadi.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi lalu lintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, pada Selasa (26/7/2022) sore. Lalu lintas yang mengarah ke Tangerang, Banten, itu tampak padat.
Riris (29), karyawan swasta di Jakarta Selatan, bergantian menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum dari rumahnya di Kota Tangerang, Banten, ke kantornya. Ibu satu anak itu mengendarai mobil berpelat ganjil saat tanggal ganjil sesuai kebijakan pembatasan kendaraan bermotor. Ketika tanggal genap, dia beralih ke sepeda motor atau angkutan umum KRL dan MRT.
”Pakai mobil relatif lebih lancar karena kantor dekat akses keluar pintu tol. Kalau pakai KRL dan MRT, saya harus berangkat lebih awal,” katanya.
Riris biasanya masuk kantor pada pukul 08.00. Dia berangkat dari rumah mulai pukul 07.00 jika menggunakan mobil. Namun, jika menggunakan sepeda motor atau angkutan umum, dia memilih berangkat lebih awal, yakni pukul 06.00 atau 06.30.
Meski sering terjebak macet, Riris menilai kebijakan pengaturan jam kerja bukan solusi mengurai kepadatan lalu lintas di Ibu Kota. Dia lebih setuju jika kebijakan bekerja dari rumah (work from home/WFH) tetap dipertahankan seperti saat kasus aktif Covid-19 melonjak di Tanah Air. ”Kalau mau penyesuaian jam kerja, lebih baik tetap ada kebijakan WFO (bekerja di kantor) dan WFH,” ujarnya.
Sulaiman (30), karyawan swasta yang bergerak di jasa konsultan bisnis, selama ini masih setia menggunakan sepeda motor. Dia belum tertarik menggunakan transportasi publik lantaran sarana transportasi publik yang tersedia dinilai belum memadai.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Bus Transjakarta tengah mengantre untuk memulai operasional pengangkutan penumpang di Halte Transjakarta Harmoni, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021). Waktu antrean berkisar 5-20 menit.
”Halte Transjakarta terdekat saja kalau jalan kaki, sekitar 30 menit. Apalagi, stasiun KRL, jaraknya lebih jauh lagi,” kata lelaki yang tinggal di Kemanggisan, Jakarta Barat, itu.
Bagi Sulaiman, menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor, masih jadi pilihan terbaik untuk menembus kemacetan di Ibu Kota. Dia juga lebih mudah untuk bepergian saat harus bertemu klien yang biasanya membuat janji atau ingin bertemu dalam kondisi yang serba tiba-tiba atau mendadak.
Kemacetan lalu lintas di Ibu Kota mendorong Polda Metro Jaya mewacanakan pengaturan jam masuk kantor untuk membantu mengurangi kemacetan. Dari data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, 54 persen kemacetan di Jakarta terpusat pada jam sibuk, yakni pukul 06.00 hingga pukul 09.00. Kemudian berlanjut pada jam pulang kantor di atas pukul 15.00.
Kepadatan volume lalu lintas pagi hari bersumber, antara lain, dari tiga titik tol, yakni Cikampek, Jagorawi, dan Merak-Tangerang. Lalu, dari jalan arteri di kawasan Kalimalang, Cakung, Lebak Bulus, Jagakarsa, Lenteng Agung, hingga Daan Mogot.
”Semua masuk Jakarta pada waktu bersamaan sehingga kita semua harus bekerja sama, setiap instansi bisa mengatur waktu jam kerja karyawan untuk tidak masuk bersama-sama,” kata Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman (Kompas.id, 22/7/2022).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Antrean kendaraan menyemut di dua arah saat jam berangkat kerja di Jalan KH Abdullah Syafei, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019). Jakarta masih menempati posisi ke-7 sebagai kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index. Meski membaik dibandingkan tahun sebelumnya, peningkatan kualitas angkutan umum masih dibutuhkan untuk memperlancar perjalanan warga. Setahun sebelumnya, Jakarta di posisi ke-4 dari 390 kota.
Upaya mengurai kemacetan lalu lintas yang selama ini berjalan dinilai belum optimal. Pengamat transportasi publik Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, upaya mengurai kemacetan di Jakarta tak optimal meski ada pengaturan jam masuk kantor. Ini karena masih terbatasnya layananan transportasi umum yang menggapai kawasan permukiman di Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
”Pergerakan orang itu tidak hanya di Jakarta, tetapi juga ada pergerakan dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) menuju Jakarta. Pada tahun 2015, pergerakan orang (dari Bodetabek) sekitar 4 juta orang. Artinya, sebanyak 4 juta orang ini kalau pakai kereta rel listrik saja, sehari hanya mampu menampung 1 juta orang,” kata Djoko.
Perluas jangkauan
Jangkauan transportasi publik dari daerah satelit Jakarta memang masih sangat minim. Dari catatan Kompas, ada 8,8 juta warga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tidak terjangkau simpul angkutan umum massal.
Cakupan layanan angkutan umum massal di Jakarta dan wilayah penyangganya juga masih sangat timpang. Di Jakarta, layanan angkutan umum sudah mampu menjangkau 96,1 persen penduduk, sedangkan di Bodetabek hanya menjangkau 26,2 persen dari total penduduk di wilayah tersebut (Kompas, 3/2).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Saat ini kemacetan parah tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol DKI Jakarta, tetapi juga di daerah kawasan penyangga Jakarta, seperti yang terjadi di Jalan Raden Saleh, Tangerang, Banten, Jumat (19/11/2021). Aktivitas masyarakat yang kembali bergeliat seiring dengan penurunan angka kasus Covid-19 dan melonggarnya pembatasan kegiatan membuat volume lalu lintas di sekitaran Jabodetabek kembali padat seperti pada masa sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Menurut Djoko, untuk mengurai kepadatan lalu lintas di Ibu Kota, pemerintah daerah di Jakarta dan Bodetabek bersama pemerintah pusat harus terus menciptakan layanan-layanan angkutan umum, seperti JR Connexion dan layanan transportasi publik yang serupa dengan Biskita Transpakuan di Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor. Bus-bus ini secara operasional harus terus diperbanyak agar warga yang berangkat dari kawasan permukiman penduduk terlayani.
”Jadi, yang paling penting itu perluas dulu jangkauan angkutan umum,” kata Djoko.